tag:blogger.com,1999:blog-59977231597425717792024-03-13T23:19:36.587-07:00Power of love -= DTTG =-kekuatan cinta adalah tenaga terbesar yang mampu membangkitkan semangat menjalani aktivitas kehidupan .
keinginan untuk memperjuangkan cinta atau hal lain adalah tenaga terbesar di dunia ini, ia lebih berharga dari pada uang , kekuasaan atau pengaruh .sweetboyhttp://www.blogger.com/profile/01727959537351178770noreply@blogger.comBlogger59125tag:blogger.com,1999:blog-5997723159742571779.post-4963635520984708462011-10-16T06:20:00.000-07:002011-10-16T06:20:17.489-07:00BERAMAL DI CELA ORANG , TAK MEMBUAT KAMI MUNDUR SEDIKITPUN , KEAJAIBAN ALLAH PUN KINI SELALU DATANG<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://2.bp.blogspot.com/-0eTArPmkHTU/TpraCISlnMI/AAAAAAAAAQU/NaF7_CxEIEw/s1600/mesjid.jpeg" imageanchor="1" style="margin-left:1em; margin-right:1em"><img border="0" height="186" width="271" src="http://2.bp.blogspot.com/-0eTArPmkHTU/TpraCISlnMI/AAAAAAAAAQU/NaF7_CxEIEw/s400/mesjid.jpeg" /></a></div><br />
Ini adalah kisah kami , kami menceritakan ini tanpa ada niat pamer sedikitpun tapi semoga mampu menjadi motivasi bagi yang sudi membacanya . ketika kami berad di desa kami hal bahkan ketika tidak ada di desa sekalipun dalam hati yang paling dalam kami ingin sekali memajukan desa kami itu , terutama... berpikir keras bagaimana caranya agar Rumah Allah atau mesjid di desa kami ramai,<br />
semua kami lakukan atas dasar niat Lillahita'ala, dan semoga Allah selalu melindungi niat kami ini .<br />
tapi ternyata ada seseorang atau mungkin bebeapa orang sebab yang kami ketahui dan terang-terangan mencela apa yang kami lakukan cuma satu orang, dia menganggap apa-apa yang kami lakukan itu niatnya cuma karena manusia terutama untuk mendapatkan seorang wanita di desa itu , Na'udzu billahimindzalik semoga Allah menjauhkan niat semacam itu yang akan membuat pelakunya menjadi syirik ,,<br />
kami berusaha sabar akan celaan itu , tapi orang tua yang tak menerima beliau ingin agar kami menghentikan usaha kami memakmurkan Mesjid , tapi tekad kamisudah bulat bagi kami andaikan semua orang di desa kami tak Ridho atau membenci amal kami , itu bukan masalah motivasi kami cuma keridhoan Allah,<br />
tadinya kami berniat ingin menjadi Tkw Tapi rupanya Allah tak mengizinkan, sebelum berangkat kami sakit dan kami yakin ini yang terbaik, kami menikmati sakit pemberian Tuhan yang sangat kami cintai , kami yakin itu bentuk perhatiannya, dan akhirnya kami jdinya merantau k Cirebon sebuah kota santri yang Ilmu Agamanya sudah terkenal, sebuah kota peninggalan para Wali Allah .<br />
Selalng beberapa minggu ternyata teman yang tadinya bareng mau dengan kami berangkat keluar negri pulang lagi ke kampung halaman , mungkin karena penipuan atau hal lain yang jelas selang beberapa hari setelah sampai ke negara itu ia pulang lagi ke Indonesia ,Subhanallah andaikan saya ikut dia berarti pengorbanan kami sia-sia terutama biayanya.<br />
Ini bukti sakit kami kemarin adalah bentuk perhatian dari Allah untuk kami.<br />
Saat kami berangkat ke Cirebon terbesit dalam hati kami ,KAMI KHAWATIRKAN mESJID Al-Itishom tak terurus , kebersihannya tak terjaga , sepi akan Adzan terutama saat shubuh , dimana setiap orang yang beramal Sholeh jarang yang kuat akan celaan orang-orang sekitar ,,,<br />
Sakit hati ini bila tak ada Muadzin saat aktu sholat tiba makannya kami tak perduli akan celaan manusia , yang penting seruan Allah untuk manusia Sholat bisa kami kumandangkan,<br />
saat di cirebon kami berjalan dan mengunjungi satu mesjid ke mesjid lain , ya itung-itung mencari Ilmunya dan ingin tahu perbedaan tata cara ibadah nya.<br />
Herannya saatt kami sampai ke mesjid Atau Musholah seringnya tak Ada Muadzin padahal sudah masuk waktu sholat dan mesjid-mesjid lain sudah mengumandangkan Adzan, kami menunggu lama tapi tak kunjung ada jamaah yang datang dan akhirnya kami pun memutuskan Untuk Adzan ,<br />
herannya ini terus-terusan terjadi , harapan kami semoga ini pertanda Allah meridhoi usaha kami selama ini , Demi Allah kejadian hari ini yang seperti itu kami alami 2 x hari ini , dan mengumandangkan Adzan di 2 Musholah berbeda di kota cirebon ini, dan kemarin2 pun demikian ,<br />
SeEMOGA ALLAH MELINDUNGI NIAT KAMI , MUKHLIS LILAHITA'ALA.<br />
KAMI AKAN BUKTIKAN BAHWA NIAT KAMI DI DESA KAMI BUKAN KARENA WANITA ATAU APAPUN TAPI KARENA ALLAH,<br />
ADA ATAU TIDAK ADA NYA WANITA YANG ORANG-ORANG MAKSUDKAN BUAT KAMI D DUNIA INI KAMI AKAN TETAP MAJU ,,,<br />
SEMOGA MELALUI KOTA SANTRI INI ALLAH AKAN MEMBUKAKAN PINTU-PINTU ILMU UNTUK KAMI SEHINGGA KAMI MAMPU BERBAKTI UNTUK AGAMA , DAN DESA KAMI LEBIH BAIK LAGI ..<br />
AMIN . . . .<br />
<br />
SEMOGA MENJADI MOTIVASI BUAT YANG MEMBACA , APAPUN YANG KITA LAKUKAN BAIK ATAU BAIK PASTI TAKAN BEBAS DARI CELA MANUSIA , ITU WAJAR , SEBAB DUNIA INI BERPASANG-PASANGAN ADA GELAP ADA TERANG ADA YANG SUKA ADA YANG TAK SUKA ITU SUDAH KETENTUAN NYA..<br />
KALAU ADA YANG MENCELA BERARTI KITA DI PERHATIKAN , DAN SATU HAL LAGI YANG MENCELA BELUM TENTU LEBIH BAIK DARI PADA YANG DI CELA , LEBIH BAIK KITA DI SAKITI MANUSIA LALU SABAR AKAN MENDATANGKAN DOSA DAN MENINGKATKAN DERAJAT DARI PADA KITA MENYAKITI MANUSIA HANYA AKAN MENAMBAH DOSA MENUMPUK DAN MENURUNKAN DERAJAT , NAIK ITU MENANJAK MAKANYA BERAT SEDANGKAN MENURUNKAN DERAJAT ITU MENURUN SEHINGGA SANGAT-SANGAT MUDAH.<br />
BY.DETATANGLihat Selengkapnyasweetboyhttp://www.blogger.com/profile/01727959537351178770noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5997723159742571779.post-82864260253805524392011-02-16T01:58:00.000-08:002011-02-16T01:58:23.559-08:00Syahadat Bukan Sekedar Ucapan Di Lidah<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://1.bp.blogspot.com/-Q7Jzc7MZdUc/TVufuXVK41I/AAAAAAAAAPA/8B_GyTaJvmg/s1600/morning-fog-1a.jpg" imageanchor="1" style="margin-left:1em; margin-right:1em"><img border="0" height="179" width="259" src="http://1.bp.blogspot.com/-Q7Jzc7MZdUc/TVufuXVK41I/AAAAAAAAAPA/8B_GyTaJvmg/s400/morning-fog-1a.jpg" /></a></div><br />
<br />
<br />
<br />
Maksud dari syahadat kalimat Laa ilaaha illallaah adalah bahwasanya ibadah-ibadah dengan semua jenisnya adalah haq yang tetap untuk Allah semata, yang selain-Nya tidak berhaq sedikitpun darinya, tidak dari malaikat yang didekatkan atau Nabi yang diutus ataupun orang yang shalih, tidak pula batu, pohon, matahari, bulan ataupun yang lainnya.<br />
Maka tidak ada yang berhak diberikan do’a kecuali Allah semata, tidak ada yang berhaq dimintai istighatsah (minta dihilangkan dari kesusahan, kesempitan, mara bahaya dan sejenisnya) kecuali kepada-Nya, tidak ada yang dimintai pertolongan kecuali kepada-Nya, tidak ada yang berhak ditawakkali kecuali kepada-Nya dan tidak ada yang berhak ditakuti dan diharapkan kecuali Dia.<br />
<br />
Maka barangsiapa yang memalingkan sesuatu dari ibadah-ibadah ini atau yang lainnya kepada selain Allah maka sungguh ia telah berbuat syirik kepada Allah. Allah shallallahu ‘alaihi wa sallam berfirman: “Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zhalim itu seorang penolongpun.” (Al-Maa`idah:72).<br />
Dan yang diinginkan dari (pengucapan) kalimat Laa ilaaha illallaah adalah bukan sekedar pengucapan dengan lisan bahkan wajib untuk mengetahui maknanya dan beramal dengan tuntutan kalimat tersebut dan juga harus menyempurnakan syarat-syaratnya. <br />
Syarat-syaratnya itu ada tujuh, yaitu:<br />
(1). Al-’ilmu, yaitu mengetahui maknanya dengan benar yang meniadakan kebodohan akan maknanya;<br />
(2). Al-Yaqiin, yaitu meyakini kebenaran kalimat tersebut yang meniadakan adanya keraguan;<br />
(3). Al-Qabuul, yaitu menerima dengan sepenuh hati konsekuensi/tuntutan kalimat tersebut yang meniadakan penolakan;<br />
(4). Al-Inqiyaad, yaitu tunduk dan patuh terhadap kalimat tersebut artinya kita melaksanakan dengan sebaik-baiknya tuntutan kalimat tersebut, yang meniadakan dari meninggalkan kalimat tersebut;<br />
(5). Al-Ikhlaash, yaitu kita mengucapkan kalimat tersebut karena Allah Ta’ala bukan karena riya’ atau lainnya, yang meniadakan adanya kesyirikan;<br />
(6). Ash-Shidqu, yaitu jujur dalam mengucapkan kalimat tersebut yang akan meniadakan kedustaan;<br />
(7). Al-Mahabbah, yaitu mencintai kalimat tersebut, mencintai Allah, Rasul-Nya dan apa-apa yang dicintai Allah dan Rasul-Nya, yang meniadakan kebencian;<br />
(8). Ada yang menambahkan syarat yang kedelapan yaitu, mengkufuri semua yang diibadahi selain Allah.<br />
Dan yang dimaksud dengan “Syahaadatu anna Muhammadan Rasuulullaah” adalah mengetahui maknanya dan beramal dengan konsekuensi-konsekuensinya. Maka tidaklah yang diinginkan juga semata-mata pengucapan dengannya (tetapi) yang diinginkan adalah membenarkan apa-apa yang beliau (Muhammad Shalalahu ‘Alaihi Wasalaam) khabarkan, mentaati apa-apa yang beliau perintahkan, menjauhi apa-apa yang beliau larang dan cegah dan beribadah kepada Allah dengan yang Allah syari’atkan kepada lisan Rasul yang mulia ini, tidak dengan hawa nafsu dan tidak pula dengan kebid’ahan.<br />
Maka wajib atas setiap muslim mengetahui (makna) dua kalimat syahadat ini dengan pemahaman yang sebenar-benarnya dan beramal dengan sungguh-sungguh dengan tuntutan-tuntutan kedua kalimat tersebut, yaitu pembenaran, keimanan dan beramal dengan apa yang dibawa oleh Rasulullah dalam Al-Kitab dan As-Sunnah, baik yang berkaitan dengan ‘aqidah maupun yang berkaitan dengan ibadah-ibadah dan syari’at-syari’at dalam setiap sisi kehidupan.sweetboyhttp://www.blogger.com/profile/01727959537351178770noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5997723159742571779.post-11912843011726376112011-02-16T01:42:00.000-08:002011-02-16T01:42:54.713-08:00Tiga Syarat Adanya Keimanan<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://2.bp.blogspot.com/-zzhQ7LT9rB8/TVucEF48fmI/AAAAAAAAAO4/kzHAb1MgKdc/s1600/morning-fog-8-b.jpg" imageanchor="1" style="margin-left:1em; margin-right:1em"><img border="0" height="300" width="400" src="http://2.bp.blogspot.com/-zzhQ7LT9rB8/TVucEF48fmI/AAAAAAAAAO4/kzHAb1MgKdc/s400/morning-fog-8-b.jpg" /></a></div><br />
<br />
<br />
<br />
Iman menurut Ahlussunnah wal jama’ah adalah keyakinan dengan hati, pengikraran dengan lisan serta pengamalan dengan anggota badan. Iman bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan perbuatan maksiat.<br />
Jadi Iman terdiri dari tiga bagian, yaitu :<br />
<br />
Pertama, keyakinan hati dan amalan hati, yakni keyakinan dan pembenaran terhadap apa yang datang dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Rasul-Nya sebagaimana firman Allah:<br />
“Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa. Mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki pada sisi Tuhan mereka. Demikianlah balasan orang-orang yang berbuat baik. ” (Az-Zumar: 33-34)<br />
Adapun amalan hati di antaranya adalah niat yang benar, ikhlas, cinta, tunduk dan semacamnya terhadap apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya sebagaiman firman Allah dalam surat Al-Anfal ayat 2 atau yang lainnya:<br />
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu ialah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakal. ”<br />
Kedua, ikrar lisan dan amalan lisan. Ikrar lisan yaitu mengucapkan dua kalimat syahadat dan mengakui konsekuensi dari kedua kalimat tersebut. Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda yang artinya:<br />
“Saya diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka mengatakan La Ilaha Illallah dan bahwasanya aku adalah Rasulullah. (Shahih, HR Bukhari dan Muslim)<br />
Sedangkan amalan lisan adalah sebuah amalan yang tidak bisa terlaksana kecuali dengan lisan, seperti membaca Al Qur’an, dzikir, tasbih, tahmid, takbir, do’a istighfar, dan lain-lain. Allah berfirman:<br />
“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian dari rizqi yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi.” (Fathir: 29)<br />
Ketiga, amalan anggota badan yaitu sebuah amalan yang tidak terlaksana kecuali dengan anggota badan seperti ruku’, sujud, jihad, haji dan lain-lain. Allah berfirman dalam surat Al-Haj ayat 77-78, yang artinya:<br />
“Hai orang-orang yang beriman ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan berbuatlah kebajikan agar kamu mendapat kemenangan. Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Qur’an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong.”sweetboyhttp://www.blogger.com/profile/01727959537351178770noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5997723159742571779.post-22453915394437085892011-02-16T01:13:00.001-08:002011-02-16T01:13:57.106-08:00Al Jamil, Yang Maha Indah<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://1.bp.blogspot.com/-NAylNI811pM/TVuVTs-tgII/AAAAAAAAAOw/8tuCD-LGcKg/s1600/pantai-small.jpg" imageanchor="1" style="margin-left:1em; margin-right:1em"><img border="0" height="200" width="267" src="http://1.bp.blogspot.com/-NAylNI811pM/TVuVTs-tgII/AAAAAAAAAOw/8tuCD-LGcKg/s400/pantai-small.jpg" /></a></div><br />
<br />
<br />
Nama Allah Ta’ala yang maha mulia ini disebutkan dalam sebuah hadits yang shahih, dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda,<br />
“Tidak akan masuk surga orang yang dalam hatinya ada kesombongan seberat biji debu”. Ada seorang yang bertanya: Sesungguhnya setiap orang suka (memakai) baju yang indah, dan alas kaki yang bagus, (apakah ini termasuk sombong?). Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah Maha Indah dan mencintai keindahan, kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain”[1].<br />
Makna al-Jamil secara bahasa<br />
Ibnu Faris menjelaskan bahwa asal kata nama ini menunjukkan dua makna, salah satunya adalah indah/bagus[2].<br />
Al-Fairuz Abadi menjelaskan bahwa asal kata nama ini berarti keindahan dalam tingkah laku dan rupa[3].<br />
Ibnul Atsir lebih lanjut menjelaskan bahwa al-Jamil berarti Yang Maha Indah perbuatan-perbuatan-Nya dan sempurna sifat-sifat-Nya[4].<br />
Penjabaran makna nama Allah al-Jamil<br />
Nama Allah Ta’ala yang agung ini menunjukkan sempurnanya keindahan Allah Ta’ala pada semua nama, sifat, zat dan perbuatan-Nya[5].<br />
Imam an-Nawawi menjelaskan makna hadits di atas: bahwa semua urusan Allah Ta’ala (maha) indah dan baik, dan Dia memiliki nama-nama yang maha indah serta sifat-sifat yang maha bagus dan sempurna[6].<br />
Imam Ibnul Qayyim menjelaskan hal ini dengan terperinci dalam ucapan beliau: “Keindahan Allah Ta’ala ada empat tingkatan: keindahan zat, keindahan sifat, keindahan perbuatan dan keindahan nama. Maka nama-nama Allah semuanya maha indah, sifat-sifat-Nya semuanya maha sempurna, dan perbuatan-perbuatan-Nya semuanya (mengandung) hikmah, kemaslahatan (kebaikan), keadilan dan rahmat (kasih sayang). Adapun keindahan zat dan apa yang ada padanya, maka ini adalah perkara yang tidak bisa dicapai dan diketahui oleh selain-Nya. Semua makhluk tidak memiliki pengetahuan tentang itu kecuali (sedikit) pengetahuan yang dengan itulah Dia memperkenalkan dirinya kepada hamba-hamba yang dimuliakan-Nya. Sesungguhnya keindahan-Nya itu terjaga dari (segala bentuk) perubahan, terlindungi dengan tabir selendang dan sarung (kemuliaan), sebagaimana hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Allah (hadits qudsi), “Kebesaran itu adalah selendang-Ku dan keagungan itu adalah sarung-Ku…”[7]. Maka bagaimana anggapanmu terhadap keindahan yang ditutupi dengan sifat-sifat kesempurnaan, keagungan dan kemuliaan?<br />
Dari makna inilah kita dapat memahami sebagian arti keindahan zat-Nya, karena sesungguhnya seorang hamba akan terus meningkat (pengetahuannya tentang Allah Ta’ala), dari mengenal perbuatan-perbuatan-Nya (meningkat) menjadi mengenal sifat-sifat-Nya, dan dari mengenal sifat-sifat-Nya (meningkat) menjadi mengenal zat-Nya. Maka jika dia menyaksikan sesuatu (yang merupakan pengaruh baik) dari keindahan perbuatan-Nya, dia akan menjadikannya sebagai (argumentasi) yang menunjukkan keindahan sifat-Nya, kemudian keindahan sifat ini dijadikannya sebagai (argumentasi) yang menunjukkan keindahan zat-Nya.<br />
Dari sinilah jelas (bagi kita) bahwa Allah Ta’ala bagi-Nyalah segala pujian, dan bahwa tidak ada seorang makhluk pun yang mampu membatasi/menghitung sanjungan bagi-Nya, bahkan Dia adalah seperti pujian yang ditujukan-Nya untuk diri-Nya sendiri. Dialah yang berhak disembah, dicintai dan disyukuri karena zat-Nya, dan Dia mencintai, memuji dan menyanjung diri-Nya sendiri. Sesungguhnya kecintaan, pujian, sanjungan dan pengesaan-Nya terhadap diri-Nya sendiri, pada hakikatnya itulah pujian, sanjungan, cinta dan tauhid (yang sebenarnya). Maka Allah Ta’ala adalah seperti pujian yang ditujukan-Nya untuk diri-Nya sendiri dan di atas pujian yang ditujukan makhluk-Nya kepada-Nya, Dan Allah Ta’ala dicintai zat, sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya. Semua perbuatan-Nya indah dan dicintai, meskipun diantara obyek perbuatan-Nya ada yang dibenci dan tidak disukai-Nya, akan tetapi tidak ada pada perbuatan-Nya sesuatu yang dibenci dan dimurkai. Tidak ada satupun di alam ini yang dicintai, dipuji karena zatnya kecuali Allah Ta’ala. Dan semua yang dicintai selain-Nya, jika kecintaan tersebut mengikui kecintaan kepada-Nya, yaitu dengan mencintainya karena-Nya, maka kecintaan ini adalah kecintaan yang benar. Adapun selain itu adalah kecintaan yang batil (salah).<br />
Inilah hakikat ilahiyyah (penghambaan diri kepada-Nya), karena sembahan yang benar dialah yang dicintai dan dipuji zat-Nya. Terlebih lagi jika semua itu digandengkan dengan (mengingat dan menyakini) kebaikan, limpahan nikmat, kelembutan, pengampunan, pemaafan, anugerah dan rahmat-Nya.<br />
Maka seorang hamba hendaknya memahami bahwa tidak ada sembahan yang benar kecuali Allah, maka dia mencintai dan memuji-Nya karena zat dan kesempurnaan-Nya. Dan hendaknya dia mengetahui bahwa pada hakikatnya tidak ada yang melakukan kebaikan (kepadanya) dengan (melimpahkan) berbagai macam nikmat lahir dan batin, kecuali Allah (Ta’ala), maka dia mencintai-Nya karena kebaikan dan limpahan nikmat-Nya, dan memuji-Nya atas semua itu. Maka dia mencintai Allah dari kedua segi itu secara bersamaan.<br />
Sebagaimana Allah (Ta’ala) tidak ada sesuatu pun yang meyerupai-Nya, maka kecintaan kepada-Nya tidak seperti kecintaan kepada selain-Nya. Dan kecintaan yang disertai ketundukan itulah (hakikat) penghambaan diri (kepada-Nya), yang untuk tujuan inilah Allah menciptakan (semua) makhluk-Nya. Karena ubudiyyah (penghambaan diri) adalah kecintaan yang utuh disertai ketundukan yang sempurna, yang ini semua tidak pantas ditujukan kecuali kepada Allah Ta’ala (semata-mata). Dan menyekutukan-Nya dalam hal ini adalah perbuatan syirik yang tidak diampuni-Nya dan tidak diterima amal perbuatan pelakunya”[8].<br />
Di tempat lain, beliau berkata, “Kecintaan itu memiliki dua (sebab) yang membangkitkannya, (yaitu) keindahan dan pengagungan, dan Allah Ta’ala memiliki kesempurnaan yang mutlak pada semua itu, karena Dia Maha Indah dan mencintai keindahan, bahkan semua keindahan adalah milik-Nya, dan semua pengagungan (bersumber) dari-Nya, sehingga tidak ada sesuatupun yang berhak untuk dicintai dari semua segi karena zatnya kecuali Allah Ta’ala “[9].<br />
Pengaruh positif dan manfaat mengimani nama Allah al-Jamil<br />
Imam Ibnul Qayyim berkata, “Termasuk jenis pengetahuan yang paling mulia adalah mengenal Allah Ta’ala dengan (sifat) al-jamal (maha indah). Ini adalah pengetahuan (yang dimiliki) hamba-hamba (Allah) yang istimewa. Semua manusia mengenal-Nya dengan satu sifat dari semua sifat-Nya, akan tetapi yang paling sempurna pengetahuannya (tentang Allah Ta’ala) adalah yang mengenal-Nya dengan (sifat) kesempurnaan, keagungan dan keindahan-Nya. Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya dalam semua sifat-sifat-Nya. Seandainyapun semua makhluk memiliki rupa yang paling indah, kemudian keindahan mereka lahir dan batin dibandingkan dengan keindahan Allah Ta’ala, maka sungguh (perbandingannya) lebih rendah dari pada perbandingan pelita yang redup (cahayanya) dengan (terangnya cahaya) lingkaran matahari … Cukuplah (yang menunjukkan kesempurnaan) keindahan-Nya bahwa semua keindahan lahir dan batin di dunia dan akhirat adalah termasuk jejak-jejak penciptaan-Nya, maka bagaimana pula dengan zat yang bersumber darinya (semua) keindahan ini?”[10].<br />
Kemudian, pengaruh positif mengimani nama Allah yang maha agung ini dapat kita ambil dari penjelasan makna hadits di atas.<br />
Sabda Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Allah Maha Indah dan mencintai keindahan”, mengandung dua unsur landasan Islam yang agung, yaitu pengetahuan tentang sifat Allah Ta’ala dan pengamalan konsekwensi dari sifat tersebut. Yang pertama kita mengenal Allah Ta’ala dengan sifat maha indah yang tidak ada satu makhlukpun menyerupainya, kemudian yang kedua kita beribadah kepada Allah Ta’ala dengan sifat indah yang dicintai-Nya, dalam ucapan, perbuatan dan akhlak.<br />
Allah Ta’ala mencintai seorang hamba yang memperindah/menghiasi ucapannya dengan kejujuran, hatinya dengan keikhlasan, kecintaan, selalu kembali dan bertawakkal (kepada-Nya), dan anggota badannya dengan ketaatan (kepada-Nya), serta tubuhnya dengan memperlihatkan nikamat yang dianugrahkan-Nya kepadanya, dalam berpakaian, membersihkan tubuh dari najis dan kotoran, memotong kuku, dan sebagainya. Maka hamba yang dicintai-Nya adalah hamba yang mengenal-Nya dengan sifat maha indah-Nya kemudian beribadah kepada-Nya dengan keindahan yang ada pada agama dan syariat-Nya.<br />
Hadits di atas maknanya meliputi keindahan pada pakaian dan alas kaki yang ditanyakan oleh sahabat di atas, juga maknanya secara umum meliputi keindahan pada segala sesuatu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,<br />
“Sesungguhnya Allah suka melihat (tampaknya) bekas nikmat (yang dilimpahkan-Nya) kepada hamba-Nya”[11].<br />
Maka Allah Ta’ala suka melihat (tampaknya) bekas nikmat (yang dilimpahkan-Nya) kepada hamba-Nya, karena ini termasuk keindahan yang dicintai-Nya, dan ini termasuk bentuk syukur kepada-Nya atas limpahan nikmat-Nya. Bersyukur adalah bentuk keindahan dalam batin, maka Allah Ta’ala suka melihat pada diri hamba-Nya keindahan lahir yang berupa tampaknya bekas nikmat-Nya pada diri hamba-Nya.<br />
Oleh karena itulah, Allah menurunkan kepada hamba-hamba-Nya pakaian dan perhiasan untuk memperindah (penampilan) lahir mereka, dan Dia memerintahkan kepada mereka untuk bertakwa (kepada-Nya) karena ini akan memperindah batin mereka. Allah Ta’ala berfirman,<br />
“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan pakaian untuk menutupi ‘auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan, dan pakaian taqwa itulah yang lebih baik” (QS al-A’raaf:26).<br />
Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman tentang keadaan penduduk surga:<br />
“Dan Dia menganugerahkan kepada mereka kecerahan (wajah) dan kegembiraan (hati). Dan Dia memberi balasan kepada mereka karena kesabaran mereka (dengan) surga dan (pakaian) sutera” (QS al-Insaan:12).<br />
Maka Allah Ta’ala menghiasi wajah mereka dengan kecerahan, batin mereka dengan kegembiraan, dan tubuh mereka dengan pakaian sutera[12].<br />
Penutup<br />
Demikianlah, dan kami akhiri tulisan ini dengan memohon kepada Allah dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar dia menganugerahkan kepada kita semua keindahan lahir dan batin, di dunia dan akhirat kelak, serta memudahkan kita untuk memahami dan mengamalkan petunjuk-Nya dengan baik dan benar, sesungguhnya Dia Maha Indah dan Maha Mengabulkan doa.sweetboyhttp://www.blogger.com/profile/01727959537351178770noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5997723159742571779.post-53461091873580469532011-02-16T01:00:00.000-08:002011-02-16T01:00:39.769-08:00Al-Bashir, Yang Maha Melihat<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://1.bp.blogspot.com/-wZi2cQcq94E/TVuSL_jc-JI/AAAAAAAAAOo/NLL51gYCkyQ/s1600/ed.jpg" imageanchor="1" style="margin-left:1em; margin-right:1em"><img border="0" height="225" width="225" src="http://1.bp.blogspot.com/-wZi2cQcq94E/TVuSL_jc-JI/AAAAAAAAAOo/NLL51gYCkyQ/s400/ed.jpg" /></a></div><br />
<br />
Qiwamussunnah Al-Ashfahani rahimahullahu mengatakan:<br />
“Maka, penglihatan Sang Pencipta tidak seperti penglihatan makhluk, dan pendengaran Sang Pencipta tidak seperti pendengaran makhluk. Sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala melihat apa yang di bawah tanah dan apa yang di bawah bumi yang ketujuh, serta apa yang di langit-langit yang tinggi. Tidak ada sesuatupun yang luput atau tersembunyi dari pandangan-Nya. Ia melihat apa yang berada di dalam lautan berikut kegelapannya, sebagaimana ia melihat apa yang di langit. Sementara manusia hanya melihat apa yang dekat dengan pandangannya, adapun yang jauh tidak mampu mereka lihat. Dan manusia tidak mampu melihat sesuatu yang tertutupi antara dia dengannya…<br />
Terkadang nama itu sama, akan tetapi maknanya berbeda.” (Al-Hujjah, 1/181)<br />
<br />
Al-Bashir adalah salah satu Al-Asma`ul Husna. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebut nama-Nya ini dalam beberapa ayat, di antaranya dalam surat An-Nisa` ayat 58 (artinya) :<br />
“Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”<br />
Juga dalam Asy-Syura ayat 11 (artinya) :<br />
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”<br />
Dalam hadits Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, juga disebutkan:<br />
“Kami bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bila kami menaiki dataran tinggi, maka kami mengucapkan takbir.(Dalam sebagian lafadz: “Sampai kami keraskan suara kami.” (HR. Al-Bukhari, no. 2770) Maka beliau mengatakan: ‘Wahai manusia kasihilah diri kalian, karena kalian tidaklah menyeru Dzat yang tuli atau jauh, akan tetapi Ia Maha Mendengar dan Maha Melihat.’<br />
Lalu beliau mendatangiku, sementara aku sedang mengucapkan dalam diriku: ‘La haula wala quwwata illa billah.’ Lalu beliau mengatakan: ‘Wahai Abdullah bin Qais (nama Abu Musa), ucapkan La haula wala quwwata illa billah. Sesungguhnya itu adalah salah satu kekayaan yang tersimpan di surga.’ Atau beliau mengatakan: ‘Tidakkah kamu mau aku tunjuki salah satu harta kekayaan di surga? La haula wala quwwata illa billah’.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 5905, 7386)<br />
Dengan demikian, maka kita mengimani bahwa salah satu Al-Asma`ul Husna adalah Al-Bashir, artinya Yang Maha Melihat. Dan dengan demikian, berarti salah satu sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Al-Bashar yakni melihat.Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu mengatakan: “Al-Bashir maknanya adalah Yang melihat segala sesuatu walaupun lembut dan kecil. Maka, Ia melihat langkah semut kecil yang hitam di malam yang kelam di atas batu yang keras. Ia juga melihat apa yang di bawah tujuh bumi sebagaimana melihat apa yang di atas langit yang tujuh. Ia juga mendengar dan melihat siapa saja yang berhak mendapatkan balasan-Nya sesuai hikmah-Nya. Dan makna yang terakhir ini kembali kepada hikmah-Nya.” (Tafsir As-Sa’di)<br />
Dalam ayat dan hadits yang lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan sifat melihat dengan sebutan ru’yah, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala sebutkan dalam surat Thaha ayat 46:<br />
“Allah berkata: Janganlah kamu berdua khawatir, sesungguhnya Aku bersama kamu berdua, Aku mendengar dan melihat.”<br />
Dan dalam surat Al-‘Alaq ayat 14:<br />
“Tidakkah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya?”<br />
Dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam disebutkan:<br />
“Malaikat Jibril mengatakan kepada Nabi: ‘Apakah ihsan itu?’ Beliau menjawab: ‘Yaitu engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Allah melihatmu’.” (Shahih, HR Al-Bukhari dan Muslim)<br />
Qiwamussunnah Al-Ashfahani rahimahullahu mengatakan: “Maka, penglihatan Sang Pencipta tidak seperti penglihatan makhluk, dan pendengaran Sang Pencipta tidak seperti pendengaran makhluk. Sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala melihat apa yang di bawah tanah dan apa yang di bawah bumi yang ketujuh, serta apa yang di langit-langit yang tinggi. Tidak ada sesuatupun yang luput atau tersembunyi dari pandangan-Nya. Ia melihat apa yang berada di dalam lautan berikut kegelapannya, sebagaimana ia melihat apa yang di langit. Sementara manusia hanya melihat apa yang dekat dengan pandangannya, adapun yang jauh tidak mampu mereka lihat. Dan manusia tidak mampu melihat sesuatu yang tertutupi antara dia dengannya…<br />
Terkadang nama itu sama, akan tetapi maknanya berbeda.” (Al-Hujjah, 1/181)<br />
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan pula dalam Al-Qur`an sifat An-Nazhar yang artinya juga melihat. Firman-Nya:<br />
“Dan Allah tidak akan melihat kepada mereka pada hari kiamat.” (Ali ‘Imran: 77)<br />
Sifat ini juga disebutkan dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:<br />
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa-rupa dan harta benda kalian, akan tetapi melihat kepada kalbu dan amal kalian.” (Shahih, HR. Muslim)<br />
Tentang Sifat Mata Allah Subhanahu wa Ta’ala<br />
Dalam ayat dan hadits yang lain juga disebutkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki mata. Dan ini adalah sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berkaitan dengan Dzat-Nya. Tentunya mata Allah Subhanahu wa Ta’ala sesuai dengan keagungan dan kebesaran-Nya, tidak sama dengan mata makhluk yang identik dengan kelemahan dan kekurangan. Nama bisa sama, akan tetapi hakikatnya berbeda. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: <br />
“Tidaklah ada yang serupa dengan-Nya sesuatu apapun, dan Ia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syura: 11)<br />
Tentang sifat ini, telah Allah Subhanahu wa Ta’ala sebutkan dalam beberapa ayat:<br />
“Dan buatlah bahtera itu dengan penglihatan mata Kami dan petunjuk Kami.” (Hud: 37)<br />
“Dan aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang dari-Ku, dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasan mata-Ku.” (Thaha: 39)<br />
“Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan dari Rabbmu, maka sesungguhnya kamu dalam penglihatan mata Kami.” (Ath-Thur: 48)<br />
Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu disebutkan: <br />
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat ini (artinya): ‘Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Melihat.’ Lalu beliau meletakkan jari telunjuknya pada kedua matanya dan ibu jarinya pada pada dua telinganya.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah dalam Kitabut Tauhid hal. 43, Ad-Darimi dalam Radd ‘alal Marisi hal. 47, Ibnu Hibban no. 265, Al-Baihaqi dalam Al-Asma` wash Shifat no. 390. Dan lafadz hadits di atas adalah lafadz Ad-Darimi rahimahullahu. Dishahihkan oleh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abi Dawud)<br />
Al-Harras rahimahullahu berkata: “Makna hadits ini adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala mendengar dengan pendengaran dan melihat dengan mata. Sehingga hadits ini merupakan bantahan terhadap Mu’tazilah dan sebagian Asy’ariyyah yang berpendapat bahwa pendengaran-Nya artinya pengetahuan-Nya terhadap sesuatu yang dapat didengar, dan penglihatan-Nya adalah pengetahuan-Nya terhadap sesuatu yang dapat dilihat. Tanpa diragukan lagi, ini adalah tafsir yang salah. Karena pendengaran dan penglihatan itu maknanya lebih dari sekadar pengetahuan, karena pengetahuan terkadang dapat diperoleh tanpanya.” (Syarh Nuniyyah, 2/72-73)<br />
Dalam hadits yang lain disebutkan: <br />
“Sesungguhnya Allah tidak tersamarkan pada kalian. Sesungguhnya Allah tidak buta sebelah (dan beliau mengisyaratkan kepada matanya). Dan sesungguhnya Al-Masih Ad-Dajjal mata sebelah kanannya cacat, seolah matanya sebiji anggur yang menonjol.” (HR. Al-Bukhari no. 4707 dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma)<br />
Ibnu Khuzaimah rahimahullahu mengatakan: “Maka wajib atas setiap mukmin untuk menetapkan bagi Penciptanya, Pembentuk rupanya, apa yang telah ditetapkan oleh Sang Pencipta dan Pembentuk rupa untuk diri-Nya, yaitu mata. Adapun selain mukmin, dia menolak dan meniadakan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapkan untuk diri-Nya dalam Al-Qur`an, dengan keterangan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang Allah Subhanahu wa Ta’ala angkat sebagai penjelas apa yang datang dari-Nya.<br />
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur`an agar kamu terangkan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka.” (An-Nahl: 44)<br />
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki dua mata, maka keterangan beliau sesuai dengan keterangan Al-Qur`an.”<br />
Beliau juga mengatakan: “Dan kami mengatakan: ‘Rabb kami, Sang Pencipta, memiliki dua mata. Dengan keduanya, Ia melihat apa yang berada di bawah tanah dan bahkan di bawah bumi yang ketujuh dan apa yang berada pada langit-langit yang tinggi.”<br />
Demikian pula hal ini diterangkan oleh Al-Lalaka`i rahimahullahu dalam Ushulul I’tiqad.<br />
Ibnu Utsaimin rahimahullahu mengatakan: “Ahlus Sunnah bersepakat bahwa mata Allah Subhanahu wa Ta’ala ada dua. Yang mendukung ijma’ (kesepakatan) ini adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang Dajjal: ‘Sesungguhnya ia buta sebelah, dan Rabb kalian tidak buta sebelah’.” (‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah)<br />
Buah Mengimani Nama Al-Bashir<br />
Tentu buah mengimani nama ini sangat jelas, yaitu akan menumbuhkan sikap muraqabah (merasa diawasi) pada diri orang yang mengimaninya. Yakni, dia senantiasa merasa diawasi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga ia selalu mawas diri dan mempertimbangkan segala langkah yang akan ia tempuh dalam gerak-geriknya.sweetboyhttp://www.blogger.com/profile/01727959537351178770noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5997723159742571779.post-21267619568467202942011-02-16T00:22:00.000-08:002011-02-16T00:22:26.493-08:00Takwa, Bekal Pulang Kita Ke Kampung Akhirat<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://1.bp.blogspot.com/-GA1c_PP5yzs/TVuJNIcXJeI/AAAAAAAAAOg/0jOmFLTu4jg/s1600/wss.jpg" imageanchor="1" style="margin-left:1em; margin-right:1em"><img border="0" height="177" width="284" src="http://1.bp.blogspot.com/-GA1c_PP5yzs/TVuJNIcXJeI/AAAAAAAAAOg/0jOmFLTu4jg/s400/wss.jpg" /></a></div><br />
<br />
<br />
Ketahuilah! Bekal yang terbaik bagi seorang hamba untuk meraih kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat kelak adalah bekal ketakwaan kepada Allah. Sebagaimana telah Allah azza wa jalla jelaskan dalam firman-Nya (yang artinya):<br />
“Dan Sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku Hai orang-orang yang berakal.” (Al-Baqaroh: 197)<br />
Setiap orang pasti menginginkan kemuliaan dan tidak menyukai kehinaan. Lalu dengan apa seseorang menjadi mulia? Kemuliaan hanya dapat diraih dengan ketakwaan yang sebenar-benarnya, dan bukan dengan banyaknya harta atau dengan tingginya kedudukan. Hanya dengan ketakwaan seseorang akan mulia disisi Allah, sebagaimana telah Allah azza wa jalla jelaskan dalam Al-Qur’an (yang artinya):<br />
“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kalian. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Al-Hujurat: 13)<br />
<br />
Makna Takwa<br />
Para ulama telah banyak yang memberikan pengertian tentang takwa diantaranya adalah perkataan Thalq bin Habib rahimahullah, beliau mengatakan: “Takwa yaitu melakukan ketaatan kepada Allah berdasarkan ilmu yang datang dari Allah semata-mata mengharap pahala dari-Nya. Dan meninggalkan kemaksiatan kepada Allah berdasarkan ilmu yang datang dari Allah karena takut akan adzab-Nya.”<br />
Jika demikian, begitu tingginya nilai ketakwaan disisi Allah ‘azza wa jalla. Bahkan tujuan diwajibkannya puasa Ramadhan yang baru saja kaum muslimin melaksanakannya adalah agar mereka bertakwa kepada Allah ‘azza wa jalla, sebagaimana firman-Nya (yang artinya):<br />
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” (Al-Baqarah: 183)<br />
Perintah untuk bertakwa kepada Allah azza wa jalla sangat banyak dalam Al-Qur’an. Diantaranya firman Allah azza wa jalla (yang artinya):<br />
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kalian mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (Ali ‘Imran: 102)<br />
Dan juga firman-Nya (yang artinya):<br />
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb-kalian yang telah menciptakan kalian dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kalian saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kalian.” (An-Nisa’: 1)<br />
Dan firman-Nya pula (yang artinya):<br />
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki amalan-amalan kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (Al-Ahzab: 70-71).<br />
Ketiga ayat di atas sering dibaca Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam pembukaan khuthbahnya yang dikenal dengan KHUTHBATUL HAAJAH. Hal ini menunjukkan pentingnya takwa sehingga beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam sering kali mengingatkan kaum muslimin untuk senantiasa bertakwa kepada Allah azza wa jalla.<br />
Takwa adalah sebaik-sebaik bekal<br />
Bekal yang terbaik bagi seorang hamba untuk meraih kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat kelak adalah bekal ketakwaan kepada Allah. Sebagaimana telah Allah azza wa jalla jelaskan dalam firman-Nya (yang artinya):<br />
“Dan Sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku Hai orang-orang yang berakal.” (Al-Baqaroh: 197)<br />
Al-Imam As-Sa’di rahimahullah ketika menafsirkan ayat tersebut mengatakan: “Adapun bekal yang sebenarnya yang manfaatnya terus berlanjut bagi pelakunya di dunia maupun di akhirat adalah bekal ketakwaan (kepada Allah azza wa jalla), yaitu bekal untuk kampung akhirat yang kekal yang mengantarkan kepada kelezatan yang sempurna dan kepada kenikmatan yang terus-menerus. Barangsiapa yang meninggalkan bekal ini, maka dia akan terputus dengannya yang berarti ini menjadi peluang bagi setiap kejelekan (untuk menjangkitinya), dan dia tercegah untuk sampai ke kampung orang-orang yang bertakwa (Al-Jannah/surga-red). Ini adalah pujian bagi sifat takwa.” (lihat Taisiru Al-Karimi Ar-Rahman, halaman 91) <br />
Kemuliaan hanya akan dapat diraih dengan ketakwaan<br />
Setiap orang pasti menginginkan kemuliaan dan tidak menyukai kehinaan. Lalu dengan apa seseorang menjadi mulia? Kemuliaan hanya dapat diraih dengan ketakwaan yang sebenar-benarnya, dan bukan dengan banyaknya harta atau dengan tingginya kedudukan. Hanya dengan ketakwaan seseorang akan mulia disisi Allah, sebagaimana telah Allah azza wa jalla jelaskan dalam Al-Qur’an (yang artinya):<br />
“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kalian. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Al-Hujurat: 13)<br />
Kapan dan dimana kita bertakwa?<br />
Ketahuilah! bahwa Allah azza wa jalla Maha Mengetahui dan Maha Melihat, baik yang kecil maupun yang besar, yang jauh maupun yang dekat, yang tampak maupun yang tersembunyi. Semua itu dilihat dan diketahui oleh Allah azza wa jalla. Diantara sifat-sifat-Nya yang lain adalah bahwa Allah azza wa jalla Maha Mendengar, baik suara itu pelan ataupun keras. Allah azza wa jalla berfiman (yang artinya):<br />
“Dan jika kamu mengeraskan ucapanmu, Maka Sesungguhnya Dia mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi.” (Thaha: 7)<br />
Bahkan Allah azza wa jalla Mengetahui apa yang terlintas dalam hati seseorang, sebagaimana firman-Nya (yang artinya):<br />
“Sesungguhnya Allah mengetahui yang tersembunyi di langit dan di bumi. Sesungguhnya Dia Maha mengetahui segala isi hati.” (Faathir: 38)<br />
Oleh karena itu, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat agar kita bertakwa kepada Allah azza wa jalla dimanapun dan kapanpun kita berada. Beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:<br />
“Bertakwalah engkau kepada Allah dimana saja kamu berada, ikutilah kejelekan dengan kebaikan, niscaya kebaikan (amal sholih) tersebut akan menghapuskannya (perbuatan jelek-red); dan bergaullah dengan orang lain dengan akhlak yang baik.” (HR. At-Tirmidzi no.1987)<br />
Kita diperintahkan untuk bertakwa kepada Allah dimana saja kita berada, baik dalam keadaan sendirian ataupun ditengah orang banyak, karena Allah azza wa jalla Melihat dan Mengawasi kita dimana dan kapanpun kita berada.<br />
<br />
Janji Allah Bagi Orang Yang Bertakwa<br />
Allah azza wa jalla telah banyak menyebutkan janji-janji-Nya dalam Al-Qur’an bagi orang-orang yang bertakwa, dan Allah azza wa jalla tidak akan pernah mengingkari janji-Nya. Diantara janji-janji-Nya adalah:<br />
1. Akan diberi jalan keluar dari kesulitan yang dia alami dan diberi rizki dari arah yang tidak disangka-sangka. Allah azza wa jalla berfirman (yang artinya):<br />
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan (Dia akan) memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (Ath-Thalaq: 2-3)<br />
2. Akan dimudahkan segala urusannya. Hal tersebut sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Allah azza wa jalla dalam firman-Nya (yang artinya):<br />
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (Ath-Thalaq: 4)<br />
3. Akan diampuni dosanya dan diberi pahala yang besar. Sebagaimana firman Allah azza wa jalla (yang artinya):<br />
“Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya dia akan menghapus kesalahan-kesalahannya dan akan melipat gandakan pahala baginya.” (Ath-Thalaq: 5)<br />
4. Akan dimasukkan ke dalam surga yang penuh dengan kenikmatan dan kelezatan serta penuh dengan ampunan. Allah azza wa jalla telah menjelaskan dalam firman-Nya (yang artinya):<br />
“(Apakah) perumpamaan (penghuni) jannah yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tiada berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari air susu yang tidak berubah rasanya, sungai-sungai dari khamar yang lezat rasanya bagi peminumnya dan sungai-sungai dari madu yang disaring; dan mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan dan ampunan dari Rabb mereka sama dengan orang yang kekal dalam Jahannam dan diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong-motong ususnya?” (Muhammad: 15)<br />
<br />
Semoga Allah senantiasa mencurahkan rahmat-Nya bagi kita semua.<br />
Semoga Allah azza wa jalla memberi kemampuan kepada kita untuk melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya, serta menggolongkan kita ke dalam golongan orang-orang yang bertakwa yang akan meraih Al-Jannah (surga) yang penuh dengan kenikmatan. Amiin Ya Rabbal ‘alamiin.sweetboyhttp://www.blogger.com/profile/01727959537351178770noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5997723159742571779.post-38076293572239351052011-02-16T00:09:00.000-08:002011-02-16T00:09:14.284-08:00Amal Ketakwaan sebagai Bekal Tabungan Akhirat<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://4.bp.blogspot.com/-_IEz1UjYfhg/TVuGH5THb2I/AAAAAAAAAOY/7wcS-DXn1PQ/s1600/SYAHADAH%2B%2B%2BAKU%2BNAIK%2BSAKSI%2BTIADA%2BTUHAN%2BSELAIN%2BALLAH%2BNABI%2BMUHAMMAD%2BSAW%2BPESURUH%2BALLAH..jpg" imageanchor="1" style="margin-left:1em; margin-right:1em"><img border="0" height="236" width="180" src="http://4.bp.blogspot.com/-_IEz1UjYfhg/TVuGH5THb2I/AAAAAAAAAOY/7wcS-DXn1PQ/s400/SYAHADAH%2B%2B%2BAKU%2BNAIK%2BSAKSI%2BTIADA%2BTUHAN%2BSELAIN%2BALLAH%2BNABI%2BMUHAMMAD%2BSAW%2BPESURUH%2BALLAH..jpg" /></a></div><br />
<br />
<br />
<br />
Manusia umumnya gemar menumpuk atau menimbun harta. Namun mungkin tak pernah disadari bahwa harta mereka yang hakiki adalah yang disuguhkan pada kebaikan.<br />
Banyak orang berlomba-lomba mencari harta dan menabungnya untuk simpanan di hari tuanya. Menyimpan harta tentunya tidak dilarang selagi ia mencarinya dari jalan yang halal dan menunaikan apa yang menjadi kewajibannya atas harta tersebut, seperti zakat dan nafkah yang wajib.<br />
Namun ada simpanan yang jauh lebih baik dari itu, yaitu amal ketaatan (amal ketakwaan, red) dengan berbagai bentuknya yang ia suguhkan untuk hari akhir. Yaitu suatu hari dimana tidak lagi bermanfaat harta, anak, dan kedudukan yang pernah kita miliki selama hidup di dunia.<br />
<br />
Harta memang membuat silau para pecintanya dan membius mereka sehingga seolah harta segala-galanya. Tak heran jika banyak orang menempuh cara yang tidak dibenarkan oleh syariat dan fitrah kesucian seperti korupsi, mencuri, dan menipu. Padahal betapa banyak orang bekerja namun ia tidak bisa mengenyam hasilnya. Tidak sedikit pula orang menumpuk harta namun belum sempat ia merasakannya, kematian telah menjemputnya sehingga hartanya berpindah kepada orang lain. Orang seperti ini jika tidak memiliki amal kebaikan maka ia rugi di dunia dan di akhirat. Sungguh betapa sengsaranya.<br />
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:<br />
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amalan-amalan yang kekal lagi shalih adalah lebih baik pahalanya di sisi Rabbmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (Al-Kahfi: 46)<br />
Dan firman-Nya:<br />
“Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal.” (An-Nahl: 96) <br />
Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullah meriwayatkan dengan sanadnya dari sahabat Tsauban radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Tatkala turun ayat: “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak…” (At-Taubah: 34). Tsauban radhiyallahu ‘anhu berkata: Dahulu kami bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada sebagian safarnya. Lalu sebagian sahabat berkata: “Telah diturunkan ayat mengenai emas dan perak seperti apa yang diturunkan. Kalau seandainya kita tahu harta apa yang terbaik yang kita akan mengambilnya?” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:<br />
“Yang utama adalah lisan yang berdzikir, hati yang syukur dan istri mukminah yang membantunya (dalam melaksanakan) agamanya.” (Shahih Sunan At-Tirmidzi, 3/246-247, no. 3094, cet. Al-Ma’arif)<br />
<br />
Tingkatan-tingkatan Amalan<br />
Amal ketaatan yang dijadikan sebagai simpanan memiliki tingkatan keutamaan dari sisi penekanan dalam pelaksanaannya dan dari sisi pengaruh yang muncul darinya. Adapun dari sisi penekanan, amal-amal yang wajib didahulukan dari yang sunnah. Disebutkan dalam hadits qudsi bahwa Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:<br />
“Dan tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang paling Aku cintai dari apa yang Aku wajibkan atasnya.” (HR. Al-Bukhari, no. 6502)<br />
Demikian pula, sesuatu yang maslahatnya lebih besar didahulukan dari yang lebih kecil. Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Menimba ilmu lebih utama daripada shalat sunnah.” (Mawa’izh Al-Imam Asy-Syafi’i, hal. 53)<br />
Hal itu karena manfaat dari ilmu sangat luas, yaitu untuk dia dan orang lain. Demikian pula suatu amalan lebih mulia dari yang lainnya karena kondisi, waktu, tempat, dan orang yang melakukannya. Suatu contoh, shadaqah yang dikeluarkan oleh sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, walaupun sebesar dua cakupan tangan tidak bisa tertandingi nilainya dengan shadaqah kita, meskipun sebesar gunung Uhud. Dalam kondisi seorang tidak bisa menggabungkan antara amalan yang mulia dengan yang di bawahnya, maka dia mendahulukan yang lebih mulia. Termasuk kesalahan jika seorang mementingkan amalan yang sunnah sehingga meninggalkan yang wajib.<br />
<br />
Luasnya Rahmat Allah subhanahu wa ta’ala<br />
Kasih sayang Allah subhanahu wa ta’ala terhadap hamba-Nya begitu luas. Kalau saja orang kafir dan ahli maksiat di dunia ini masih selalu diberi rizki oleh Allah subhanahu wa ta’ala, padahal mereka berada di atas kesesatannya, maka tentunya orang yang beriman dan beramal shalih akan mendapatkan berbagai limpahan nikmat dan karunia-Nya di dunia ini, serta terus bersambung hingga di hari kiamat nanti. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:<br />
“Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (An-Nahl: 97)<br />
Orang yang menggabungkan antara iman dan amal shalih akan Allah subhanahu wa ta’ala beri kehidupan yang baik di dunia ini, berupa tentramnya jiwa dan rizki yang halal lagi baik. Adapun di akhirat kelak, dia akan memperoleh berbagai kelezatan yang mata belum pernah melihatnya, telinga belum pernah mendengarnya, dan belum pernah terbetik dalam hati manusia.<br />
Termasuk bentuk luasnya rahmat Allah subhanahu wa ta’ala adalah dilipatgandakannya pahala amalan, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:<br />
“Barangsiapa membawa amal yang baik maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan yang jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya(dirugikan).” (Al-An’am: 160)<br />
Demikian pula, amal kebaikan akan mengangkat derajat pelakunya dan menghapus dosa yang dilakukannya.<br />
<br />
Barakah Keikhlasan<br />
Tidak akan pernah merugi orang yang mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan amalan yang sesuai petunjuk syariat dan dibarengi dengan keikhlasan hati. Orang yang memiliki sifat tersebut akan mendapat barakah pada hartanya, anak keturunannya, dirinya, serta akan diselamatkan dari marabahaya.<br />
Beberapa kisah telah membuktikan, dahulu, di zaman Bani Israil ada seorang lelaki yang shalih lalu wafat dan meninggalkan dua anaknya sebagai anak yatim. Kedua anak tersebut, karena kecil dan lemahnya maka Allah subhanahu wa ta’ala jaga harta warisan dari orangtuanya sehingga tidak hilang atau rusak, seperti dalam surat Al-Kahfi ayat 82.<br />
Suatu ketika ada tiga orang dari umat sebelum Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bermalam di suatu goa. Ketika mereka berada di dalamnya, tiba-tiba jatuh batu besar hingga menutupi pintunya. Mereka yakin bahwa mereka tidak akan bisa keluar kecuali dengan ber-tawassul (menjadikan amal sebagai perantara) kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Masing-masing menyebutkan amalannya yang ia pandang paling ikhlas. Allah subhanahu wa ta’ala kabulkan permohonan mereka. Batu tersebut bergeser sehingga mereka bisa keluar dari goa.<br />
Perhatikanlah wahai saudaraku, bahwa orang yang mengenal Allah subhanahu wa ta’ala dengan melakukan berbagai ketaatan di saat lapang maka Allah subhanahu wa ta’ala akan mengenalnya di saat dia susah. Sungguh manusia mendambakan kedamaian hidup dan terhindar dari berbagai bencana, tetapi mereka tidak mendapatkannya kecuali ketika mereka tunduk terhadap aturan Allah subhanahu wa ta’ala dan bersimpuh di hadapan-Nya.<br />
Tidak Meremehkan Kebaikan Sekecil Apapun<br />
Allah Maha Adil dan tidak mendzalimi hamba-Nya. Barangsiapa yang melakukan kebaikan sekecil apapun pasti dia akan melihat balasan kebaikannya. Sebagaimana kalau ia berbuat dosa selembut apapun niscaya dia melihat pembalasannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:<br />
“Wahai wanita muslimah, janganlah seorang tetangga menganggap remeh (pemberian) tetangganya, walaupun sekadar kaki kambing.” (HR. Al-Bukhari dalam Kitabul Adab dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)<br />
Hadits ini adalah larangan bagi yang akan memberikan hadiah untuk menganggap remeh apa yang akan ia berikan kepada tetangganya, walaupun sesuatu yang sedikit. Karena yang dinilai adalah keikhlasan dan kepedulian terhadap tetangganya. Juga, karena memberi sesuatu yang banyak tidak bisa dimampu setiap saat. Demikian pula, hadits ini melarang orang yang diberi hadiah dari meremehkan pemberian tetangganya. (Lihat Fadhlullah Ash-Shamad, 1/215-216)<br />
Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya):<br />
“Tatkala ada seekor anjing berputar-putar di sekitar sumur yang hampir mati karena haus, tiba-tiba ada seorang wanita pezina dari para pezina Bani Israil. Lalu ia melepas khuf (sepatu dari kulit yang menutupi mata kaki) miliknya, kemudian ia mengambil air dengannya dan memberi minum anjing tersebut. Maka ia diampuni (oleh Allah subhanahu wa ta’ala) karenanya.” (Riyadhush Shalihin, Bab ke-13, hadits no. 126)<br />
Lihatlah wahai saudaraku, karena memberi minum seekor binatang yang kehausan, dia mendapatkan ampunan dari Allah subhanahu wa ta’ala. Maka, orang yang memberi minum manusia, baik dengan cara menggali sumur atau mengalirkan parit dan semisalnya, tentunya sangat besar pahalanya di sisi Allah subhanahu wa ta’ala. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya):<br />
“Tujuh (perkara) yang pahalanya mengalir bagi hamba sedangkan dia berada di kuburannya setelah matinya: (yaitu) orang yang mengajarkan ilmu, atau mengalirkan sungai, atau menggali sumur, atau menanam pohon kurma, atau membangun masjid atau mewariskan (meninggalkan) mushaf (Al-Qur`an) atau meninggalkan anak yang memintakan ampunan baginya setelah matinya.” (HR. Al-Bazzar dan dihasankan oleh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Al-Jami’, no. 3602)<br />
Dan tersebut dalam hadits:<br />
“Ada seorang lelaki melewati suatu dahan pohon di tengah jalan, lalu dia mengatakan: ‘Demi Allah, aku akan menyingkirkan dahan ini dari kaum muslimin sehingga tidak mengganggu mereka.’ Maka orang tersebut dimasukkan (oleh Allah subhanahu wa ta’ala) ke dalam jannah (surga).” (HR. Muslim, Riyadhus Shalihin Bab Fi Bayani Katsrati Thuruqil Khair)<br />
Coba renungkan hadits tadi dengan baik. Bagaimana orang tersebut dimasukkan ke dalam jannah (surga) karena melakukan cabang keimanan yang terendah, yaitu menyingkirkan gangguan dari jalan. Bagaimana kiranya orang yang melakukan cabang iman yang lebih tinggi dari itu?<br />
Inti dari ini semua, lapangan untuk kita beramal shalih sangatlah banyak. Jika kita tidak mampu mengamalkan suatu kebaikan, maka ada pintu lain yang bisa kita masuki. Juga, terkadang seseorang menganggap suatu amalan itu remeh padahal di sisi Allah subhanahu wa ta’ala itu besar. Kemudian yang terpenting pula dari itu, bahwa pahala akhirat itu tidak bisa dibandingkan dengan kenikmatan dunia. Inilah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam haditsnya:<br />
“Dua rakaat fajar lebih baik dari dunia dan seisinya.” (HR. Muslim dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha)<br />
Shalat sunnah sebelum shalat subuh lebih baik daripada dunia dan seisinya, karena apa yang ditujukan kepada Allah subhanahu wa ta’ala akan kekal. Sedangkan dunia, seberapapun seorang mendapatkannya maka ia akan lenyap.<br />
<br />
Harta Kita yang Sesungguhnya<br />
Umumnya, kita menganggap bahwa harta yang disimpan itulah harta kita yang sesungguhnya. Padahal sebenarnya harta kita adalah yang telah kita suguhkan untuk kebaikan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:<br />
“Siapa di antara kalian yang harta ahli warisnya lebih dia cintai dari hartanya (sendiri)?” Mereka (sahabat) menjawab: “Wahai Rasulullah, tidak ada dari kita seorangpun kecuali hartanya lebih ia cintai.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya hartanya adalah yang ia telah suguhkan (sedekahkan, red), sedangkan harta ahli warisnya adalah yang dia akhirkan (yang masih ada, red).” (HR. Al-Bukhari)<br />
Ibnu Baththal rahimahullah berkata: “Dalam hadits ini ada anjuran untuk menyuguhkan apa yang mungkin bisa disuguhkan dari harta pada sisi-sisi taqarrub kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan kebaikan. Supaya ia nantinya bisa mengambil manfaat darinya di akhirat. Karena segala sesuatu yang ditinggalkan oleh seseorang, maka akan menjadi hak milik ahli warisnya. Jika nantinya ahli waris menggunakan harta itu dalam ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, maka hanya ahli warisnya yang dapat pahala dari itu. Sedangkan yang mewariskannya hanya dia yang lelah mengumpulkannya….” (Fathul Bari, 11/260)<br />
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah menuturkan bahwa dahulu sahabat menyembelih kambing, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Apa yang masih tersisa dari kambing itu?” ‘Aisyah berkata: “Tidak tersisa darinya kecuali tulang bahunya.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Semuanya tersisa, kecuali tulang bahunya.” (Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 2470)<br />
Maksudnya, apa yang kamu sedekahkan maka itu sebenarnya yang kekal di sisi Allah subhanahu wa ta’ala dan yang belum disedekahkan maka itu tidak kekal di sisi-Nya.<br />
<br />
Wallahu a’lam bish-shawab.sweetboyhttp://www.blogger.com/profile/01727959537351178770noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5997723159742571779.post-43196524339086408692011-02-15T23:10:00.000-08:002011-02-15T23:10:49.700-08:00Kemana Kita Hendak Berlindung ?<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://3.bp.blogspot.com/-JcosD-z43zo/TVt3s07WgCI/AAAAAAAAAOQ/nqS7uxjgkkw/s1600/168169_183589331681816_100000922513571_404150_2594782_n.jpg" imageanchor="1" style="margin-left:1em; margin-right:1em"><img border="0" height="300" width="400" src="http://3.bp.blogspot.com/-JcosD-z43zo/TVt3s07WgCI/AAAAAAAAAOQ/nqS7uxjgkkw/s400/168169_183589331681816_100000922513571_404150_2594782_n.jpg" /></a></div><br />
<br />
<br />
Adalah suatu perkara yang wajar, bila setiap orang merasa takut dan khawatir akan ditimpa suatu kejelekan, musibah, dan perkara-perkara lain yang tidak disukainya. Namun manusia tidaklah selalu akan terhindar dari perkara-perkara yang tidak disukainya tersebut, di samping dia juga pasti mendapatkan perkara-perkara yang dia inginkan. Itulah kehidupan. Dengan penuh keadilan dan kebijaksanaan-Nya, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah takdirkan itu semua kepada semua makhluk-Nya.<br />
<br />
Allah subhanahu wata’ala berfirman:<br />
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah .” (Al Hadiid: 22)<br />
Pada saat muncul perasaan khawatir dan takut (suatu kejelekan akan menimpa dirinya) itulah, seorang manusia butuh untuk mendapatkan perlindungan, dengan harapan agar dia terhindar darinya.<br />
Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan rahmat dan kasih sayang-Nya telah memberikan petunjuk melalui lisan Rasul-Nya Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam kepada umat manusia ini, bagaimana seyogyanya bagi seorang hamba dalam meminta perlindungan. Allah Subhanahu Wa a’ala, sebagai pencipta kebaikan dan kejelekan, dan pengatur alam semesta ini, sudah sepantasnyalah, bagi seorang hamba untuk menjadikan Dia sebagai satu-satunya tempat berlindung dari kejelekan apa-apa yang Dia ciptakan.<br />
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:<br />
“Allahlah satu-satunya tempat bergantung.” (Al Ikhlas: 2)<br />
Namun kenyataannya, kita lihat sebagian kaum muslimin masih ada yang menjadikan tempat berlindung mereka selain Allah ?. Ketika akan mengadakan hajatan atau pesta pernikahan misalnya, mereka mendatangi kuburan yang diyakini sebagai kuburan wali, meminta perlindungan kepadanya agar acara yang akan diadakannya berjalan dengan selamat. Atau seseorang ketika melewati suatu lembah atau tempat-tempat lain, kemudian dengan lisan dan hatinya, serta penuh dengan kekhusyukan dan perendahan diri, dia mengucapkan kalimat permintaan perlindungan kepada penunggu tempat tersebut dari kalangan jin dan yang lainnya dari selain Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan keyakinan agar tidak ada sesuatu pun yang menghalangi dia dalam perjalanannya.<br />
Para pembaca yang semoga dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mengapa perbuatan-perbuatan tersebut tergolong sebagai perbuatan terlarang? Dan apakah larangan meminta perlindungan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala ini berlaku secara mutlak? Karena kita juga dapati ada seseorang yang dimintai perlindungan ternyata dia mampu untuk memberikan perlindungannya kepada orang yang memintanya tadi. Apakah yang seperti ini dibolehkan?<br />
<br />
Isti’adzah Merupakan Ibadah<br />
Dalam istilah bahasa Arab, meminta perlindungan biasa disebut dengan Isti’adzah. Berkata Ibnu Katsir rahimahullah: “Isti’adzah adalah meminta perlindungan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mendekatkan diri ke hadapan-Nya (agar terhindar) dari kejelekan sesuatu.” (Fathul Majid, hal. 195, Asy Syaikh Abdurrahman Alu Asy Syaikh).<br />
Isti’adzah termasuk salah satu bentuk ibadah yang Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan kepada semua hamba-Nya.<br />
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Ibadah adalah sebuah nama yang mencakup semua perkara yang dicintai dan diridhai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang batin (tidak tampak) maupun yang lahir (tampak).” (Majmu’ Fatawa, jilid 10, hal. 149).<br />
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:<br />
“Katakanlah: Aku berlindung kepada Rabb Penguasa Shubuh.” (Al Falaq: 1)<br />
Dan juga firman-Nya:<br />
“Katakanlah: Aku berlindung kepada Tuhan manusia.” (An Naas: 1)<br />
Di dalam dua ayat yang agung ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan kepada hamba-Nya, untuk beristi’adzah kepada Rabb semesta alam. Tidaklah Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan sesuatu kepada hamba-hamba-Nya, melainkan pasti sesuatu tersebut dicintai dan diridhai oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Maka masuklah Isti’adzah ini ke dalam ruang lingkup ibadah sebagaimana definisi yang telah dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah tersebut.<br />
Asy Syaikh Shalih bin ‘Abdul ‘Aziz Alu Asy Syaikh dalam Syarh Kitab Tsalatsatil Ushul halaman 51 berkata: “Sebagian besar Ahlul Ilmi telah mengatakan bahwa Isti’adzah merupakan Ibadah Qalbiyyah.” Dalam kitabnya yang sama, beliau juga berkata: “Suatu ibadah tidaklah pantas ditujukan kecuali hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka barangsiapa yang memalingkan sedikit saja dari suatu ibadah kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, berarti dia telah menujukan (mempersembahkan) suatu peribadatan kepada selain-Nya.”<br />
Inilah hakekat kesyirikan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala larang sebagaimana firman-Nya:<br />
“Bahwa masjid-masjid adalah milik Allah. Maka janganlah kamu beribadah kepada sesuatupun (dari selain Allah) di samping (beribadah kepada) Allah.” (Al Jin: 18)<br />
Di dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang suatu peribadatan yang ditujukan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, walaupun di samping itu dia juga beribadah kepada-Nya.<br />
<br />
Hukum Beristi’adzah Kepada Selain Allah<br />
Asy Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah membuat bab dalam Kitabut Tauhid “Bab Termasuk Perbuatan Syirik Adalah Beristi’adzah Kepada Selain Allah.”<br />
Namun, dari sini tidaklah dipahami bahwa setiap Isti’adzah kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala merupakan perbuatan syirik secara mutlak. Karena jika seseorang beristi’adzah (meminta perlindungan) kepada orang lain yang dia mampu untuk memberikan perlindungan kepadanya, maka ini dibolehkan. Demikian penjelasan Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin dalam Al Qaulul Mufid, jilid 1 hal. 250.<br />
Para pembaca sekalian yang semoga dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala, bagaimanakah sebenarnya batasan-batasan Isti’adzah itu? Kapan Isti’adzah hanya boleh ditujukan kepada Allah ? saja? Dan kapan pula Isti’adzah kepada makhluk dibolehkan?<br />
<br />
Isti’adzah Kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala<br />
Terkandung dalam Isti’adzah ini bahwa seorang hamba benar-benar butuh kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, bergantung kepada-Nya, berkeyakinan bahwa hanya Dialah yang mencukupi segala kebutuhan hamba-Nya. Dialah Yang Maha Sempurna sebagai tempat berlindung dari segala sesuatu yang sedang atau akan terjadi, kecil atau besar, baik itu berasal dari manusia atau selainnya. (Syarh Tsalatsatil Ushul, hal. 63, karya Asy Syaikh Muhammad Al ‘Utsaimin).<br />
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:<br />
“Dan jika Syaithan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Fushshilat: 36).<br />
Di dalam ayat yang mulia ini, terkandung perintah agar beristi’adzah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika datang gangguan dari syaithan, mengapa?<br />
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Asy Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di bahwa sesungguhnya Dialah yang mendengar permohonanmu, Dia mengetahui keadaanmu dan kebutuhanmu yang sangat mendesak untuk mendapatkan perlindungan dan penjagaan-Nya. (Taisirul Karimir Rahman, hal. 750)<br />
Dan firman-Nya:<br />
“Katakanlah: Aku berlindung kepada Tuhan Penguasa Subuh.” (Al Falaq: 1)<br />
Dan juga firman-Nya:<br />
“Katakanlah: Aku berlindung kepada Tuhan manusia.” (An Naas: 1)<br />
Para pembaca sekalian, para ulama ahli tafsir telah memberikan faedah kepada kita tentang kandungan surat ini, di antaranya Asy Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di bahwa sudah seyogyanya kita meminta perlindungan kepada Dzat Yang Mengatur dan Memiliki alam semesta ini. Sebagai konsekuansi dari Rububiyyah-Nya, maka hanya kepada-Nyalah semua peribadatan hamba ditujukan. Beliau berkata: “ …. Maka tidaklah sempurna suatu peribadatan seseorang kecuali dengan menyingkirkan musuh-musuh mereka yang hendak memutuskan dan menghalangi manusia dari beribadah kepada-Nya dan menjadikan manusia masuk ke dalam golongannya sehingga akan menjeratnya ke dalam As Sa’ir (An Naar, pen).” (Taisirul Karimir Rahman, hal. 938).<br />
Maka apakah pantas jika seorang hamba beribadah dan meminta perlindungan kepada selain Dzat yang mencipta, mengatur, dan memelihara alam semesta ini???<br />
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:<br />
“Maka jika kamu hendak membaca Al Qur’an, maka mintalah perlindungan kepada Allah dari gangguan Syaithan yang terkutuk.” (An Nahl: 98).<br />
Berkata Al Imam Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya: “Ini merupakan perintah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba-Nya melalui lisan Nabi-Nya Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam jika mereka hendak membaca Al Qur’an, maka hendaknya berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari syaithan yang terkutuk.” (Tafsir Al Qur’an Al Adhim, 2 / 607).<br />
Isti’adzah Dengan Sifat-Sifat Allah<br />
Termasuk perkara yang disyariatkan pula beristi’adzah dengan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala, baik berupa sifat Kalam-Nya Keagungan dan Kemulian-Nya ataupun sifat-sifat-Nya yang lain.<br />
Dari Khaulah binti Hakim radhiyallahu ‘anha dia berkata: “Aku mendengar Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam bersabda:<br />
“Barangsiapa yang singgah di suatu tempat, kemudian berdo’a “Aku berlindung dengan Kalimat Allah Yang Sempurna dari kejelekan apa-apa yang Dia ciptakan”, maka tidak ada sesuatupun yang memudharatkan dia sampai dia beranjak dari tempatnya tersebut.” (H.R. Muslim).<br />
Hadits ini menunjukkan disyariatkannya berlindung dengan Kalimat Allah yang merupakan salah satu sifat dari sifat-sifat-Nya yang sempurna yang tidak ada kekurangan dan aib padanya.<br />
Al Imam An Nawawi rahimahullah berkata: “Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Kalimat di sini adalah Al Qur’an.” (Syarh Shahih Muslim, 17 / 26).<br />
Oleh karena itu para ulama berdalil dengan hadits ini bahwa Kalamullah adalah termasuk sifat-sifat-Nya dan bukan makhluk. Karena Isti’adzah kepada makhluk dalam keadaan seperti ini tidak diperbolehkan. Kalau seandainya Kalimat adalah makhluk, maka Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam tidaklah akan menuntunkan kepada kita untuk beristi’adzah dengannya. (Al Qaulul Mufid, 1 / 255).<br />
Maka jadilah hadits ini sebagai bantahan terhadap kelompok Mu’tazilah dan yang lainnya yang menyatakan bahwa Al Qur’an itu makhluk. Wallahu A’lam.<br />
<br />
Kapan Kita Dibolehkan Beristi’adzah Kepada Makhluk?<br />
Asy Syaikh Abdurrahman Alu Asy Syaikh dalam Fathul Majid hal. 198 membawakan perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau berkata: “Para ulama seperti Al Imam Ahmad dan yang lainnya telah menyatakan bahwa tidak boleh beristi’adzah kepada makhluk.” Demikian juga yang dinukilkan oleh Asy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, yang kemudian beliau mengomentari perkataan ini bahwa larangan tersebut tidaklah mutlak, karena larangan beristi’adzah kepada makhluk berlaku untuk perkara-perkara yang hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala saja yang mampu melakukannya.<br />
Adapun jika beristi’adzah kepada makhluk yang dia tidak mampu atasnya, maka ini termasuk perbuatan syirik sebagaimana contohnya telah kami sebutkan dalam awal risalah ini.<br />
Dan termasuk dalam larangan ini juga beristi’adzah kepada penghuni kubur (orang yang telah meninggal), karena mereka tidaklah mampu untuk memberikan manfa’at ataupun menimpakan mudharat. Maka Isti’adzah kepada merseka termasuk perbuatan syirik akbar (besar), sama saja apakah dalam beristi’adzah tersebut di kuburannya atau jauh darinya. (Al Qaulul Mufid, 1 / 255-256).<br />
Adapun Isti’adzah kepada makhluk yang dia mampu atasnya, maka ini dibolehkan, namun dengan syarat dia hadir di hadapannya dan dalam beristi’adzah tidak ada unsur perendahan diri dan pengagungan, serta puncak kecintaan kepada makhluk yang dia beristi’adzah kepadanya tersebut, serta tidak ada pula ketergantungan hati kepadanya bahwa hanya dialah yang mampu memberikan perlindungannya.<br />
Berkata Asy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin: “Tidak diragukan lagi bahwa ketergantungan hati kepada makhluk termasuk perbuatan syirik, maka jika kamu menggantungkan hatimu, harapanmu, takutmu, dan semua permasalahanmu kepada seseorang, dan kamu jadikan dia sebagai tempat berlindung, maka ini termasuk syirik karena semua ini tidaklah boleh ditujukan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Al Qaulul Mufid, 1 / 256).<br />
Dalam kitabnya yang lain Syarh Tsalatsatil Ushul hal. 64-65, beliau menerangkan bahwa memohon perlindungan kepada makhluk yang memungkinkan untuk dijadikan tempat berlindung, baik berupa manusia, tempat, atau yang lainnya, maka ini dibolehkan berdasarkan sabda Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam ketika menyebutkan beberapa fitnah:<br />
“Barangsiapa yang menengok atau mencarinya, ia akan tenggelam (terjerat) ke dalamnya, dan barangsiapa yang mendapat tempat berlindung, maka hendaklah dia berlindung kepadanya.” (H.R. Al Bukhari dan Muslim).<br />
Demikian juga dalam Shahih Muslim dari riwayat Jabir radhiyallahu ‘anhu bahwa ada seorang wanita dari Bani Makhzum, yang melakukan pencurian, kemudian dihadapkan kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam dan diapun meminta perlindungan kepada Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha. (Lihat hadits no. 1689).<br />
Jika ada seseorang yang meminta perlindungan dari kejahatan orang yang dhalim, maka wajib untuk menjaga dan melindunginya sebatas kemampuan yang dimiliki. Akan tetapi jika dia meminta perlindungan dalam rangka kemungkaran ataupun lari dari kewajibannya maka haram hukumnya untuk memberikan perlindungan kepadanya.<br />
Bolehkah Beristi’adzah Kepada Jin?<br />
Dalam kitabnya Taisirul ‘Azizil Hamid halaman 168 Asy Syaikh Sulaiman Alu Asy Syaikh membawakan perkataan Mulla Ali Al Qari Al Hanafi, bahwasanya tidak boleh beristi’adzah kepada jin. Allah ? telah mencela orang-orang kafir karena perbuatan ini. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:<br />
“Dan bahwasanya ada segolongan laki-laki dari manusia meminta perlindungan kepada segolongan laki-laki dari kalangan jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka ketakutan yang amat sangat.” (Al Jin: 6).<br />
Dahulu orang-orang Arab Jahiliyyah ketika melewati suatu tempat tertentu berlindung kepada penguasa tempat tersebut dari kalangan jin, agar tidak menimpakan kejelekannya kepada mereka. Demikian sebagaimana dijelaskan Ibnu Katsir dalam tafsirnya.<br />
Berkata Asy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin: “Ayat tersebut menunjukkan bahwasanya Isti’adzah kepada jin haram hukumnya, karena tidak memberikan manfaat kepada orang yang memintanya, bahkan justru menambah kepada mereka rasa takut yang luar biasa.” (Al Qaulul Mufid, 1 / 251)<br />
Para pembaca yang dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala, demikian beberapa perkataan ulama yang mampu kami nukilkan dalam risalah singkat ini. Semoga Allah ? senantiasa menjaga dan melindungi kita dari perkara-perkara yang tidak diridhai-Nya serta memberikan petunjuk-Nya kepada kita untuk senantiasa berpegang teguh kepada jalan yang mengantarkan kepada keselamatan dunia dan akhirat. Amin.<br />
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan syirik kepada-Mu dan aku mengetahuinya, dan aku memohon ampunan-Mu dari apa-apa yang aku tidak ketahui.”<br />
Wallahu A’lam bish Shawab.sweetboyhttp://www.blogger.com/profile/01727959537351178770noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5997723159742571779.post-31007130546051497522011-02-15T22:46:00.000-08:002011-02-15T22:50:27.770-08:00Potret Ummat di Akhir ZamanPotret Ummat di Akhir Zaman<br />
<br />
<br />
Di akhir zaman, seperti zaman kita ini, sebelum datangnya hari kiamat akan ada hari-hari yang di dalamnya turun dan tersebar kejahilan (kebodohan akan ilmu Islam, red) yang disebabkan oleh malasnya manusia dan enggannya mereka dari menuntut ilmu agama, yaitu ilmu tentang Al-Qur’an dan Sunnah.<br />
Nabi-shollallahu alaihi wasallam- bersabda,<br />
“Sesungguhnya di depan hari kiamat ada hari-hari yang kejahilan diturunkan di dalamnya, dan ilmu diangkat”. [HR. Al-Bukhoriy (6654)]<br />
Banyak diantara agama, dan sunnah Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- yang dilalaikan orang pada hari ini sehingga terkadang menjadi sesuatu yang mahjur (ditinggalkan).<br />
Inilah yang pernah diisyaratkan oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- ketika beliau bersabda dalam sebuah hadits,<br />
“Islam muncul dalam keadaan asing, dan akan kembali (asing), sebagaimana ia muncul dalam keadaan asing. Maka beruntunglah orang-orang asing“. [HR. Muslim dalam Kitab Al-Iman (232)]<br />
Semua ini disebabkan karena kurangnya perhatian kaum muslimin terhadap agamanya dan sunnah Rasul-Nya-shollallahu alaihi wasallam-. Kurangnya perhatian mereka menuntut ilmu syar’i karena kesibukan duniawi yang memalingkan mereka. Sementara mereka tak ada perhatian lagi dengan majelis ilmu dan majelis ta’lim. Akibatnya, agama dan Sunnah Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- terasa asing dan aneh di sisi mereka.<br />
Memang mereka terkadang mendatangi majelis ta’lim. Namun jika mereka hadir, nampak pada wajah mereka lelah dan keterpaksaan ikut majelis ta’lim. Yah, hanya sekedar hadir agar orang tidak mencelanya. Maka anda akan lihat orang semacam ini jika hadir di majelis ta’lim, ada yang ngantuk , bahkan tidur. Ada yang bersandar di tembok, jauh dari ustadz. Ada yang sengaja duduk di belakang untuk sembunyi; jika ngantuk dan tertidur, ia bisa sembunyikan wajahnya di balik punggung kawannya. Ada yang cerita dengan temannya sehingga mengganggu ceramah ustadz. Ada yang melayang pikirannya sampai Amerika. Inilah kondisi mereka sehingga tak heran jika mereka tetap jahil terhadap agamanya.<br />
Jika mendengar cerita yang menguntungkan dunianya, maka matanya terbelalak. Betul dunia adalah nikmat yang Allah berikan. Namun jangan dijadikan tujuan hidup dan pusat perhatian. Dunia diambil sekedar bekal menuju Allah Ta’ala. Allah tidak memberikan nikmat kepada seorang hamba-Nya, kecuali nikmat itu hanya sekedar alat dan sarana yang dipakai untuk beribadah dan beramal sholeh. Dunia dengan segala nikmatnya bukanlah merupakan tujuan dan terminal terakhir bagi seorang muslim. Akan tetapi merupakan tempat persinggahan mengambil bekal menuju perjalanan akhir, yaitu akhirat.<br />
Fenomena berlombanya kaum muslimin memperbanyak harta benda dan fasilitas duniawi sehingga membuat mereka lupa terhadap agamanya merupakan sebab tersebarnya kejahilan. Jika semakin hari, semakin tersebar kejahilan, maka ketahuilah bahwa ini adalah salah satu diantara ciri dan tanda dekatnya hari kiamat.<br />
Nabi-shollallahu alaihi wasallam- bersabda,<br />
“Diantara tanda-tanda kiamat: Diangkatnya ilmu, dan kokohnya (banyaknya) kejahilan”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (80), dan Muslim dalam Shohih-nya (2671)]<br />
Di akhir zaman, seperti zaman kita ini, sebelum datangnya hari kiamat akan ada hari-hari yang di dalamnya turun dan tersebar kejahilan yang disebabkan oleh malasnya manusia dan enggannya mereka dari menuntut ilmu agama, yaitu ilmu tentang Al-Qur’an dan Sunnah. Nabi-shollallahu alaihi wasallam- bersabda,<br />
“Sesungguhnya di depan hari kiamat ada hari-hari yang kejahilan diturunkan di dalamnya, dan ilmu diangkat”. [HR. Al-Bukhoriy (6654)]<br />
Di tengah kabut kejahilan menyelimuti manusia, tersebarlah berbagai macam maksiat berupa pembunuhan, pencurian, perzinaan, dan kerakusan terhadap harta. Ini semua diakibatkan oleh hilangnya ilmu agama yang bermanfaat di tengah manusia. Nabi-shollallahu alaihi wasallam- bersabda dalam riwayat lain ketika menyebutkan tanda dekatnya hari kiamat,<br />
“Zaman akan saling mendekat, diangkatnya ilmu, munculnya berbagai fitnah (masalah), diletakkan kerakusan, dan banyaknya peperangan”. [HR. Al-Bukhoriy (989) dan Muslim (157)]<br />
Al-Imam Ibnu Baththol –rahimahullah- berkata , “Semua yang dikandung oleh hadits ini berupa tanda-tanda kiamat sungguh kami telah melihatnya dengan mata kepala. Ilmu sungguh telah diangkat, kejahilan muncul, diletak kannya penyakit rakus dalam hati, fitnah (musibah) merata, dan pembunuhan banyak”. [Lihat Fath Al-Bari (13/16)]<br />
Ini di zamannya Ibnu Baththol rahimahullah-, maka bagaimana lagi di zaman kita ini kejahilan merata dimana-mana, baik di kota maupun di pedalaman. Kejahilan di negeri kita bukan hanya mengenai rakyat jelata yang tak berpendidikan agama, bahkan juga mengenai kaum terpelajar. Hal ini sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi-shollallahu alaihi wasallam-,<br />
“Sesungguhnya Allah tidak mengangkat ilmu dengan sekali mencabutnya dari manusia. Akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan mematikan para ulama’ sehingga apabila Allah tidak menyisakan lagi seorang ulama’pun, maka manusiapun mengangkat pemimpin-pemimpin yang jahil. Mereka (para pemimpin tsb) ditanyai, lalu merekapun memberikan fatwa tanpa ilmu. Akhirnya mereka sesat dan menyesatkan (manusia)” .[HR.Al-Bukhory dalam Kitab Al-Ilm (100), dan Muslim dalam Kitab Al-Ilm (2673)]<br />
Al-Imam Abu Zakariya An-Nawawiy-rahimahullah berkata ketika menjelaskan makna hadits di atas, “Hadits ini menjelaskan maksud tercabutnya ilmu dalam hadits-hadits lalu yang muthlak (umum), bukan menghapusnya dari dada para penghafal (pemilik) ilmu itu. Akan tetapi maknanya, para pembawa ilmu itu (yakni para ulama) akan mati. Lalu manusia mengangkat orang-orang jahil (sebagai pemimpin dalam agama). Orang-orang jahil itu memutuskan perkara berdasarkan kejahilan-kejahilannya. Lantaran itu ia sesat, dan menyesatkan orang“. [Lihat Al-Minhaj Syarh Shohih Muslim ibn Al-Hajjaj (16/224), cet. Dar Ihya’ At-Turots Al-Arabiy]<br />
Alangkah banyaknya pemimpin dan ustadz-ustadz seperti ini. Mereka diangkat oleh manusia sebagai seorang ulama’ dan ustadz. Padahal ia tidaklah pantas dijadikan panutan, karena ia jahil. Kalaupun ia berilmu, namun ilmu itu di buang di belakang punggungnya. Manusia jenis ini banyak bermunculan bagaikan jamur di musim hujan.<br />
Coba lihat disana, manusia mengangkat seorang pelawak sebagai ‘ da’i sejuta ummat ‘ . Padahal bisanya cuma tertawa dan menggelitik para pendengar.<br />
Dari arah lain, muncul para normal yang dulunya dijauhi oleh manusia, karena dikenal memiliki sihir. Sesaat kemudian berubah menjadi “da’i sejuta ummat”, karena sekedar pernah memimpin dzikir jama’ah yang dihadiri oleh sebagian kiyai jahil dan orang-orang yang memiliki kedudukan. Dulunya tukang sihir dan dukun (para normal), kini menjadi ustadz, bahkan terakhir bergelar “KH”.<br />
Artis pun tak ketinggalan ambil job dalam kancah dakwah dengan bermodalkan semangat kemampuan tampil di depan publik dan wajah ganteng sebagai modal dengkul untuk menarik ummat menuju ke neraka. Bagaimana tidak, sebab seorang yang berdakwah tanpa ilmu akan mengantarkan dirinya berbicara tanpa batas, sehingga terkadang ia telah merusak dan menghancurkan agama pendengarnya, namun ia tak sadar karena memandang dirinya lebih pandai dari pendengar. Padahal ia jahil atau mungkin lebih jahil dari pendengar. Nas’alullahal afiyah wassalamah minal fitan.<br />
Lebih para lagi, jika dakwah yang ditangani oleh orang-orang jahil dihiasi dengan perkara-perkara yang melanggar syari’at, seperti dakwah dihiasi dengan musik dengan istilah “Nada dan Dakwah“. Ini adalah cara dakwah yang keliru, karena menyalahi tuntunan Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- . Dengarkan Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda dalam mengharamkan musik,<br />
“Sesungguhnya akan ada beberapa kaum dari ummatku akan menghalalkan zina, kain sutra, minuman keras (khomer), dan musik“. [HR. Al-Bukhoriy dalam Kitab Al-Asyribah (5590)]<br />
Muhaddits Negeri Syam Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy Al-Atsariy –rahimahullah- berkata dalam kitabnya Tahrim Alat Ath-Thorb (hal 105), “Sesungguhnya para ulama dan fuqoha –diantaranya empat imam madzhab- sepakat mengharamkan alat-alat musik karena berteladan dengan hadits-hadits Nabi Shollallahu Alaihi wa Sallam dan atsar-atsar Salaf ”.<br />
Jadi, berdakwah dengan musik merupakan perkara kejahilan dan kebatilan yang menyalahi tuntunan Allah -Ta’ala-, Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- , dan para ulama’ kaum msulimin dari dulu sampai hari ini. Oleh karena itu, kita sesalkan adanya sebagian orang-orang jahil atau pura-pura jahil yang menyemarakkan program “Nada dan Dakwah” yang jelas dan nyata menyelihi agama !! Ini lebih diperparah lagi dengan bantuan “Guru Besar” alias televisi dalam menyemarakkannya demi meraih keuntungan duniawi yang semu, dan memperturutkan hawa nafsu.<br />
Realita ummat yang demikian ini membuat dahi berkerut dan kepala sakit karena banyaknya dan bertambahnya “PR” yang perlu diselesaikan oleh para dai kebenaran. Dengan realita kejahilan ummat seperti ini, tak pelak jika banyak menimbulkan masalah. Tak heran jika terkadang ada sunnah Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- yang ingin diamalkan di zaman ini, mereka serta merta merasakannya sebagai suatu yang asing, menolaknya, menganggapnya bukan dari Islam!! Bahkan memusihi dan menyakiti sebagian hamba-hamba Allah -Ta’ala- yang mengamalkannya.<br />
Jika kejahilan tentang agama merata di tubuh ummat, maka akan tersebar berbagai macam pelanggaran, syirik, kekafiran, bid’ah, dan maksiat, baik yang nampak, maupun yang tersemunyi. Inilah awal kehinaan yang akan menimpa ummat Islam yang dimanfaatkan oleh musuh-musuh Islam.<br />
Jika ummat Islam sibuk dengan dunia, sibuk dengan peternakan, pertanian, perdagangan apalagi riba sehingga lupa mempelajari agamanya dari Al-Qur’an dan Sunnah, maka Allah akan timpakan kehinaan atas mereka. Inilah kehinaan yang tak mungkin akan tercabut dari tubuh ummat kecuali mereka mau kembali kepada agamanya dengan ilmu agama yang benar, dan berguna.<br />
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,<br />
“Jika kalian berjual-beli dengan cara ‘inah (salah satu bentuk riba), kalian memegang ekor-ekor sapi, ridho dengan bercocok tanam, dan meninggalkan jihad, maka Allah akan menimpakan kepada kalian suatu kehinaan yang tak akan dicabut oleh Allah sampai kalian kembali kepada agama kalian“. [HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya (3462). Hadits ini di-shohih-kan oleh Al-Muhaddits Al-Atsariy Syaikh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (11)]<br />
Kesibukan dengan dunia menyebabkan kita akan semakin cinta kepadanya, dan takut mati untuk menghadap Allah Ta’ala- .Seakan-akan kita mengharapkan diri dan harta benda yang melalaikan kita agar kekal di dunia, tanpa menghadapi hisab.<br />
Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu- berkata, Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,<br />
“Hampir saja ummat-ummat saling memanggil (menyerang) menuju kalian sebagaimana orang-orang yang mau makan saling memanggil kepada nampannya”. Ada yang bertanya, “Apakah karena kita sedikit saat itu?” Beliau bersabda, “Bahkan kalian saat itu banyak, tapi kalian buih laksana buih ombak. Allah benar-benar akan mencabut perasaan segan terhadap kalian dari dada musuh kalian; Allah akan mencampakkan kelemahan dalam hati kalian”. Ada yang bertanya, “Apa kelemahan itu?” Beliau menjawab, “Cinta dunia, dan takut mati“.[HR. Abu Dawud dalam Kitab Al-Malahim (4297). Di-shohih-kan oleh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (958)]sweetboyhttp://www.blogger.com/profile/01727959537351178770noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5997723159742571779.post-35508098521870904032011-02-15T22:20:00.000-08:002011-02-15T22:20:26.109-08:00Cara Syaitan Menggoda Manusia“Iblis menjawab : “Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan menghalangi mereka dari jalan Engkau yang lurus. Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan belakang mereka, dari kanan dan kiri mereka dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).” (Al-A’raf : 16-17)<br />
Di dalam ayat ini Allah Ta’ala mengisahkan tentang Iblis yang bersumpah untuk menyesatkan Bani Adam dari jalan yang lurus sekuat tenaga dengan berbagai cara dan dari segala arah dengan berbagai taktik dan strategi.<br />
<br />
Ibnul Qoyyim rahimahullah dalam kitabnya Ighosatul Lahfan menjelaskan : “Jalan yang dilalui oleh insan ada empat, (tidak lebih) ia terkadang arah depan dan arah belakang di jalan manapun ia lalui, ia akan menjumpai syaithan mengintai. Bila menempuh jalan ketaatan, ia menjumpai syaithan siap menghalangi atau memperlambat laju jalannya bila ia menempuh jalur kemaksiatan, ia akan menjumpai syaithan siap mendukungnya“.<br />
Syahqiq pernah berkata :”Tiada suatu pagi pun melanikan syaithan telah duduk mengintaiku dari empat penjuru dari depan dan belakangku serta dari arah kanan dan kiriku. Iapun berkata : “Jangan engkau takut karena Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang maka aku membaca : “Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beramal sholih, kemudian tetap di jalan yang benar.” (Thaha: 82)<br />
Adapun dari arah belakangku maka ia menakut-nakuti akan menelantarkan keluarga yang akan aku tinggalkan. Maka aku membaca : “Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya.”(Hud : 6)<br />
Dari arah kanan ia mendatangiku dari sisi perempuan, maka aku baca : “….Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa“.<br />
Dari arah kiri ia mendatangiku dari sisi syahwat, maka aku membaca : “Dan dihalangi antara mereka dengan apa yang mereka inginkan….“(Saba’ : 54) (Lihat Mawaridul Aman 173-174)<br />
Inilah ambisi syaithan, untuk menyesatkan semua bani Adam sampai tidak tersisa seorang pun dari mereka yang bersyukur dan taat kepada Allah. Secara realita, ternyata program syaithan ini menjadi kenyataan karena mayoritas bani Adam telah terperangkap dalam jebakan-jebakannya, kecuali hamba-hamba Allah yang ikhlas.<br />
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman tentang Iblis : “Iblis menjawab : “Demi kekuasaan Engkau, aku akan menyesatkan mereka semuanya. Kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka.” Allah berfirman: ” Maka yang benar (adalah sumpah-Ku) dan hanya kebenaran itulah yang Aku katakan. Sesungguhnya Aku pasti akan memenuhi neraka Jahannam dengan jenismu dan orang-orang yang mengikutimu di antara mereka semua.” (Shad : 82-85)<br />
Taktik dan Strategi Syaithan Menggoda Manusia<br />
Dalam rangka menyesatkan bani Adam dari jalan yang lurus, syaithan (setan) mempersiapkan cara dan jebakan-jebakan. Ada enam tingkatan jebakan yang dipasang syaithan untuk menjerat bani Adam sebagaimana yang diterangkan para ulama, yaitu :<br />
Pertama : Syaithan akan berupaya menjerumuskan bani Adam ke lembah kekafiran atau kesyirikan.<br />
Namun bila bani Adam selamat dari jebakan ini syaithan akan menggunakan cara berikutnya.<br />
Kedua : Syaithan akan berusaha menjatuhkan bani Adam ke lembah bid’ah sehingga ia mengamalkan bid’ah dan menjadi ahlil bid’ah.<br />
Namun bila bani Adam termasuk ahli sunnah dan tidak mampu diperdaya, maka syaithan akan menggunakan cara berikutnya.<br />
Ketiga : Syaithan akan menggoda bani Adam untuk melakukan dosa-dosa kecil dan menganggapnya remeh.<br />
Namun bila Allah menjaganya, maka syaithan akan menggoda dengan cara lain.<br />
Keempat : Syaithan akan menggoda bani Adam untuk melakukan dosa-dosa kecil dan menganggapnya, maka syaithan akan menggoda dengan cara lain.<br />
Kelima : Syaithan akan menyibukkan bani Adam dengan perkara mubah (dimana manusia tidak akan mendapat ganjaran apapun apabila hal mubah dikerjakan atau tidak dikerjakan,red) sehingga mereka lalai dari perkara pokok (yang mengandung pahala,red). Namun bila bani Adam selamat dari perangkap ini, maka syaithan akan menggunakan cara yang terakhir.<br />
Keenam : Syaithan akan menyibukkan bani Adam dengan amalan yang rendah nilai pahalanya, misalnya dia menyibukkan bani Adam dengan amal sunnah sehingga melalaikannya dari amal wajib. Demikian seterusnya (Lihat Madakhilus Syaithon ‘alas shalihin 9-10)<br />
Bila ada seorang yang selamat dari enam perangkap syaithan tersebut, maka dia termasuk hamba Allah yang ikhlas yang tidak dapat digoda oleh syaithan dengan taufiq dan hidayah dari Allah Ta’ala.<br />
Makar Jahat Syaithon<br />
1. Menabur Benih Permusuhan dan Buruk Sangka di Kalangan Muslimin<br />
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah hadits bersabda : “Sesungguhnya iblis telah berputus asa untuk dapat disembah oleh orang-orang sholih, namun dia berupaya menebarkan benih permusuhan di kalangan mereka.” (HR Muslim 2812 dan Tirmidzi 1938)<br />
Su’udhan atau buruk sangka adalah salah satu cara syaithan mencerai-beraikan bani Adam (barisan kaum muslimin). Demikian pula tahrisy (menebar benih permusuhan). Dalam sebuah hadits dari Ummul Mukminin Shafiyah binti Huyai, dia bercerita : “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah i’tikaf di masjid, lalu aku datang menjenguk beliau pada suatu malam untuk berbincang-bincang dengan beliau. (Setelah selesai) aku pun bangkit untuk kembali dan beliau pun bangkit bersamaku untuk menemani. Ketika itu lewatlah dua orang laki-laki Anshor radliallahu ‘anhuma. Tatkala mereka melihat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, mereka pun mempercepat langkahnya. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pun berseru : “Perlahanlah! Wanita ini adalah Shafiyah!” Dua orang itupun berkata :”Subhanallah, ya Rasulullah!” Maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya syaithan menjalar pada diri Adam pada aliran darah dan sungguh aku khawatir syaithan akan melemparkan kejahatan pada hati kalian berdua (ketika melihat aku) lalu terucaplah sesuatu.” (HR Bukhari 4/349-350)<br />
2. Menghiasi Bid’ah Bagi Manusia<br />
Syaithan akan datang pada seseorang dengan menghiasi kebid’ahan (cara-cara beragama model baru yang tidak pernah diajarkan Rasulullah, red) dan membisikkan dalam hatinya : “Orang-orang di masa kini telah jauh meninggalkan agamanya dan sulit sekali mengembalikan mereka kepada agama. Alangkah baiknya kalau engkau mengerjakan beberapa amal ibadah dengan beberapa tambahan dari apa yang telah ditetapkan dalam sunnah Rasul dengan harapan agar mereka kembali pada agama mereka, karena menambah amal kebajikan adalah baik.” Akhirnya orang bodoh tersebut pun mengikuti bisikan syaithan.<br />
Kita telah mengetahui bahwa ibadah adalah perkara tauqifiyah yaitu harus diambil dari petunjuk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam semata. Kita tidak memiliki hak untuk menambah dan mengurangi atau mengubah semau kita karena ini adalah perbuatan yang tidak dibenarkan dan termasuk perangkap syaithan.<br />
3. Menakut-nakuti Bani Adam<br />
Dalam hal ini syaithan akan menakuti bani Adam dengan dua cara :<br />
Pertama : Syaithan akan menakuti bani Adam dengan wali-walinya dari kalangan orang-orang kafir, musyrik, fasiq, dan ahli maksiat. Syaithan membisikkan : “Hati-hati kamu dari mereka! Mereka memiliki kekuatan yang dahsyat….!” Akhirnya dia pun bergabung dengan wali-wali syaithan.<br />
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : “Sesungguhnya yang demikian itu tidak lain hanyalah syaithan yang menakut-nakuti kamu dengan kawan-kawannya (orang musyrik Quraisy) karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku jika kamu benar-benar beriman.” (Ali Imron : 175)<br />
Kedua : Syaithan akan menakuti bani Adam dengan kefakiran. Allah Subhanahu wa Ta’ala menceritakan : “Syaithan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu dengan kejahatan (kikir) …” (Al-Baqarah : 268)<br />
Syaithan membisikkan kepada tukang riba : “Kalau engkau tinggalkan profesimu, dari mana kamu akan mendapatkan harta? Kamu akan jatuh miskin!” Akhirnya orang tersebut lebih bersemangat menekuni profesi riba.<br />
Syaithan membisikkan kepada penjual khamr : “Jangan engkau tinggalkan profesimu, tidak ada profesi yang lebih menguntungkan selain profesi yang sedang engkau geluti. Kalau engkau tinggalkan engkau akan jatuh. Belum tentu engkau mendapati profesi pengganti sebaik ini!” Akhirnya dia pun semakin giat memasarkan berbagai produk dan merek khamr.<br />
Semua itu adalah bisikan syaithan yang menyesatkan bani Adam padahal Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman : “… Barangsiapa bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (Ath-Thalaq : 2-3)<br />
4. Melemparkan Keraguan Dalam Hati<br />
Termasuk cara syaithan menyesatkan bani Adam adalah melemparkan keraguan dan was was dalam hati baik dalam hal aqidah, ibadah, maupun muamalah. (Lihat Madakhilus Saithan ‘alas Shalihin 11-27)<br />
Masih banyak lagi cara dan perangkap yang dipasang syaithan untuk menjerat bani Adam. Di samping itu ada beberapa hal yang mudahnya syaithan menjalankan makarnya, di antaranya :<br />
1. Kebodohan manusia<br />
2. Hawa nafsu, lemah keikhlasan, dan tipisnya keimanan<br />
3. Lalai dari dzikrullah<br />
4. Tidak memperhatikan jebakan-jebakan syaithan<br />
5. Mengerjakan perbuatan sia-sia<br />
6. Berlebih-lebihan (israf) dari kebutuhan<br />
(Lihat al-Fawaid hal 185-186 dan Madakhilus Syaithan ‘alas Shalihin hal 28)<br />
<br />
<br />
Jalan Keluar dari Makar Syaithan<br />
Di akhir pembahasan ini kami sebutkan beberapa cara untuk menyelamatkan diri dari cengkeraman, godaan dan jebakan-jebakan syaithan yang tertulis dalam kitab Madakhilus Syaithon ‘alas Shalihin hal 28-29, yaitu<br />
1. Beriman kepada Allah Ta’ala dan bertawakal kepada-Nya. Allah berfirman : “Sesungguhnya syaithan itu tidak ada kekuasaan atas orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Rabb-Nya.” (An-Nahl :99)<br />
2. Menuntut ilmu syar’i dari sumber dan pemahaman yang benar karena dengan ilmu ini kita terbimbing kepada jalan yang lurus dan mampu menepis sekian banyak perangkap syaithan yang dipasang untuk menjerat kita.<br />
3. Mengokohkan keikhlasan dalam beribadah kepada Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : “Kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis (ikhlas) di antara mereka.” (Al-Hijr :40)<br />
4. Membentengi dengan dzikrullah dan isti’adzah (memohon perlindungan) kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman : “Dan jika kamu ditimpa godaan syaithan maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.” (Al-A’raf : 200)<br />
Mudah-mudahan Allah melindungi kita dari jebakan-jebakan syaithan yang menyesatkan.<br />
Amin ya Mujibas Sailin<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://4.bp.blogspot.com/-n5QSfOkrCno/TVtsiQfhKFI/AAAAAAAAAOA/PdNTZ6W2wwA/s1600/166831_183345745039508_100000922513571_403193_383067_n.jpg" imageanchor="1" style="margin-left:1em; margin-right:1em"><img border="0" height="300" width="400" src="http://4.bp.blogspot.com/-n5QSfOkrCno/TVtsiQfhKFI/AAAAAAAAAOA/PdNTZ6W2wwA/s400/166831_183345745039508_100000922513571_403193_383067_n.jpg" /></a></div>sweetboyhttp://www.blogger.com/profile/01727959537351178770noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5997723159742571779.post-75008980451133373232011-02-07T21:17:00.000-08:002011-02-07T21:35:01.159-08:00AKHLAK ORANG YANG BERJIWA BESAR (2)Oleh: Fadhilatus Syaikh Dr. Khalid bin Utsman as-Sabt<br />
<br />
Alih Bahasa: Team al-Inshof<br />
<br />
Alhamdulillah, segala puja dan puji hanya milik Allah Ta’ala. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah atas junjungan kita Nabi besar Muhammad shallallahu alaihi wasallam, keluarga, para sahabat dan segenap pengikutnya hingga hari kiamat kelak.<br />
<br />
Pembaca budiman, sebagai bukti kesungguhan kami melahirkan suasana akhlak dan perangai terpuji bagi segenap pegiat dakwah Ahlu Sunnah, maka di tengah kesibukan dan kerja dakwah yang menumpuk, kami tetap berupaya merampungkan terjemahan muhadharah “Akhlaq al-Kibar” [Akhlak Orang yang Berjiwa Besar] oleh Fadhilatus Syaikh Dr. Khalid bin Utsman as-Sabt. Demikian pula, kami berusaha memberi catatan kaki yang dapat memudahkan pembaca sekalian ruju’ [kembali] pada sumber aslinya. Tentunya, hal ini dipantik banyaknya tuntutan dari sebagian ikhwah yang mengharapkan kelanjutan edisi ceramah beliau tersebut, jazakumullahu khairan..<br />
<br />
Disamping kami yakin, peran dan kedudukan akhlak yang mulia dalam kehidupan, khususnya dakwah ilallah begitu urgen. Karenanya, diantara tujuan diutusnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah untuk menyempurnakan akhlak yang baik.[1] Demikian pula, bahwa ternyata begitu banyak bukti yang menunjukkan, bahwa keberhasilan dakwah tegak di atas landasan dan pengaruh akhlak mulia, yang disaksikan langsung oleh mad’u. Satu hal yang perlu kami tegaskan, lantaran terjemahan ini berpijak atas ceramah yang sifatnya audio, maka bahasa [terjemahan]nya-pun tidak keluar seratus persen dari uslub ceramah. Akhirnya, buat pembaca sekalian, selamat menyimak…<br />
<br />
….Yunus Ash-Shadafi rahimahullah mengisahkan tentang Imam Asy-Syafi’i rahimahullah: “Saya tak pernah mendapati seorang yang paling hebat dari Asy-Syafi’i. Pernah suatu hari saya ber-munazharah [berdebat] dengannya dalam satu masalah kemudian berpisah. Saat bertemu, beliau lantas menggenggam tanganku seraya berkata: Wahai Abu Musa!, salahkah jika kita tetap menjadi saudara, kendati tidak sependapat dalam satu masalah?”.[2]<br />
<br />
Perhatikan pula contoh lain yang tak kalah mengagumkan dari Imam Ibnu Hubairah rahimahullah, seorang menteri yang sangat alim. Beliau dikaruniai wizarah [jabatan menteri], ilmu yang luas dan fiqih sekaligus. Disamping memiliki majelis yang dipadati para ulama dari seluruh madzhab yang empat.<br />
<br />
Suatu hari, dalam majelisnya, beliau menyebutkan satu masalah yang termasuk mufradat Imam Ahmad bin Hambal. Tiba-tiba bangkit salah seorang fuqaha Malikiyah, Abu Muhammad al-Asyiiri rahimahullah seraya berkata, “Tidak! Imam Malik juga mempunyai pendapat demikian”.<br />
<br />
Ibnu Hubairah rahimahullah terpaksa menghadirkan banyak kitab seraya berkata: “Kitab-kitab ini menyatakan, bahwa masalah ini termasuk pendapat yang hanya berasal dari Imam Ahmad, dan tidak dari ketiga imam lain-nya”.<br />
<br />
Namun Abu Muhammad al-Asyiiri tetap pada pendiriannya, ”Tidak, pendapat ini juga dikatakan oleh Imam Malik.” Para ulama yang hadir dalam majelis saat itu berusaha meyakinkan, “Sungguh pendapat ini hanya bersumber dari Imam Ahmad, ketiga imam lainnya tak mempunyai pendapat semacam ini”.<br />
<br />
“Tidak!, Pendapat ini telah dikatakan oleh Imam Malik”, sergah Abu Muhammad al-Asyiiri.<br />
<br />
Maka Ibnu Hubairah rahimahullah marah dan menghardik, “Apakah anda ini binatang?!, Tidakkah anda mendengar pernyataan para ulama yang menyatakan bahwa masalah ini termasuk Mufradat Imam Ahmad, dan kitab-kitab ini juga menjadi saksinya?! Bagaimana anda tetap bersikukuh atas perkataan anda?!. Setelah itu majelis bubar.<br />
<br />
Ikhwah fillah, bayangkan seandainya anda berada dalam majelis ini. Bayangkan seandainya anda termasuk salah satu dari kedua pihak itu. Bayangkan jika anda Ibnu Hubairah dan bayangkan pula jika anda adalah Abu Muhammad al-Asyiiri. Seandainya cuma anda berdua dan tidak ada orang lain, apakah anda akan menemuinya lagi?! Apakah anda akan mendatangi majelisnya?! Apakah anda menghadiri lagi kajiannya? Kemudian bagaimana sikap anda jika dia mengatakan hal itu kepada anda di depan banyak orang ?! Bisakah anda tidur pada malam itu?! Apakah anda berpikir untuk kembali lagi pada majelis itu?!<br />
<br />
Namun pada hari berikutnya…Saat Ibnu Hubairah rahimahullah duduk di majelisnya dan hadir pula para ulama yang selalu bersama beliau. Sebagaimana biasa, sang pembaca absen memanggil satu persatu nama ulama yang hadir dan tidak. Kala nama Abu Muhammad al-Asyiiri disebut, Ibnu Hubairah rahimahullah tertegung dan berseru, “Tolong, berhenti sebentar!”. Tenyata Abu Muhammad al-Asyiiri pun tetap hadir. Seolah tidak pernah terjadi sesuatu di antara mereka berdua.<br />
<br />
Ibnu Hubairah melanjutkan: “Kemarin al-Faqih Abu Muhammad al-Asyiiri mengeluarkan suatu pernyataan. Lalu saya mengatakan ucapan kurang pantas terhadapnya. Olehnya hari ini saya mohon kepada anda, wahai Abu Muhammad Al-Asyiiri, agar mengatakan hal yang sama terhadapku seperti yang telah saya ucapkan kemarin”.<br />
<br />
Wahai saudara sekalian…Perhatikan ucapan beliau!, ”Maka hendaklah ia mengatakan hal yang sama terhadapku seperti yang telah saya katakan kemarin”, karena saya bukanlah yang terbaik dari kalian. Dan tidaklah saya melainkan individu dari kalian, yang juga sama seperti kalian”.<br />
<br />
Kemudian, perhatikan pula pengaruh ucapan Ibnu Hubairah ini? Padahal perkataan kemarin hanya sebuah plesetan kata yang keluar tanpa sengaja. Abu Muhammad al-Asyiiri juga tidak menderita kerugian sedikit pun. Sebab ia hanya sebuah ucapan Ibnu Hubairah secara spontan.<br />
<br />
Akhirnya majelis itu penuh dengan isak tangis. semua ulama menangis. Mereka begitu terharu dengan akhlak Ibnu Hubairah rahimahullah yang mulia ini. Majelis pun ramai dengan lantunan pujian dan doa buat Ibnu Hubairah lantaran keluhuran dan ketinggian akhlaknya<br />
<br />
Bahkan Abu Muhammad al-Asyiiri sadar dan minta maaf, “Sayalah yang bersalah, mana mungkin saya membalas anda!”. Namun Ibnu Hubairah rahimahullah terus berkata, ”Tidak!, Anda harus tetap membalas dan meng-qishash saya”.<br />
<br />
Akhirnya salah seorang ulama menengahi, ” Wahai tuan! Jika dia tidak mau membalas qishas, anda harus memberi jaminan padanya”. Ibnu Hubairah berkata: “Sekarang keputusan ada padanya. Wahai Abu Muhammad, berilah keputusan yang anda kehendaki!”.<br />
<br />
Abu Muhammad al-Asyiiri menimpali, “Kebaikan anda padaku sangat banyak. Maka keputusan apakah yang mesti saya berikan?”.<br />
<br />
“Anda tetap harus memberikan keputusan, karena saya terlanjur mengatakan ucapan buruk kepada anda”. Cegat Ibnu Hubairah.<br />
<br />
“Baiklah, “Saya memiliki sisa hutang yang belum terlunasi sejak berada di Syam”.<br />
<br />
“Anda diberi seratus dinar demi mengangkat dosa dan tanggungan saya”. Ujar Ibnu Hubairah. Lalu dinar-dinar itu diserahkan pada Abu Muhammad Al-Asyiiri, dan Ibnu Hubairah berkata, “Mudah-mudahan Allah memaafkan dan mengampuni anda dan saya”.[3]<br />
<br />
Wahai saudara sekalian …Apakah kita juga seperti ini?! Jika dalam suatu majelis terjadi peristiwa tadi, maka bagaimana kelanjutannya?! Sudah jelas. Akan terjadi permusuhan di antara kita hingga Hari Kiamat. Hati menjadi sangat panas, benci, dan ingin membalas orang ini. Mudah-mudahan Allah melindungi kita semua.<br />
<br />
Padahal itu hanyalah beberapa kata yang oleh Abu Muhammad al-Asyiiri tidak menderita kerugian apa pun. Justru ia semakin mulia kedudukannya. Wahai saudara sekalian…kita membicarakan ini setelah berabad-abad dan beratus-ratus tahun berlalu. Jika masalah ini tidak selesai pada saat itu dan masih menjadi dendam di antara mereka hingga saat ini, maka apa yang bakal terjadi?!<br />
<br />
Kalian jangan seperti ini. Berlakulah layaknya Ibnu Hubairah rahimahullah. Jangan menjadi kerdil! Jangan rela menjadi orang rendah! Dan Jangan kembali pada asal kalian![4] Campakkan hawa nafsu dan kepentingan pribadi.<br />
<br />
Peristiwa ini berkaitan dengan masalah ilmu. Bagaimana jika berkaitan dengan perkara tidak mengenakan dalam kehidupan sehari-hari, dalam hubungan bersama masyarakat, dalam perdagangan, dan hal-hal lain yang setiap orang pasti menemuinya?! Berupa sikap tidak memenuhi hak orang lain, kezhaliman, perkataan tidak mengenakan dari orang lain. Keburukan dan banyak hal lain yang mungkin kebanyakan manusia tidak kuat menahannya!<br />
<br />
Jadi apa yang mesti kita lakukan?!…Wahai saudaraku! Carilah jawabannya pada diri anda. Jangan menoleh kepada orang lain. Apa sikap anda jika seseorang mengatakan sesuatu tidak baik pada anda atau menjelek-jelekkan kehormatan anda?! Apa yang bakal anda perbuat?! Apakah anda berazam untuk menancapkan tombak permusuhan atas dirinya?!<br />
<br />
Dalam kaitan ini, Imam Asy-Syafi’i rahimahullah memberi wasiat kepada Yunus Ash-Shadafi rahimahullah, dan ini pula merupakan wasiat bagi kita. Yaitu, ”Wahai Yunus! Jika sampai padamu sesuatu yang tidak kamu sukai dari sahabatmu, maka sekali-kali jangan langsung menancapkan permusuhan dan memutus tali persahabatan dengannya. Karena dengan demikian, kamu telah menghilangkan sesuatu yang yakin dengan sesuatu yang meragukan. Tetapi temui dia dan katakan bahwa sampai padaku dari kamu perkataan ini dan itu. Dan jangan sampai kamu menyebut nama orang yang menyampaikan kabar itu kepadamu.<br />
<br />
Jika dia mengingkari hal itu maka katakan bahwa kamu di sisi saya adalah lebih jujur dan lebih benar, lalu tinggalkan permasalahan itu (tanpa menyelidikinya)<br />
<br />
Tetapi jika dia mengakui hal itu, dan kamu melihat ada satu udzur yang bisa dijadikan sebagai asalan maka terimalah udzur tersebut. Jika kamu tak mendapati adanya udzur maka tanyakan: Apa yang kamu inginkan dari perkataan yang sudah saya dengar ini? Jika dia menyebutkan suatu udzur yang pantas maka terimalah udzur tersebut. Tetapi jika dia tak mempunyai udzur dan kamu tak memiliki jalan keluar lagi, maka tetapkan bahwa itu adalah satu kesalahannya. Setelah itu kamu bebas memilih. Jika mau, kamu bisa membalasnya secara sepadan tanpa tambahan. Dan jika mau kamu bisa memaafkannya. Dan pemberian maaf adalah lebih dekat kepada takwa dan lebih bermurah hati, sebagai firman Allah: “Balasan suatu keburukan adalah keburukan yang setimpal, tetapi barang siapa memaafkan dan mengadakan perbaikan maka pahalanya ada pada Allah“. (QS. Asy-Syuura:40)<br />
<br />
Jika jiwamu memaksa untuk membalas maka pikirkanlah kebaikan-kebaikan yang dulu diberikannya padamu. Hitunglah kebaikan-kebaikan itu dan gantilah keburukan tadi dengan membalas kebaikan-kebaikannya yang sangat banyak. Sekali-kali jangan melupakan kebaikan-kebaikannya yang lalu gara-gara satu kesalahan ini, karena perbuatan itu tak lain kecuali suatu perbuatan zhalim.<br />
<br />
Wahai Yunus! Jika kamu memiliki sahabat maka genggamkan kedua tanganmu padanya. Sebab mencari sahabat adalah susah dan menghilangkannya sangat mudah.”[5]<br />
<br />
Tetapi masalahnya, wahai saudara sekalian…Terkadang ada seseorang yang menanggapi suatu perkataan (karena salah paham) dengan tanggapan yang sangat buruk. Padahal orang itu tidak mempunyai maksud apa-apa dalam mengatakannya. Namun orang yang merasa dikatai menjadi sangat marah dan dendam.<br />
<br />
Sementara pihak yang dianggap berkata buruk, hatinya benar-benar kosong dan tak pernah terbersit sedikit pun untuk mengatakan sesuatu yang dianggap pihak kedua sebagai perkataan yang sangat buruk.<br />
<br />
Sehingga pihak kedua ini penuh dengan perasaan dendam, sangat marah, ingin sekali membalasnya, dan sampai tidak bisa tidur pada malam itu. Sedangkan pihak pertama tidak memikirkan hal itu sama sekali. Dan ketika mengatakan hal itu, niatnya sangat suci dan bersih, dia tak bermaksud menyakiti siapa pun.<br />
<br />
Wahai saudara sekalian…Setiap orang berbeda-beda tingkatannya dalam hal ini. Di antara mereka ada yang menangkap suatu perbuatan baik dengan sebuah keburukan. Dan satu kata yang baik ditangkapnya sebagai satu perkataan yang melukai.<br />
<br />
Di antara mereka ada yang menangkap perkataan yang tidak jelas dan masih bisa dipalingkan pada kemungkinan lain, dengan tanggapan yang sangat buruk. Dan di antara mereka ada yang menangkap perkataan sangat buruk, tapi dia menanggapinya sebagai suatu ucapan yang sangat baik. Allah telah memilah-milah tingkatan para manusia. Dan sebagaimana Dia Membagi rizki kepada para hamba, seperti itulah dia membagi-bagi akhlak kepada mereka.<br />
<br />
Maka benarlah Raja’bin Haiwah rahimahullah kala berkata:<br />
<br />
من لم يؤاخ من الإخوان إلا من لا عيب فيه قل صديقه ومن لم يرض من صديقه إلا بإخلاصه له دام سخطه ومن عاتب إخوانه على كل ذنب كثر عدوه.<br />
<br />
“Barangsiapa hanya mempersaudara orang yang tidak memiliki aib, maka akan sedikit sahabatnya. Barangsiapa tidak ridha dari temannya kecuali dengan perlakuan yang ikhlas terhadapnya, maka akan kekal kemarahannya. Dan barangsiapa mencaci setiap temannya atas setiap dosa, pasti banyak musuhnya.”[6]<br />
<br />
Benar sekali…Pasti akan banyak musuhnya. Sebab manusia adalah makhluk yang sangat zhalim dan sangat bodoh (zhaluum jahuul), otomatis akan lahir darinya beberapa kesalahan dan kekurangan.<br />
<br />
Karena itu, jika ada seseorang yang senantiasa memperhitungkan setiap gerakan, ucapan, dan perilaku kawannya…maka sungguh ini adalah suatu hal yang menjadi sangat sulit.<br />
<br />
Sekarang tanyakan kepada diri anda! Bagaimana sikap anda terhadap orang yang menebar fitnah terhadap diri anda, ingin menghancurkan karir anda, dan berharap mendatangkan keburukan bagi anda?!<br />
<br />
Mari kita perhatikan kisah Ummul Mukminin Shafiyyah radhiallahu anha. Ia memiliki seorang budak perempuan. Budak tersebut datang menghadap Umar bin Khaththab radhiallahu anhu menyampaikan sebuah fitnah dan kebohongan besar. Shafiyyah binti Huyai radhiallahu anha, dulunya memang seorang wanita Yahudi, lalu masuk Islam dan dinikahi oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam. Karenanya, otomatis ia termasuk Ummahatul Mukminin (Ibu para kaum Mukminin).<br />
<br />
Pada masa pemerintahan Umar Bin Khaththab, budak perempuan itu datang menghadapnya sambil menyampaikan suatu kebohongan besar. Dia berkata: “Sungguh Shafiyyah sangat mencintai hari Sabtu. Serta menjalin hubungan dengan orang-orang Yahudi.”<br />
<br />
Ini merupakan tuduhan buruk. Intinya, Shafiyyah tetap menetapi kebiasaan Yahudi. Sebab hari Sabtu adalah hari raya kaum Yahudi, berarti ia masih mengagungkan dan menyucikan hari Sabtu itu. Jadi pada dirinya mashi ada kelekatan kuat dengan tradisi orang-orang Yahudi.<br />
<br />
Namun Umar bin Khaththab radhiallahu anhu tidak bertindak gegabah. Dia juga tidak meyakini bahwa ini suatu kenyataan yang memang benar keberadaannya. Lalu ia memanggil Shafiyyah dan menanyakan hal itu kepadanya. Shafiyyah menjawab: ”Tentang hari Sabtu, maka saya sama sekali tidak menyukainya semenjak Allah menggantikannya dengan hari Jumat. Adapun orang-orang Yahudi, maka saya masih punya sanak kerabat di antara mereka, yang harus tetap saya sambung hubungan. Jadi saya tetap bersilaturrahim dengan mereka.”<br />
<br />
Lalu Shafiyyah memanggil budak perempuan itu dan bertanya: ”Apa yang mendorong kamu mengatakan fitnah ini?” Shafiyyah sama sekali tidak mengeksekusi budak tersebut demi mencari pembelaan buat dirinya. Tapi sekadar bertanya: “Kenapa kamu melakukan perbuatan ini?” Budak itu menjawab, “Setan yang menyuruh saya”.<br />
<br />
Kemudian Syafiyyah berkata: “Kalau begitu pergilah. Sekarang kamu menjadi orang merdeka. ”Selesai masalahnya. “Pergilah! Sekarang kamu menjadi orang yang merdeka.”[7]<br />
<br />
Sekarang, coba anda bertanya kepada diri anda? Seandainya anda pulang ke rumah. Kemudian mendapati pintu rumah telah dicongkel dan barang-barang dalam rumah telah dicuri. Lalu anda memeriksa berkas-berkas penting anda, rupanya berkas-berkas itu sudah hilang dan tercuri juga. Lalu anda keluar menuju mobil, rupaya mobil itu sudah dipecah pula kacanya, dan barang-barang berharganya juga sudah lenyap…Apa tindakan anda?! Apakah anda mendoakan pencuri dan penjahat itu, agar Allah melumpuhkan tangan, kaki, telinga, penglihatan, dan membekukan darah pada peredarannya, serta mendoakan agar dia mengharap segera mati tapi tak bisa mati…?! Inilah tindakan yang terkadang kita lakukan.<br />
<br />
Adapun Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu dan orang-orang berjiwa besar lainnya, mereka sama sekali tak pernah melakukan hal itu. Suatu ketika, Abdullah bin Mas’ud keluar ke pasar dan menaruh uang pada lipatan sorbannya. Lalu duduk pada seorang penjual dan membeli makanan darinya. Ketika ia mengangkat tangan untuk mengambil uangnya, ia mendapati uang tersebut telah lenyap. Lalu dia berkata: “Demi Allah! Ketika saya duduk tadi, uang itu ada bersama saya. Tapi sekarang tak ada sama sekali.”<br />
<br />
Abdullah bin Mas’ud sangat heran dan kaget. Lalu sebagaimana kebiasaan yang ada pada kita, orang-orang pun berkumpul di sekelilingnya untuk menolong. Memberi simpati dan menghiburnya atas kejadian yang baru saja menimpa. Orang-orang itu mulai mendoakan sang pencuri:” Ya Allah ! Potonglah tangan pencuri yang telah mengambil uangnya!” “ Ya Allah! Hukumlah ia seberat-beratnya.” Dan lain sebagainya. Yang jelas, semua orang yang ada disitu duduk sebentar untuk mendoakan jelek kepada sang pencuri.<br />
<br />
Adapun Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu, maka beliau hanya berujar: “Ya Allah! Jika dia mengambil uang saya karena sangat membutuhkannya maka berkahilah ia padanya. Tetapi jika dia melakukan itu karena semata-mata berbuat dosa (tanpa alasan apapun), maka jadikanlah perbuatan ini sebagai dosa terakhir atasnya”.[8]<br />
<br />
Selesai!! Itu saja. Tak ada doa agar sang pencuri dipotong tangannya, dilaknati Allah Ta’ala, dilumpuhkan anggota-anggota tubuhnya, dibuatkan mata, dihilangkan telinganya, atau didoakan agar mengharap kematian tapi kemudian kematian itu tak datang-datang, atau agar darahnya dibekukan dan lain sebagainya. Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu sama sekali tak melantunkan doa-doa seperti itu. Justru ia mendoakan kebaikan bagi sang pencuri, bukan mendoakan keburukan atasnya.<br />
<br />
Wahai saudara sekalian…Seandainya anda keluar kemudian bertemu seseorang yang tak pernah menjaga hak-hak anda dan tak pernah menghormati anda. Kemudian dia mengucapkan perkataan kotor, mencaci, dan memperdengarkan kepada anda sesuatu yang sangat anda benci. Tindakan apa yang akan anda lakukan?! Anda membalasnya dengan hal yang serupa?! Membalas dendam atau berubah menjadi musuh baginya?<br />
<br />
Wahai saudara sekalian…Para pemilik jiwa yang besar, pada situasi-situasi seperti ini akan selalu mengingat firman Allah Ta’ala, “Tolaklah kejahatan itu dengan sesuatu yang paling baik”. (QS. Fushshilat:34). “Idfa’billati hiya ahsan” inilah yang menjadi syi’ar atau semboyan mereka.<br />
<br />
Mari kita tengok kisah Ali Zainul Abidin, Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib. Termasuk pembesar Tabiin. Suatu ketika beliau berada dalam majelis bersama para sahabatnya, dari kalangan ulama, para pemuka, pembesar dan seluruh lapisan masyarakat. Majelisnya padat dengan manusia. Sebab beliau seorang alim, bapak kaum fakir miskin, dan senantiasa menghilangkan kepedihan dan kesengsaraan orang.<br />
<br />
Saat beliau sedang duduk di majelis seperti biasanya, sementara antara beliau dan putra pamannya, Hasan bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib, sedang terjadi suatu hal [sengketa] yang biasa terjadi di antara manusia, tiba-tiba Hasan bin Hasan tak mampu menahan diri. Ia segera keluar mencari Ali Zainul Abidin berada dan mendapatinya sedang duduk bersama para sahabatnya di Masjid. Hasan bin Hasan mendekati Ali Zainul Abidin, lalu tiada cercaan dan ucapan buruk sedikit pun kecuali dilemparkan kepada Ali Zainul Abidin yang sedang duduk bersama para sahabatnya itu.<br />
<br />
Ali Zainul Abidin diam seribu bahasa. Beliau tidak membalas sepatah kata pun. Ketika Hasan bin Hasan selesai dan puas melampiaskan kemarahannya, ia-pun lantas pergi. Ali Zainul Abidin terus melanjutkan majelisnya. Setelah selesai dari kajiannya, beliau menuju rumahnya. Dan pada malam harinya, Ali Zainul Abidin bergegas menemui Hasan bin Hasan di rumahnya.<br />
<br />
Pada kondisi seperti ini, mungkin yang kita perkirakan, Ali Zainul Abidin menyembunyikan pistol di balik bajunya untuk menghajar Hasan tadi. Tetapi Ali Zainul Abidin sama sekali tidak melakukan hal itu. Beliau mendatangi rumah Hasan, mengetuk pintu, dan ketika Hasan bin Hasan keluar, Ali berkata: “Wahai saudaraku! Jika yang tadi kamu katakan tadi adalah benar, maka mudah-mudahan Allah mengampuni saya. Tapi jika kamu tadi berdusta, mudah-mudahan Allah mengampunimu. Assalamu’alaikum.”<br />
<br />
Lalu Ali Zainul Abidin berbalik meninggalkan Hasan. Ucapan Ali ini seketika meluluhkan permusuhan yang menghujam dalam dada Hasan bin Hasan. Ia tak mampu menahan dirinya. Sehingga perasaan benci, marah, dendam, dan permusuhan ini beralih menjadi perasaan yang sebaliknya. Ia segera berlari mengikuti Ali Zainul Abidin. Menggenggamnya dari belakang sambil menangis. Lalu berkata, “Engkau tak ada dosa, engkau tak pernah melakukan seperti apa yang saya katakan tadi”.<br />
<br />
Maka Ali Zainul Abidin rahimahullah berkata, “Dan saya sama sekali tak marah karena ucapanmu. Saya telah memaafkanmu sejak peristiwa itu terjadi”.[9]<br />
<br />
Wahai saudara sekalian…Pada malam itu, masalah tersebut selesai. Ali tidak pergi mengadukan perbuatan Hasan ini kepada orang lain. Beliau tidak mencari-cari kesempatan dari peristiwa yang baru saja ditimpakan padanya untuk membalas dendam dan lain sebagainya.<br />
<br />
Pertanyaannya, apakah kita pernah melakukan hal ini?! Ketika anda berada dalam masjid, pesta, perkumpulan, rapat, dan lain sebagainya, lalu datang seseorang dan menghabisi anda dengan perkataan yang buruk. Berbagai ucapan jelek dilontarkan kepada anda…bagaimanakah sikap anda terhadap orang tersebut?<br />
<br />
Jika anda termasuk orang-orang yang berjiwa besar maka maafkanlah ia dan anggap kesalahan itu tidak pernah terjadi. Karena itulah, sebagian ulama berkata kepada orang yang mencaci-makinya dengan sangat keras, “Wahai kawan! Jangan terlalu keras memaki kami, sisakanlah satu tempat untuk berdamai (di antara kita), sisakanlah satu tempat untuk berdamai (di antara kita). Karena kami tidak membalasi orang yang bermaksiat kepada Allah atas kita, dengan lebih banyak dari ketaatan kami kepadaNya”.[10]<br />
<br />
Seandainya ada seseorang yang berbuat kurang ajar, memukul anda, melukai, berusaha membunuh anda, meracuni anda, atau melakukan perbuatan buruk lainnya, apa tindakan anda terhadapnya?!<br />
<br />
Umar bin Abdul Aziz rahimahullah, Khulafa’ Rasyidin yang kelima. Ketika terserang penyakit yang mengantarkan pada kematiannya, ia bertanya pada Mujahid: ”Apa gerangan yang dikatakan orang-orang terhadap penyakit yang menimpaku ini?”. Mujahid menjawab: ”Mereka mengatakan, anda terkena sihir”. Umar menimpali: “Sekali-kali, tidak”. Lalu Umar bin Abdul Aziz memanggil seorang budak laki-laki dan bertanya, ”Mengapa engkau meracuni saya?”. Beliau ingin tahu alasan kenapa sang budak meracuninya.<br />
<br />
Ragu sang budak menjawab: ”Saya melakukannya karena uang seribu dinar dan karena saya ingin merdeka”.<br />
<br />
Umar lalu menyuruh Mujahid mengambil uang seribu dinar dari Baitul Mal dan berkata: ”Ambillah uang seribu dinar dari Baitul Mal ini, dan pergilah dalam keadaan merdeka. Jangan sampai ada orang yang melihatmu”.[11]<br />
<br />
Wahai saudaraku!, budak ini telah meracuni Khalifah. Khalifah tahu dan sang budak sendiri mengakuinya. Lalu apa tindakan Khalifah Umar bin Abdul Aziz?! Ia berkata: ”Pergilah! Kamu sekarang telah merdeka”.<br />
<br />
Sekarang mari kita tengok kisah Imam Malik rahimahullah. Beliau dipukul dan dicambuk hingga kedua tangan beliau terkelupas. Hingga ketika berdiri dalam shalat, beliau terpaksa menjulurkannya lantaran rasa perih yang amat sangat. Sebab itu, beliau tak sanggup menekuk kedua tanggannya di atas dada. Setelah itu Al-Manshur (Khalifah Abbasiyah) datang ke kota Madinah pada musim haji. Dia menghadap Imam Malik untuk mengambil muka dari beliau. Lalu meminta pada Imam Malik untuk mengambil [menuntut] qishas –balasan- dari orang yang telah memenjarakan dan mencambuki beliau, yakni Ja’far bin Sulaiman.<br />
<br />
Imam Malik lantas berkata: “Ma’aadzallah! Saya berlindung kepada Allah untuk mencari pembalasan buat diri saya”.<br />
<br />
Beliau sama sekali tidak mengatakan, “Ini adalah kesempatan yang tidak boleh disia-siakan.” Tidak pula mengatakan:” Ja’far adalah seorang sangat zhalim yang harus diberi pembalasan”. Tidak!! Imam Malik sama sekali tidak mengatakan hal itu.<br />
<br />
Begitulah contoh orang yang berjiwa besar. Sedikit pun tidak pernah mencari kemenangan buat dirinya. Karena itu, dalam sejarah jelas terpampang, Nabi shallallahu alaihi wasalam tak pernah mencari pembelaan atau kemenangan buat dirinya.<br />
<br />
Mari kita mengambil contoh lain.<br />
<br />
Suatu ketika seseorang masuk ke majelis Ibnu Hubairah rahimahullah dan mengemis. Ibnu Hubairah berkata kepada penjaga: ”Bukankah sudah kukatakan padamu?! Beri dia dua puluh dinar, kasih makan, dan jangan sampai masuk ke dalam majelis ilmu ini?!”<br />
<br />
Sang penjaga berkata, ”Kami sudah memberinya, tapi dia tetap memaksa untuk masuk.”<br />
<br />
“Kalau begitu, beri dia dua puluh dinar lagi dan jangan boleh masuk!”, sergah Ibnu Hubairah.<br />
<br />
Ketika lelaki pengemis itu pergi, Ibnu Hubairah berkata kepada para sahabatnya di majelis itu: “Apakah kalian kaget terhadap jawaban dan perlakuan saya ini?!”<br />
<br />
Mereka menjawab:” Benar!!” Ibnu Hubairah berkata, “Orang yang baru saja kalian lihat adalah seorang syihnah di pedalaman. Kemudian ada seseorang yang terbunuh di daerah tempat tinggal saya. Maka datanglah lelaki ini dan mendatangkan para sesepuh kampung, serta membawa saya bersama orang banyak. Ia menyuruh saya berjalan kaki. Sementara dia mengendarai kuda. Lalu dia mulai menyakiti dan menyeret saya bersama kuda. Kemudian saya diikat. Ia mengambil uang dari setiap orang, dan melepaskan mereka. Lalu datang kepada saya dan berkata: “Berikan uangmu!”.<br />
<br />
“Saya tak memiliki uang sepersen pun”, jawabku. Maka orang itu menghardik dan memukuli saya. Tapi saya tidak dendam sedikit pun atasnya. Saya meminta izin padanya untuk mengerjakan shalat wajib ketika tiba waktunya, saat masih di jalan. Tapi dia menolak. Inilah yang membuat saya marah. Karena itu saya tak ingin menyakitinya dan tidak senang melihatnya”.[12]<br />
<br />
Wahai saudara sekalian…Karena kebaikannya, Ibnu Hubairah rahimahullah akhirnya memanggil orang itu dan memberikan padanya sebuah jabatan. Orang itu ditugasi mengatur harta khusus yang dimiliki para pembesar.<br />
<br />
Lihatlah!!, Ibnu Hubairah sama sekali tidak mencari kemenangan buat dirinya. Tidak pula mengatakan: “Ini adalah kesempatan emas untuk membalas dendam”. Bahkan beliau malah memberinya uang, memuliakannya dan sama sekali tidak mencari kemenangan untuk diri pribadi.<br />
<br />
Ibnu Hubairah rahimahullah, pemilik hati mulia ini, juga berperan dalam kisah mulia yang lain. Peristiwa ini terjadi sudah lama. Sejak Ibnu Hubairah belum diangkat menjadi seorang menteri. Pernah terjadi sesuatu antara Ibnu Hubairah bersama seorang ajam (non Arab) dalam masalah pertanian. Orang ajam ini memukul Ibnu Hubairah dengan sangat keras.<br />
<br />
Ketika Ibnu Hubairah diangkat menjadi menteri, orang ajam itu dipanggil. Mari kita bayangkan! Kalau bukan Ibnu Hubairah, pastilah orang ajam itu disiksa, dihukum atau dibunuh. Tetapi Ibnu Hubairah sama sekali tidak menghukum atau menghardiknya. Justru Ibnu Hubairah memuliakan, memberi uang dan menyerahinya suatu jabatan.<br />
<br />
Ibnu Jauzi, murid Ibnu Hubairah berkata: “Ibnu Hubairah pernah meng-imlak (mendikte) kami kitab karangannya yang berjudul “Al-Ifshah”. Maka datang dua orang lelaki. Orang pertama menawan dan mengikat orang yang kedua. Orang pertama berkata: “Orang ini telah membunuh saudaraku. Karena itu putuskan qishasnya di antara kami.”<br />
<br />
Ibnu Hubairah bertanya kepada orang kedua: “Apakah kamu telah membunuh saudaranya?” Ia menjawab: ”Benar saya telah membunuhnya. Telah terjadi pertikaian antara saya dengan dia, maka saya pun membunuhnya”.<br />
<br />
Maka orang pertama berkata: ”Serahkan ia padaku biar kubunuh. Bukanlah ia telah mengakui perbuatannya?!”.<br />
<br />
Ibnu Hubairah berkata: ”Tidak! Justru lepaskan dia”. Orang pertama pun berkata: ”Mana mungkin kami melepaskannya, padahal ia telah membunuh saudara kami”.<br />
<br />
Ibnu Hubairah berkata: ”Kalau begitu, jualah ia padaku!”. Maka Ibnu Hubairah membeli pembunuh itu dengan diyat yang berlipat–lipat. Yaitu dengan harga enam ratus dinar. Lalu Ibnu Hubairah menyerahkan emas-emas itu kepada keluarga sang terbunuh. Setelah emas diserahkan, Ibnu Hubairah berpaling pada sang pembunuh, “Duduklah!”. Lalu pembunuh itu duduk dan diberi uang sebanyak lima puluh dinar oleh Ibnu Hubairah. Kemudian diperintahkan untuk pergi.<br />
<br />
Ibnu Jauzi bersama para murid lainnya ditimpa keheranan luar biasa atas perlakuan Ibnu Hubairah ini. Mana mungkin seorang pembunuh dibeli dengan harga sangat mahal, diberi uang, kemudian dibiarkan lepas begitu saja?!<br />
<br />
Lalu Ibnu Hubairah bertanya kepada para muridnya, “Tahukah kalian bahwa mata kanan saya tidak dapat melihat sejak empat puluh tahun lalu?”<br />
<br />
Murid-muridnya serentak menjawab: ”Tidak!!”<br />
<br />
Ibnu Hubairah meneruskan: ”Lelaki pembunuh tadi, empat puluh tahun lalu pernah lewat di hadapan saya sambil membawa sekeranjang buah, lalu berkata kepadaku: “Angkat keranjang ini, dan bawalah!!. Padahal saat itu saya sedang membaca kitab fiqih.”<br />
<br />
“Ini bukan pekerjaan saya. Tolong anda cari orang yang membawakannya untuk anda”, Ibnu Hubairah meneruskan, “Orang itu menjadi sangat marah. Tiba-tiba memukuli saya dan menampar wajahku. Dia terus memukuli saya hingga akhirnya merusak mata saya. Setelah itu dia pergi. Dan saya tak pernah melihatnya kecuali saat ini….”.[13]<br />
<br />
Wahai saudara sekalian…Perhatikanlah perbuatan orang itu terhadap Ibnu Hubairah. Sekarang dia datang sebagai seorang pembunuh. Tapi Ibnu Hubairah tidak mengatakan, “Sudah, qishaslah dia”. Atau mengatakan: “Segala puji bagi Allah yang telah membuatmu mendapat balasan atas buruknya perbuatanmu”. Sama sekali Ibnu Hubairah tidak mengatakannya. Justru ia memaafkannya, memuliakan dan memberinya uang.<br />
<br />
Wahai saudara sekalian…Siapa di antara kalian yang pernah melakukan hal ini?! Ibnu Hubairah berkata:” Saya ingin membalas keburukannya dengan kebaikan”.<br />
<br />
Sekarang…seandainya anda berpapasan dengan seorang pencaci, pengumpat dan pengolok-olok anda di suatu tempat. Apakah itu di madrasah, di kantor, di pasar atau di tempat lain. Lalu orang itu berkata kepada anda seperti perkataannya kepada Ahnaf bin Qais ini, “Jika kamu ngomong satu ucapan, niscaya kamu mendengar sepuluh kali ucapan pembalasan dari saya.”<br />
<br />
Seperti inilah akhlak orang-orang jalanan yang tak berpendidikan. Inilah lidah orang jalanan. Orang pasaran yang tak beradab. Satu kata di balas dengan sepuluh perkataan. Tetapi apa jawaban Ahnaf bin Qais? Apakah ia menjawab, ”Kami akan membalasmu seribu umpatan dan memotong lidahmu”?!<br />
<br />
Sama sekali Ahnaf bin Qais tidak mengatakan hal itu. Tapi ia menjawab:” Jika anda mengatakan sepuluh kali, maka anda tidak akan mendengar sepatah kata pun dari saya.”<br />
<br />
Seorang penyair berkata:<br />
<br />
“Mereka berkata, diamlah saat dimaki dan diumpat. Saya berkata pada mereka, sungguh menjawabnya adalah kunci pembuka pintu keburukan.<br />
<br />
Mengampuni orang bodoh adalah suatu kemuliaan. Benar sekali!, Dan itu merupakan perbaikan dan perlindungan kehormatan.<br />
<br />
Sungguh singa-singa disegani meski terdiam. Sementara anjing dilempari saat menggonggong.”<br />
<br />
Sekarang anda wahai seorang dai…. Apa tindakan anda jika seorang mad’u (obyek dakwah) berbuat keburukan terhadap anda…? Atau, berkata buruk keada anda…? Atau, melakukan perbuatan yang tidak pantas kepada anda…? Apakah anda akan memusuhinya…? Menjauhi atau mengucilkannya…? Atau menyuruh para pengikut anda untuk menjauhi dan menghindarinya…? Menjadikan adanya tabir pembatas dengannya…? Apakah hanya karena kepentingan pribadi, anda menjadi sibuk sendiri dan dia juga sibuk sendiri..?!!<br />
<br />
Wahai saudara sekalian…Hal ini sama sekali tidak pantas dilakukan. Asy-Syaikhan meriwayatkan sebuah Hadits dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu, dia berkata: “Seakan-akan saya melihat Nabi mengisahkan salah satu Nabi dari para Nabi Allah. Kaumnya memukulinya hingga berdarah, kemudian dia (Nabi itu) mengusap darah dari wajahnya sambil berkata: ““Ya Allah! Ampunilah kaumku, karena mereka tidak mengerti”.<br />
<br />
Jika seorang mad’u (yang didakwahi) memukul anda hingga berdarah, apa yang bakal anda lakukan…? Apakah anda akan mendoakan kebinasaan baginya?! Apakah anda akan melaknatnya…?! Ataukah anda akan memukulinya!<br />
<br />
Wahai sang dai!, Anda bagaikan direktur di sebuah perusahaan. Anda seperti penanggung jawab di suatu pekerjaan. Jika seorang peninjau datang kepada anda, kemudian ia mengucapkan perkataan yang sangat keji, dengan bahasa yang sombong, dan berbicara dengan anda seakan-akan anda pelayannya… Pada situasi seperti ini apa yang akan anda perbuat?<br />
<br />
Ada seorang lelaki datang kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam, lalu menarik selendang Nabi dengan keras hingga membekas merah pada leher beliau. Lalu orang itu berkata: “Berikan kepada saya harta ini. Karena harta ini bukan kepunyaan bapak atau ibumu”. Seandainya perkataan ini diucapkan kepada selain Rasulullah, pastilah kepala orang itu sudah terputus sebelum sempat menyempurnakan perkataannya.<br />
<br />
Coba anda bayangkan, tindakan apa yang diperbuat oleh Nabi?! Beliau memberi, memberi, dan memberinya hingga dia puas. Dan ini adalah akhlak para Nabi.<br />
<br />
Wahai saudara sekalian…Wahai orang-orang yang mengerjakan shalat. Kita dalam masjid ini, seandainya ada anak kecil yang berdiri di atas meja ini, kemudian mengencinginya. Atau ada seorang tua yang pergi ke pojok masjid, kemudian duduk dan kencing di sana.<br />
<br />
Bayangkan! Apa tindakan yang akan kita lakukan terhadapnya. Mungkin dia tidak tahu akan berada pada (pukulan) tangan siapa. Tentunya semua orang akan memukulinya. Sementara yang tidak sempat memukul, akan terus memaki dan mengumpatnya.<br />
<br />
Pernah seorang datang ke masjid Nabi saat beliau bersama dengan para Sahabat. Lalu orang itu menuju pojok masjid dan kencing di sana. Dia tak mendapatkan tempat lain kecuali masjid. Para Sahabat menghardiknya, tapi Nabi melarang para Sahabat untuk melakukannya. Justru beliau mengatakan: “Jangan hentikan dia saat buang air seni, agar tidak mendatangkan banyak madharat lagi”. Setelah itu Rasulullah menyuruh seseorang membawakan segayung air lalu dituangkan ke sisa air kencing tersebut.<br />
<br />
Kemudian beliau mengajari orang yang kencing tadi dengan hikmah dan lemah lembut, bahwa masjid ini tidak pantas dikotori. Dan masalah pun selesai tanpa harus menendangnya dengan kaki, atau menyeruduknya dengan tumit dan lain sebagainya. Sungguh, orang itu tak diusir, dimaki atau dicemooh. Tapi justru ia dimuliakan dan diajari dengan baik, bahwa masjid ini adalah tempat shalat dan tak patut dikotori sedikit pun. Dengan akhlak mulia Nabi inilah orang tersebut menjadi terbuka hatinya. Dan sejak peristiwa itu terjadi, ia senantiasa mengatakan, “Demi Allah! Sama sekali beliau tak berkata kasar atau memarahiku. Dan saya tak pernah mendapati seorang pengajar yang paling baik darinya.”<br />
<br />
Walau saudara sekalian…..Apakah seperti ini akhlak kita bersama murid kita, para mad’u (yang didakwahi) dan seluruh kaum muslimin?!!<br />
<br />
Bayangkan seandainya ada seorang imam dalam masjid yang shalat dengan sujud sangat lama. Ia tak mengangkat kepalanya hingga lama. Ketika anda mengangkat kepala, anda melihat anak kecil sang imam sedang menduduki kepalanya. Apakah tindakan yang akan anda perbuat..? dan apa yang akan anda katakan kepada anak kecil itu..? tentunya setelah kalian mengatakan kepada imam itu hal-hal yang dibencinya, pasti anda segera pergi ke Wizaratul Auqaf[14] untuk memecat dan memberinya pelajaran.<br />
<br />
Walau saudara…Itu hanya anak kecil yang sedang bermain-main. Mereka tak mendapati mainan lain selain berada di atas punggung ayahnya.<br />
<br />
Ingatlah! Nabi pernah sujud lama sekali. Maka seorang Sahabat mengangkat kepalanya, dan mendapati Hasan atau Husain sedang bermain di atas punggung beliau. Ketika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam selesai shalat, beliau menjelaskan kepada mereka sebab keterlambatannya dalam mengangkat kepala saat sujud, “Sesungguhnya cucuku ini menjadikan punggungku sebagai kendaraan baginya. Dan aku tidak ingin menghentikannya.” Beliau tidak senang menghentikan kegembiraan anak kecil ini. Adapun kita, setiap melihat anak kecil bergerak sedikit saja kita langsung berdalil dengan Hadis, “Jauhkan anak-anak kecil dan orang-orang gila kalian dari masjid”!? Padahal hadis ini tidak shahih sama sekali.<br />
<br />
Sementara sang ayah bagi anak-anak tadi, wajahnya menjadi merah lantaran menahan perasaan tak enak. Padahal bisa saja ia memiliki urusan berat yang perlu dibantu. Atau bisa saja isterinya sedang sibuk atau sedang sakit dan lain sebagainya. Atau bisa saja sang ayah atau sang ibu yang membawa anak-anak ke masjid, sedang mengalami krisis kejiwaan atau masalah pribadi dalam dirinya. Lalu ia pergi ke masjid mencari ketenangan, tapi kita melakukan tindakan-tindakan buruk itu terhadapnya.<br />
<br />
Wahai saudara sekalian! Rasulullah pernah berkhutbah. Kemudian beliau turun dari mimbarnya hanya karena melihat Hasan dan Husain. Perhatikan Hadits Buraidah di bawah ini. Dari Buraidah, dia berkata: “Rasulullah pernah berkhutbah pada hari Jumat’ kemudian datang Hasan dan Husain memakai baju merah. Keduanya berjalan dan terjatuh. Maka Rasulullah turun dari mimbar. Beliau menggendong keduanya dan meletakkan mereka di depannya. Beliau bersabda: “Sungguh benar Allah dan Rasul-Nya: Sesungguhnya harta dan anak-anak kecil kalian adalah fitnah. Saya melihat dua anak kecil ini berjalan dan jatuh, maka saya tak mampu bersabar, hingga memotong khutbah dan menggendong keduanya”.<br />
<br />
Seandainya seorang Imam atau Khatib melakukan hal ini pada hari Jumat. Mengambil anak putrinya, kemudian menggendongnya, coba bayangkan tindakan manusia terhadapnya.<br />
<br />
Rasulullah pernah mengerjakan shalat sambil menggendong Umamah, anak putri beliau. Setiap beliau berdiri dalam shalat, anak itu pasti digendongnya. Ketika beliau sujud atau ruku’ anak itu diletakkannya di atas tanah. Beliau terus melakukannya sepanjang shalat hingga selesai.<br />
<br />
Walau saudara sekalian…Jika hal ini dilakukan seorang imam, apa tindakan yang akan kita perlakukan terhadapnya?<br />
<br />
Ketahuilah! Ini adalah akhlak dimana generasi dan anak-anak kecil masa itu terdidik. Sebab mereka hidup dalam buaian orang-orang mulia. Orang-orang yang memiliki jiwa mulia dan luhur. Sehingga mereka mendapati banyak orang yang terus merawat dan memperhatikan mereka.<br />
<br />
Tetapi generasi kita…adalah generasi yang bermuka masam di hadapan saudara-saudaranya. Generasi yang berinteraksi dengan saudara muslim secara kasar dan buruk…, dan tentunya para pelaku perbuatan ini bukan orang-orang yang berjiwa besar.<br />
<br />
Wahai saudaraku! Jika anda bekerja bersama seseorang dalam perusahaan atau perserikatan. Anda setiap hari berinteraksi bersamanya. Kemudian anda diuji dengannya dan ia hendak memasukkan anda dalam persengketaan. Apakah anda meladeninya?<br />
<br />
Imam Malik rahimahullah, menyebutkan sifat Qasim bin Muhammad, salah seorang Ulama dari kalangan Tabiin. Imam Malik berkata: “Pernah terjadi antara Qasim bin Muhammad dengan seseorang suatu masalah yang biasa terjadi di antara manusia [sengketa]. Maka Qasim berkata: “Masalah yang hendak anda perselisihkan dengan saya ini, jika benar-benar milik anda, berarti itu milik anda maka ambillah dan jangan memuji saya. Tetapi jika itu milik saya, maka saya telah memaafkan anda dan barang itu menjadi milik anda”.[15]<br />
<br />
Maksudnya, tinggalkan saya. Saya tidak akan bersengketa dengan anda. Ambillah barang itu untuk anda. Saya tidak akan berselisih hanya disebabkan perkara yang remeh.<br />
<br />
Sekarang anda wahai para suami…Bagaimana anda bertindak ketika pertalian antara suami dengan istri menjadi tidak serasi…? Ketika hubungan anda dengan istri sudah tidak harmonis lagi…?<br />
<br />
Sebagian lelaki ada yang menyudutkan dan menekan sang istri. Dan saya tidak berlebihan, sungguh terkadang permasalahan tiba-tiba muncul dari sebuah rumah. Sang lelaki menyakiti dan membuat istrinya merasa sangat tidak nyaman, dengan tujuan agar sang istri mengajukan cerai. Sehingga dia (sang wanita) memberikan jaminan kepada sang suami akibat permintaan cerai itu, juga mengembalikan maskawin dan biaya-biaya lain saat upacara pernikahan mereka. Padahal sang suami telah menggaulinya. Bahkan bisa jadi sang suami juga telah melahap masa remajanya.<br />
<br />
Wahai saudara sekalian…Di manakah kepribadian kita?! Di manakah sopan santunnya?! Ketika seseorang tidak lagi mencintai istrinya, dan seakan duduk di atas bara api karena kebencian dan kemarahan terhadapnya.Maka, tindakan apa yang akan anda lakukan pada situasi seperti ini?!<br />
<br />
Adalah Jubair bin Muth’im, beliau menikahi seorang wanita dan telah menyerahkan mahar secara sempurna kepada sang wanita. Kemudian dia mencerai-kannya sebelum menggauli. Beliau lantas membaca ayat ini: “Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika istri-istrimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa. Serta janganlah melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Baqarah:237).[16]<br />
<br />
Jubair berkata: “Saya lebih patut untuk memaafkan.” Beliau lalu menyerahkan seluruh maskawin kepada sang wanita, padahal ia berhak mendapat seperdua dari maskawin tersebut.<br />
<br />
Seandainya seorang istri bertindak tidak patut terhadap anda, apakah anda akan langsung mentalak tiga terhadapnya seperti dilakukan sebagian orang?! Apa anda memukulnya?! Menyiksanya?! Apakah anda meninggalkannya begitu saja?!<br />
<br />
Sungguh sebagian wanita datang mengadu, bahwa ia telah ditinggal suaminya sejak bertahun-tahun tanpa perhatian dan nafkah. Sebagian mereka mengatakan, bahwa dia sering pingsan, karena suaminya sering memukuli kepalanya. Sebagian istri juga mengatakan, suaminya masuk rumah dengan mengomel dan mencaci. Lalu keluar rumah dengan mengumbar kata-kata tidak pantas tanpa sebab yang jelas. Kemudian dikatakan kepadanya: “Mestinya anda menjauhi tindakan-tindakan yang membuatnya marah”. Sang istri menjawab: “Dia pada dasarnya memang pemarah. Tanpa ada sebab, ia tetap marah dengan sendirinya. Tak ada kebaikan apa pun kecuali sudah saya lakukan terhadapnya. Kemarahannya pun bisa lahir hanya karena sebuah perkara yang sangat remeh. Bahkan dia juga marah pada momen-momen yang semestinya perbuatan ini sangat tidak pantas dilakukan. Pada malam hari raya Idul Fitri dia marah-marah. Juga pada pagi hari sebelum shalat Idul Fitri, dia juga sangat marah.”<br />
<br />
Sebagian wanita menelpon kami dan bertanya: “Suamiku langsung mentalak tiga saya, hanya lantaran saya membangunkannya untuk makan makanan yang disiapkan pada pagi hari Idul Fitri. Maksud saya agar dia mencicipi masakan saya sebelum berangkat shalat Ied. Tetapi langsung mentalak tiga saya. Ia bangkit dan menabur makanan di dapur lalu memukul saya dengan sangat keras. Dia juga mencaci saya dan mencaci seluruh keluarga saya. Hal itu terjadi di pagi hari Idul Fitri.”<br />
<br />
Na’udzu billah mudah-mudahan Allah melindungi kita dari perbuatan bejat ini. Padahal apa yang dilakukannya?! Ia telah melakukan suatu perbuatan yang sangat mulia. Mestinya perbuatan mulia dibalas dengan kemuliaan. Tapi ia justru membalas kemuliaan dengan perbuatan yang sangat bejat.<br />
<br />
Walau saudaraku…Aisyah pernah berkata kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasllam, “Engkaukah orang yang mengaku sebagai seorang Rasulullah?!” Ini merupakan ucapan yang tidak patut dan menyakitkan. Tapi apa tindakan yang dilakukan Nabi?! Beliau tidak melakukan sesuatu lebih dari sekadar tersenyum. Yah, beliau hanya tersenyum dan tidak melakukan tindakan apa pun.<br />
<br />
Pertanyaannya, jika istri anda berkata di hadapan muka anda seperti ini: “Kamu mengaku mempunyai kejantanan?”, “Kamu mengaku sebagai orang yang baik?!” Kira-kira apa tindakan anda terhadapnya? Mungkin yang saya perkirakan, daging sang istri itu akan bercampur jadi satu dengan bajunya….Dan saya tidak yakin ia bisa selamat dan keluar dari rumah dalam keadaan tak kurang suatu apa pun pada situasi seperti itu…<br />
<br />
Pernah Nabi shallallahu alaihi wasallam duduk bersama para Sahabat. Lalu salah seorang istri beliau yang pandai memasak mengirim sepiring besar makanan kepada beliau. Bangkitlah rasa cemburu dari istri yang lain… Dan hadits tentang hal ini shahih. Pada sebagian riwayat disebutkan nama-nama istri beliau itu. Sekali lagi, semua riwayatnya shahih. Diriwayatkan oleh Imam An-Nasa’i dan juga imam-imam lainnya.<br />
<br />
Dalam sebuah riwayat, istri yang lagi cemburu ini memukul tangan Nabi, sehingga piring besar berisi makanan itu berserakan jatuh di lantai. Sedangkan dalam riwayat lain disebutkan, bahwa dia mengutus seorang budak wanita untuk mengambil piring besar itu dan melemparnya di lantai, sehingga pecah dan makanan berceceran di lantai.<br />
<br />
Sementara dalam riwayat ketiga disebutkan, dia datang dengan penuh kemarahan di hadapan para tamu, lalu mengambil piring itu dan dilemparkan di hadapan para tamu.<br />
<br />
Bayangkan apa tindakan Nabi?! Ternyata beliau hanya menyuruh budak wanita untuk mendatangkan makanan lain dari istri yang telah memecah dan mencecerkan makanan itu. Beliau bersabda: “Piring diganti piring, dan makanan diganti dengan makanan.” Dan masalah pun selesai. Beliau tidak mengatakan: “Kamu telah membuat saya malu di depan para tamu!?”. Sama sekali tidak ada kata-kata itu…<br />
<br />
Wahai saudara sekalian…contoh-contoh seperti ini, kenapa saya datangkan dari sisi kehidupan Rasulullah?! Sebab jika saya mendatangkannya dari selain Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mungkin ada yang mengatakan ucapan yang tidak patut. Hal itu tidak lain, karena besarnya keburukan dalam diri kita, juga kesombongan berlebihan yang membuat kita menolak kemuliaan dari selain Rasulullah. Juga lantaran kebiasaan kita suka berbuat jahat dan tidak bersikap lembut terhadap para wanita.<br />
<br />
Perhatikan kisah Rasulullah! Beliau hanya mengatakan piring diganti piring dan makanan diganti makanan…Setelah itu beliau tak pernah mengungkit, memukul, mencerai, atau meninggalkannya. Sama sekali beliau tidak melakukan hal ini. Peristiwa ini langsung selesai dan ditutup pada saat itu juga.<br />
<br />
Dan anda wahai para wanita…<br />
<br />
Jika ada satu kata yang keluar dari mulut suami, apakah anda akan memasukkannya dalam daftar hitam hanya karena ucapan itu?! Dan tidak akan pernah anda lupakan?!<br />
<br />
Kemudian…..jika anda wahai saudariku mempunyai pembantu atau seorang sopir. Lalu dia berbuat salah atau ceroboh pada hak anda. Bayangkan apa tindakan anda jika dia memecahkan guci atau piring misalnya…..apa tindakan yang anda perbuat terhadapnya?<br />
<br />
Perhatikanlah…Dalam hadist Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam didatangi seorang lelaki dan bertanya: “Wahai Rasulullah! berapa kali kita memaafkan pembantu?” Rasulullah diam tidak menjawab. Kemudian lelaki itu mengulangi pertanyaannya. Rasulullah tetap diam tidak menjawab. Kemudian lelaki itu mengulangi pertanyaannya lagi. Setelah tiga kali pertanyaan ini, maka Rasulullah menjawab: “Berikan maaf padanya dalam setiap hari sebanyak tujuh puluh kali”. Hadist ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad shahih, sebagaimana dikatakan Syaikh Nashiruddin Al-Albani.<br />
<br />
Saudaraku….. Dalam sehari berapa kali kita memaafkan pembantu?! Dalam setahun berapa kali kita memaafkannya?! Berapa kali dalam setahun kita memaafkan sopir pribadi kita? Seandainya sopir datang menghadap bahwa dia telah menabrakkan mobil, dia datang dengan wajah penuh kecemasan. Apa yang akan anda perbuat terhadapnya? Pasti ia akan menjadi sasaran cemoohan, makian dan pukulan. Kemudian sopir malang ini dipotong gajinya untuk membayar mobil yang nabrak tadi.<br />
<br />
Wahai saudaraku…Seorang ulama, Ibnu ‘Aun rahimahullah, memiliki seekor unta bagus. Beliau selalu menggunakannya saat mengerjakan ibadah haji dan berperang. Suatu ketika, Ibnu ‘Aun menyuruh budaknya memberi minum unta tersebut. Budak ini wataknya kasar dan tidak memiliki belas kasihan. Akhirnya ia memukul unta itu dan menampar matanya hingga jatuh ke pipi akibat tamparan keras itu.<br />
<br />
Ketika orang-orang menyaksikan keadaan unta, yang matanya melenceng ke pipi akibat tamparan, mereka berujar: “Sekarang telah nampak karakter asli Ibnu ‘Aun. Sekarang telah kelihatan akhlak buruknya yang selama ini tersembunyi.”<br />
<br />
Maka, saat budak datang menghadap bersama untanya. Ibnu ‘Aun melihat bahwa mata untanya melenceng ke pipi, dan berseru, “Subhaanallah! Tidak adakah tempat lain selain wajah untuk dipukuli. Tak bisakah kamu memukul selain wajah binatang ini?! Semoga Allah memaafkanmu. Sekarang pergilah!!. Wahai manusia! Saksikan, budak ini telah merdeka”.<br />
<br />
Ikhwah fillah, kasus lain, masalah wanita muslimah…jika suaminya berpoligami dan memiliki istri lain. Apakah dia akan hidup penuh kebencian dan iri hati?! Permusuhan?! Tidak bisa tidur di malam hari, karena memikirkan setiap kata yang diucapkan suami terhadapnya?!<br />
<br />
Wahai saudariku! para istri terhadap saingannya [madunya], mudah-mudahan Allah mengampuni anda dan mengampuni saya. Sungguh, Aisyah radhiallahu anha pernah berkata kepada Ummu Habibah: “Mudah-mudahan Allah mengampuni semua kesalahan anda dan membebaskan anda dari semuanya”. Ummu Habibah menjawab lagi, “Terima kasih, anda telah memaafkan saya. Mudah-mudahan Allah juga menghapus segala kesalahan anda.” Kemudian Ummu Habibah memanggil Ummu Salamah dan mengatakan hal yang sama terhadapnya seperti yang dikatakan kepada Aisyah. Ummu Salamah pun mengatakan hal yang sama.<br />
<br />
Dan setelah semua ini wahai saudara sekalian…..Apakah kita sudah menghias diri kita dengan akhlak-akhlak mulia ini?! Apakah kita sudah menghiasi diri kita dengan akhlak orang-orang besar?!<br />
<br />
Masalah ini bukan seperti ungkapan, bahwa seorang penyantun adalah orang yang dipukul kemudian berlaku santun, namun saat mampu membalas dia-pun membalas dendam. Bukan seperti itu. Akan tetapi seorang penyantun adalah seseorang yang dipukul kemudian berbuat santun, dan ketika mampu membalas dia memaafkan.<br />
<br />
Kalau demikian, kenapa kita tidak mengubah akhlak kita…? Kenapa kita tidak mengubah diri kita, bukankah kita menganggap mulia akhlak-akhlak ini?! Kenapa kita tidak berazam untuk kembali mulai malam ini kepada keluarga kita dengan wajah baru…? Apakah kita mendengarkan keterangan ini hanya sekadar untuk guyonan dan hiburan saja?<br />
<br />
Na’udzu billah, kita berkumpul di sini bukan sekadar mendengarkan. Bayangkan! Apa yang akan terjadi jika akhlak mulia ini kita aplikasikan. Sungguh, ia pasti akan melahirkan pengaruh positif yang sangat terpuji. Seperti bersatunya kaum muslimin atas satu kata dan terjalinnya hati-hati mereka. Sebagaimana firman Allah, “Maka disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu”. (QS. Ali Imran : 159)<br />
<br />
Perhatikanlah!! Jika Nabi yang merupakan makhluk paling sempurna, namun akan dijauhi manusia jika berakhlak buruk, tentunya kita harus lebih banyak berakhlak mulia lagi dan lebih dilarang dari akhlak buruk. Karena itu, Allah memerintahkan beliau untuk memaafkan, mengampuni, dan selalu berlaku lemah lembut. Apalagi dengan akhlak mulia, kita akan mendulang pahala tinggi dari Allah Ta’ala, seperti firman-Nya: “Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, tetapi barangsiapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zhalim”. (QS. Asy Syuura : 40)<br />
<br />
Kemudian Dia menyebutkan sifat-sifat orang bertakwa itu: “Yaitu orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya serta memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Juga orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah?, dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan Surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal”. (QS. Ali Imran:134-146)<br />
<br />
Diantara sifat-sifat mereka adalah, menahan amarah dan memaafkan manusia. Dengannya mereka menjadi seorang “muhsin” dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat ihsan.<br />
<br />
Allah juga berfirman: “Janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nbya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah. Hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu?, dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. An-Nur : 22)<br />
<br />
Maksud dari orang-orang yang memiliki kelebihan adalah, mereka yang berkedudukan tinggi, sedangkan orang-orang yang memiliki kelapangan adalah para orang kaya.<br />
<br />
Allah menurunkan ayat ini khusus ditujukan pada Abu Bakar radhiallahu anhu ketika Aisyah, putrinya, difitnah telah berselingkuh. Siapakah yang dituduh? Dan siapakah yang menuduh? Yang menuduhnya adalah dedengkot kaum munafik, kemudian ada sebagian kaum muslimin yang termakan [fitnahnya].<br />
<br />
Wahai saudaraku…ganjaran dari Allah diberikan sesuai dengan jenis perbuatan. Seperti diriwayatkan oleh Asy-Syaikhani [Bukhari dan Muslim] tentang seorang saudagar yang banyak memberikan hutang kepada manusia. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Ada seorang saudagar yang selalu memberi hutang pada manusia. Setiap melihat orang kesusahan dia berkata kepada para pelayannya: ‘Biarkan ketika ia tak melunasi hutangnya. Maafkan dia. Mudah-mudahan Allah memaafkan kita. Maka Allah pun memaafkannya.”<br />
<br />
Karena itu, jika anda memaafkan manusia dan tidak menghitung kesalahan dan keburukan mereka, niscaya Allah memaafkan anda.<br />
<br />
Disamping itu, dengan akhlak mulia kita bisa memecah rasa permusuhan yang bercokol dalam hati dan menutup pintu setan. Allah Ta’ala berfirman: “Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, sehingga orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia”. (QS. Fushshilat : 34).<br />
<br />
Abdullah bin Abbas radhiallahu anhuma berkata kala menafsirkan ayat ini: “Allah memerintah kaum beriman untuk bersabar saat marah. Berlaku santun ketika menghadapi orang bodoh. Dan memaafkan saat disakiti. Jika mereka sudah melakukan hal itu, niscaya Allah melindungi mereka dari setan. Musuh juga tunduk kepada mereka seakan-akan ia seorang teman yang sangat dekat”.<br />
<br />
Ditambah lagi…dengan akhlak mulia ini kita akan menemukan hakikat kebahagiaan, kenyamanan, dan ketenteraman hati.<br />
<br />
Wahai saudaraku… tentunya anda tahu apa itu dengki. Lantaran dengki seseorang akan merasa tersiksa sebelum orang lain. Jika anda hidup penuh kedengkian dan kemarahan, niscaya ia terus membebani dan menyulitkan anda. Ia juga akan membuat anda berhenti bekerja, berhenti berbuat taat kepada Allah dan membuat hati anda tidak nyaman ketika beribadah serta bermunajat.<br />
<br />
Karena itu saya katakan seperti ucapan sebagian orang, bahwa lezatnya memaafkan lebih agung dibanding lezatnya membalas dendam. Dan hal itu menjadi sangat buruk bagi orang yang mampu, saat ia melampiaskan dendamnya.<br />
<br />
Jadi…memaafkan adalah pekerti mulia dianjurkan Islam. Pekerti itu menunjukkan betapa lapang dada orang yang terhiasi dengannya, betapa besar husnu-zhannya kepada manusia, dan betapa besar ia sanggup menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan hina tak berguna.<br />
<br />
Saya memohon kepada Allah Ta’ala agar apa yang kita dengarkan ini dijadikan bermanfaat bagi kita. Menjadikan kita orang-orang yang mendapat petunjuk. Dan dijadikanNya sebagai orang-orang yang selalu jauh dari keburukan diri kita.<br />
<br />
Semoga shalawat serta salam senantiasa tercurahkan atas junjungan kita Rasulullah Muhammad shalallahu alaihi wasallam. Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam. Selesai.<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://3.bp.blogspot.com/_kh_8PbxKh8Q/TVDV6k06z5I/AAAAAAAAAN4/Po21lvkmMIY/s1600/sdvfdv.jpg" imageanchor="1" style="margin-left:1em; margin-right:1em"><img border="0" height="66" width="400" src="http://3.bp.blogspot.com/_kh_8PbxKh8Q/TVDV6k06z5I/AAAAAAAAAN4/Po21lvkmMIY/s400/sdvfdv.jpg" /></a></div>sweetboyhttp://www.blogger.com/profile/01727959537351178770noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5997723159742571779.post-46222629645788894032011-02-07T20:32:00.000-08:002011-02-07T20:33:01.984-08:00AKHLAK ORANG YANG BERJIWA BESAR (BAG. I)Pembaca budiman, disebabkan akhlak dan perangai terpuji begitu tinggi kedudukannya di mata Allah Ta’ala dan umat secara umum, terlebih bagi mereka yang mengusung misi dakwah Ahlu Sunnah wal Jama’ah, maka kami tergerak mengalih-bahasakan sebuah muhadharah (ceramah) ilmiyah yang sangat bermanfaat, diketengahkan oleh salah seorang ulama tafsir terpandang di kota Dammam Fadhilatus Syaikh Dr. Khalid bin Utsman as-Sabt –hafidzahullah-, yang berjudul “Akhlaq al-Kibar”.<br />
Oleh: Fadhilatus Syaikh Dr. Khalid bin Utsman as-Sabt –hafidzahullah-<br />
<br />
Alih Bahasa: Team al-Inshof<br />
<br />
berikut ringkasan yang saa ringkas dari http://atik085641095564.wordpress.com/2010/07/09/akhlak-orang-yang-berjiwa-besar-bag-i/<br />
<br />
Maksud akhlaqul kibar di sini adalah orang yang berjiwa besar, bukan yang berjiwa kerdil dimana senang jika dipuji dan marah bila dicela. Memutuskan hubungan dengan orang hanya karena tidak senang, tersinggung, atau kerena jengkel dan marah. Atau, menjalin silaturahmi atas landasan senang dengan orang-orang tertentu dan memutuskan hubungan silatuhrahmi atas dasar karena tidak senang atau karena sebab-sebab lainnya. Orang yang berakhlak kibar adalah orang yang tidak memusuhi hanya karena orang lain itu melontarkan kritik atau mengejek dirinya.<br />
<br />
Sang pemilik akhlak kibar, bukan pula berarti orang yang memiliki jabatan-jabatan tinggi. Dalam bahasa Arab, “kibar“, bisa berarti tua dan bisa berarti tinggi jabatannya. Jadi orang yang berjiwa besar adalah orang yang menyikapi sesuatu untuk satu kepentingan besar, kemaslahatan Islam dan kaum muslimin, serta bukan atas dasar kepentingan pribadi. Orang-orang seperti inilah yang lebih pantas kita sebut dan sebarkan kisah heroik mereka, agar menjadi pelajaran bagi kita.<br />
<br />
Kita sangat butuh materi penyegar seperti ini, lantaran cakupan persoalan yang begitu penting. Sebab kita saksikan berapa banyak khitbah (proses melamar seorang wanita) dibatalkan, berapa banyak jalinan cinta berubah menjadi permusuhan, dan berapa banyak hubungan kerjasama dalam urusan duniawi maupun ukhrawi (dakwah) bubar, hanya karena sikap orang-orang yang berjiwa kerdil. Tidak rela bila ada atau muncul kekurangan orang lain terhadap dirinya. Dan apabila hal itu terjadi, maka hubungan itu otomatis putus, tidak lagi mengingat kebaikan-kebaikan yang pernah diperoleh, tidak mengingat lagi kebersamaan yang pernah dijalin apik pada waktu silam. Semua itu menjelma menjadi permusuhan dan kebencian, lantaran kesalahan dan kekurangan dari orang lain terhadap dirinya. Lalu dia menjadi sosok yang mudah membenci, mencela, dan berbuat hal-hal kurang (terpuji) pada dirinya. Seluruh perbuatan diukur melalui timbangan hawa nafsu. Bila menyenangkan dirinya ia senangi namun bila menjengkelkan, dia benci. Sikap seperti ini lahir karena ada orang-orang yang lebih memilih asal penciptaannya, yaitu tanah. Sebab manusia itu diciptakan dari dua unsur yaitu tanah dan ruh. Dan kita tahu, bahwa tanah berada di bawah. Orang-orang yang berjiwa kerdil mengukur segala sesuatu melalui hal-hal hina, dan itu kembali ke asal penciptaanya tadi yaitu tanah. Maka nampaklah dari dirinya akhlak yang rendah dan hina pula. Beda halnya dengan orang-orang mulia. Dimana mereka mengukur sesuatu melalui hal-hal yang tinggi dan mulia. Dan itulah sifat kedua dari penciptaan manusia, yaitu ruh.<br />
<br />
Orang yang berjiwa besar adalah mereka yang berusaha mengurai simpul-simpul yang melingkupi jiwanya. Tidak memandang seluruh (perkaranya) dengan takaran hawa nafsunya. Dan tatkala dia sanggup melerai simpul-simpul tersebut, maka dia masuk dalam tingkatan lebih tinggi, yaitu orang yang bisa melepaskan diri dari semua keinginan hawa nafsunya. Dia bisa berhubungan dengan orang, siap menerima kesalahan, kekurangan, dan kelemahan yang muncul dari diri orang lain. Orang yang ingin merengkuh derajat tinggi, tidak mungkin sanggup merengkuhnya tanpa modal jiwa yang tinggi dan akhlak seperti telah disinggung.<br />
<br />
Ayyuhal Ihkwan, kala berbicara tentang tema ini, kita tidak mengarahkan pada orang lain. Sebab sasaran utama adalah diri kita pribadi dan kemudian para hadirin sekalian. Jangan sampai kita berpikir bahwa “tema ini untuk si fulan yang akhlaknya masih kurang, atau si fulan yang akhlaknya tidak seperti ini”. Jangan kita bayangkan seperti itu, yakni tema ini ditujukan pada sekelompok orang tertentu. Yang perlu dilakukan adalah menghadirkan diri dan hati kita untuk mencerna dan menerima materi ini. Jadilah orang yang berfikir. Hadir dengan hati dan kemudian mendulang manfaat dan hikmah darinya. Perbaharui hidup anda, tingkatkan akhlak anda, kemudian berubahlah. Lalu kembali dengan wajah berubah, suasana dan akhlak yang berbeda pula.<br />
<br />
Materi ini diarahkan pada seluruh kalangan baik ulama, du’at, thulabul ilmi dan mereka yang memangku jabatan, baik jabatan tinggi atau-pun rendah. Juga ditujukan kepada para bapak, ibu, para pendidik dan pengajar serta orang awam pada umumnya. Demikian pula ditujukan kepada semua yang ingin mencari kesempurnaan. Mungkin diantara kita tidak rela disifati dengan sifat kerdil, hidup dalam cara berfikir sempit, hati sempit, dan jiwa yang sempit pula. Semua orang sepakat, bahwa materi kajian ini adalah sesuatu yang baik, terpuji dan mulia dimana semua jiwa pasti merindukannya.<br />
<br />
Seandainya dakwah Rasul -shallallahu alaihi wasallam-, hanya bertujuan pada (perbaikan) akhlak saja, tentu orang-orang akan menyambut dakwahnya. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah, “Kalaulah dakwah ini hanya tertuju pada (perbaikan) akhlak, sebagaimana jika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berdakwah hanya pada masalah (perbaikan) akhlak tanpa membahas kemusyrikan dan tauhid, tentu orang-orang pasti akan mengikuti dakwahnya”.<br />
<br />
Dalam tataran teori semua sepakat, namun pada prakteknya akan nampak sendiri hakikat sebenarnya. Semua orang dapat dengan fasih berbicara tentang akhlak yang baik, tapi dalam kenyataannya akan terlihat aslinya. Yang penting bukan orang menganggap baik, kemudian senang mendengarkan akhlak yang baik, tapi yang paling utama adalah perubahan, dan ada akhlak yang berubah. Orang yang halus lembut bukan orang yang lembut saat senang saja, tapi juga pada saat marah. Yang namanya akhlak, bukan hanya dapat tersenyum kepada saudara kita saat bersama teman-teman, bersama orang-orang yang duduk di majlis, tetapi akhlak adalah yang dapat kita bawa dalam setiap keadaan dan pada setiap tempat.<br />
<br />
Ayyuhal Ikhwan, Allah Ta’ala menyifati Dzat-Nya dengan sifat al ‘afuu (Yang Maha Mengampuni). Sifat ini adalah salah satu sifat yang sangat agung dan mulia. Maksud sifat Allah al ‘afuu adalah Allah membiarkan hamba-Nya, mengampuni mereka yang berbuat kesalahan dan tidak menimpakan adzab atasnya secara spontan kala mereka durhaka pada-Nya. Kita memohon pada Allah agar menaungi kita dengan segala ampunan dan kemurahan-Nya.<br />
<br />
Ayyuhal Ikhwan, ketika mendengar beberapa sifat ini, mungkin yang manjadi pertanyaan dalam diri adalah apakah kita memiliki sifat-sifat tersebut? Atau kita termasuk orang yang ketika melihat hal ini ternyata akhlak tersebut tidak banyak melekat dalam diri hingga ketika berurusan dengan orang lain, kita sampai bertikai dan membuat hitung-hitungan dengan mereka.<br />
<br />
Banyak diantara kita yang rancu membedakan antara membela diri sendiri (al-intishar ‘ala an-nafs) dan membela agama. Kadang balas dendam kepada orang lain dikamuflasekan atas nama agama, aqidah dan keimanan. Namun pada hakikatnya dia hanya membela diri sendiri, dan untuk memuaskan hawa nafsunya, lalu merasa membela Allah Ta’ala. Ada juga yang kemudian mengatasnamakan ‘izzah (kemuliaan jiwa). Mungkin dia mau menunjukkan bahwa orang mukmin adalah orang yang memiliki ‘izzah, karena ‘izzah itu milik Allah Ta’ala, rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman. Namun, dalam prakteknya, kadang dia membalas dendam dan tidak terima dengan semua ejekan atau hal-hal yang menjatuhkan harga dirinya, yang sebenarnya bukan atas nama kemuliaan sebagai seorang mukmin tapi karena dia tidak rela namanya disinggung kemudian diejek oleh orang lain.<br />
<br />
Banyak orang rancu atau mencampuradukkan antara sikap mempertahankan diri sendiri serta hawa nafsunya dan mempertahankan agama, juga kemuliaan sebagai seorang mukmin atau kemuliaan pribadinya. Hingga apabila marah dan membalas, dia menyangka hal ini dalam rangka mempertahankan jati diri-nya sebagai seorang mukmin. Padahal sebenarnya dia mempertahankan hawa nafsunya, lalu mengais-ngais pembenaran melalui firman Allah Azza Wa Jalla,<br />
<br />
وَالَّذِينَ إِذَا أَصَابَهُمُ الْبَغْيُ هُمْ يَنتَصِرُونَ<br />
<br />
“Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan zalim mereka membela diri.” (Qs: As-Syura : 39).<br />
<br />
Padahal sudah ma’lum, bahwa ayat ini dan ayat-ayat lain yang semisal, menjelaskan tentang keutamaan sikap ‘afuu, sikap pemaaf kepada orang yang menyakiti dan merendahkan diri kita. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,<br />
<br />
وَلا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ<br />
<br />
“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka orang-orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang amat setia“.(Qs: Fushilat : 34).<br />
<br />
Dan tiada yang sangup atau diberikan sifat tersebut kecuali orang-orang yang sabar. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,<br />
<br />
وَمَا يُلَقَّاهَا إِلا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ<br />
<br />
“Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar, dan tidak dianugerahkan kecuali kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar”. (Qs: Fushilat : 35).<br />
<br />
Akan tetapi, datang-lah setan mendorongnya untuk membela dirinya dan beranggapan jika tidak dilakukan pembelaan ini, ia akan dianggap lemah, manusia akan mencelanya dengan mengatakan dirinya “lemah” atau “kurang”. Padahal Allah Jalla Wa ‘Ala berfirman,<br />
<br />
وَإِمَّا يَنزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ<br />
<br />
“Dan jika syaitan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.( Qs: Fushilat : 36).<br />
<br />
Berapa banyak orang-orang lupa, bahwa Allah Ta’ala menyifati diri-Nya dengan sifat ini serta memberi pujian bagi orang-orang yang mau melakukannya.<br />
<br />
Ayyuhal Ikhwan, banyak sekali contoh dari sikap salufus shalih yang patut kita teladani berkaitan dengan sifat ‘afuu. Di sini kami tidak banyak gunakan sebagai contoh dari Rasulullah shallallahu alaihi wasalam, lantaran beberapa sebab. Pertama, karena akhlak Nabi shallallahu alaihi wasallam adalah akhlak Al-Quran, sebagai mana disampaikan Ummul Mu’minin A’isyah radhiallahu anha, “Sungguh akhlak beliau (Nabi shallallahu alaihi wasallam) adalah al-Quran.” Karena akhlak beliau adalah Al-Quran, maka jelas kita meyakini bahwa dari sisi akhlak beliau-lah yang paling mulia, paling lapang dada dan berjiwa besar. Kedua, agar orang tidak beralasan, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dapat bersifat lapang dada, berjiwa besar dan mudah memaafkan karena beliau adalah rasul, maksum dan telah disucikan oleh Allah Ta’ala. Beliau telah disucikan dari bagian setan, dibersihkan dadanya dari bagian-bagian setan pada masa kecil dan saat isra’ dan mi’raj. Dimana hal ini kemudian dijadikan sebagai alasan untuk membenarkan perbuatan-perbuatan salahnya. Olehnya, kami mengangkat contoh dari kehidupan para salafus shalih agar orang tidak beralasan dengan alasan-alasan tersebut di atas. Dan agar kita dapat menakar seberapa jauh akhlak kita dibanding akhlak mereka. Yang paling penting adalah, kita mau merubah akhlak dan tidak perlu melihat contohnya dari siapapun. Artinya, kendati contohnya bukan dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, yang utama di sini adalah upaya untuk memperbaiki akhlak kita.<br />
<br />
Ayyuhal ikhwan, cobalah uji bagaimana sikap kita terhadap orang yang berbeda dengan kita, yakni berbeda dalam aqidah dan manhaj. Apakah sikap setiap kita seperti dicontohkan para salafus shalih atau tidak? Sekarang kita lihat orang yang tidak memiliki keimanan sama sekali, maka sebagimana keyakinan Ahlu Sunnah wal Jamaah kita tidak boleh memberikan wala’ sedikitpun kepada orang tersebut.<br />
<br />
لا تَجِدُ قَوْماً يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ<br />
<br />
“Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir, saling berkasih sayang dengan orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya.” (Al Mujaadilah:22).<br />
<br />
Berbeda dengan orang yang pada dirinya masih terdapat amal shalih dan amal sayyi’ (amal yang tidak baik), terkumpul padanya syubhat, bid’ah, kesesatan atau syahwat, serta kebaikan dan maksiat, maka wala’ dan baro’ kita terbagi, tidak diberi al-wala’ seratus persen, dan tidak pula diarahkan padanya al-baro’ seratus persen. Sebab aqidah Ahlu Sunnah wal Jama’ah dalam masalah ini jelas, bahwa kita mencintai seseorang sesuai kadar keimanan dan ittiba’-nya pada sunnah, dan kita benci pada orang yang sama sesuai kadar penyimpangannya dari syariat ini.<br />
<br />
Inilah yang kadang menjadi rancu pada sebagian orang ketika bermuamalah dengan orang lain yang berbeda. Seharusnya diberikan sikap yang menjadi ciri aqidah Ahlu Sunnah wal Jama’ah terhadap orang yang dalam dirinya ada keimanan dan maksiat, keimanan dan bid’ah, keimanan dan syubhat, maka wala’ kita tidak diberikan seratus persen dan tidak juga ditinggalkan keseluruhannya. Yang diarahkan padanya wala’ secara sempurna hanyanya kepada orang yang beriman dengan sempurna. Adapun terhadap orang yang beriman namun masih tercampur amal shaleh dan amal buruk, masih ada dalam dirinya bid’ah maka wala’ kita tidak diberikan seratus persen. Kita mencintai seseorang sesuai kadar keimanan dan ittiba’-nya terhadap sunnah, dan membenci sesuai kadar penyimpangannya dari sunnah. Sayangnya, inilah yang digunakan sebagai alasan oleh orang untuk membela dirinya dengan mengatasnamakan dien, agama, dan sunnah.<br />
<br />
Bercerminlah pada diri Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah, Imam Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Beliau dirantai dan disiksa dari satu penjara ke penjara lain. Didera pada siang hari di bulan Ramadhan dalam keadaan berpuasa. Dijebloskan dalam penjara sementara darah segar masih menetes dari tubuhnya. Semua ini terjadi saat fitnah khalqil Quran (para ahlu bid’ah dan penguasa memaksa Imam Ahmad mengatakan “al-Quran itu makhluk”, padahal al-Quran bukan makhluk akan tetapi Firman Allah). Kita perhatikan, ketika beliau marah, marahnya bukan untuk membalas. Beliau marah bukan untuk hawa nafsunya, akan tetapi marahnya karena Allah Ta’ala. Makanya tidak berat beliau mengatakan ”Semua yang pernah membicarakan-ku maka mereka semua halal dan aku maafkan. Dan aku-pun memaafkan Abu Ishaq (Raja Mu’tashim yang telah memenjarakan dan menyiksanya dengan siksaan berat).” Dan kemudian beliau mengatakan “Aku maafkan Abu Ishaq, sebab aku melihat firman Allah Ta’ala:<br />
<br />
وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلا تُحِبُّونَ أَن يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ<br />
<br />
“Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu?” (QS. An Nuur: 22).<br />
<br />
Tidakkah kita melihat, Allah Ta’ala maha pengampun lagi maha pemurah. Jadi, ini menunjukkan bagaimana Allah Ta’ala memerintahkan hamba-hamba-Nya memberi maaf kepada orang lain. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memerintahkan Abu Bakar radhiallahu anhu untuk memberi maaf sebagaimana dalam kisah tuduhan palsu pada diri ‘Aisyah radhiallahu anha, yang oleh kaum munafiqin difitnah telah melakukan perbuatan zina dengan salah seorang shahabat.<br />
<br />
Apa manfaatnya bagi diri kita jika seandainya Allah Ta’ala mengadzab seseorang hanya untuk kepentingan kita? Atau untuk memuaskan hawa nafsu dan membalas dendam kita?<br />
<br />
Imam Ahmad rahimahullah telah disiksa dan diperlakukan secara zalim. Namun beliau tidak pernah membuka lagi catatan-catatan masa lalu saat ketika disiksa, tidak ingin mengingat orang-orang yang dahulu pernah terlibat dalam penyiksaan beliau, serta tidak pernah mengungkit-ungkit lagi bahwa “si fulan yang dulu mengejek saya, si fulan yang dulu begini dan begitu”. Beliau tidak membuat perhitungan dengan orang-orang tersebut, bahkan menghamparkan pintu maaf yang seluas-luasnya bagi semua orang-orang tersebut.<br />
<br />
Contoh lain yang sangat mulia adalah perkara Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah yang divonis kafir dan difatwakan bahwa darahnya halal oleh para ulama di zamannya. Beliau dicampakkan dari satu penjara ke penjara lain kemudian disiksa dari waktu ke waktu. Namun setelah beliau bebas, beberapa ahlu bid’ah dan orang-orang yang ingin membela beliau datang memohon maaf pada beliau.<br />
<br />
Salah satu musuh utama beliau adalah seorang ulama Madzhab Maliki yang bernama Ibnu Makhluf. Ia wafat pada masa Ibnu Taimiyah. Salah satu murid Ibnu Taimiyah, yakni Ibnul Qayyim al-Jauziyyah mengetahui prihal kematian Ibnu Makhluf, lalu bersegera menemui Ibnu Taimiyah dan menyampaikan kabar gembira ini. Akan tetapi, lihatlah reaksi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah kala menyaksikan muridnya memberitahukan kematian musuh besarnya, kita lihat apakah beliau sujud syukur? Apakah beliau mengatakan ‘Alhamdulillah‘ maha suci Allah yang telah menyelamatkan kaum muslimin dari kejahatannya’? Tidak, tidak seperti yang dilakukan oleh orang-orang sekarang. Syaikhul Islam terhadap musuh besarnya, Ibnu Makhluf saat meninggal beliau tidak sujud syukur, tidak pula mengucapkan kalimat-kalimat yang menggambarkan kebenciannya. Tidak seperti yang dilakukan oleh sebagian orang sekarang. Begitu bencinya kepada seseorang sehingga ketika mendengar kabar kematian orang yang dibencinya, ia mengeluarkan ungkapan-ungkapan yang tidak layak diucapkan oleh seorang muslim.<br />
<br />
Bahkan Syaikhul Islam menghardik Ibnul Qoyyim kemudian mengingkari perbuatannya karena menyampaikan kegembiraan atas kematian musuh besar beliau, lantas beliau mengucapkan kalimat istirja’, “inna lillaahi wa inna ilaihi raaji’un”, dan bersegera mengunjungi rumah Ibnu Makhluf, berta’ziah dan kemudian mengatakan kepada keluarga, anak dan istri Ibnu Makhluf, “Sungguh saat ini status saya seperti bapak bagi kalian. Tidak ada sesuatu pun yang kalian butuhkan melainkan aku akan berusaha memenuhi kebutuhan kalian.” Akhirnya mereka, keluarga Ibnu Makhluf, senang dan menghadiahkan doa bagi Syaikhul Islam.<br />
<br />
Perhatikan keadaan musuh besar beliau. Dan kita tahu, kalau seorang itu musuh besar Ibnu Taimiyah, pasti orang ini aqidah-nya bermasalah. Namun ketika meningggal dunia, Syaikhul Islam mendatangi rumahnya dan menyampaikan bahwa mulai hari ini semua kebutuhan keluarganya menjadi tanggungan Syaikhul Islam. Pertanyaannya, siapa diantara kita yang bisa berbuat seperti ini?! Siapa diantara kita yang ketika musuhnya meninggal lalu mendatangi keluarganya, mendatangi anak-anaknya kemudian berta’ziah kepada mereka? Siapa diantara kita yang bisa sampai mengatakan, bahwa tidak ada keperluan yang kalian butuhkan melainkan aku akan penuhi kebutuhan tersebut? Siapa diantara kita yang bisa berbuat seperti itu?! Hanya orang-orang yang berjiwa besar. Bahkan kalau kita mau jujur, tidak hanya itu, bahkan kepada teman dekat pun kita belum bisa berbuat seperti itu apalagi terhadap musuh.<br />
<br />
Sekarang kalau kita mau jujur pula, jangankan musuh kepada teman kita saja tidak seperti itu. Ini bukti bahwa ukhuwah kita buruk sekali. Kalau teman kita ada yang terkena musibah seperti itu, diantara kita siapa yang dapat berlaku dan berbuat seperti itu? Ada teman yang keluarganya meninggal, maka saksikanlah, adakah diantara kita yang datang kepada keluarganya dan mengatakan “saya akan memenuhi kebutuhan kalian”.<br />
<br />
Yah, Syaikhul Islam rahimahullah mendatangi orang yang telah menfatwakan dirinya telah kafir. Ini bukti bahwa orang itu sangat amat mememusuhi Syaikhul Islam. Jika kita katakan dia ahli bid’ah, tentu sifat-sifat ini ada pada diri Ibnu Makhluf. Akan tetapi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah bersikap lebih besar dari itu, dan ini sekali lagi menunjukkan bahwa beliau bukan seorang yang berjiwa kerdil.<br />
<br />
Ayyuhal Ikhwan, seandainya perangai kita seperti akhlak ini, tentu kita dapat lebih banyak meraih hati orang. Tetapi kadang kita memperlakukan mereka (orang yang berbeda dengan kita atau orang yang menyakiti kita) seperti dalam ayat-ayat yang Allah tegaskan, bahwa ia ditujukan kepada kaum munafiqin. Yakni, tidak boleh istigfar (memohonkan ampunan) untuk mereka, tidak boleh menyolatkan mereka, tidak boleh (ikut) menguburkan mereka dan selainnya. Celakanya, hukum-hukum ini kita aplikasikan kepada orang yang kami sebutkan (dan masih berstatus sebagai seorang mukmin).<br />
<br />
Yah, kadang kita bermuamalah pada sebagian kaum muslimin dengan model muamalah seperti disebutkan dalam al-Qur’an, yakni muamalah dengan orang munafiqin. Kita menjadi orang-orang yang asyida’ alal Mu’minin, [orang yang sangat keras kepada orang mukmin]. Kita menjadi orang-orang yang keras kepada ahlu iman padahal Allah Ta’ala menyifati orang-orang mukmin dan para shahabat yang bersana Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagai orang-orang yang Asyida’ ‘alal kuffar ruhamaa’u bainahum [keras terhadap kaum kuffar dan saling berkasih sayang di antara mereka (kaum mukminin)]. Sayangnya, kita kemudian menjadi orang yang terbalik. Kepada orang-orang yang beriman kasarnya luar biasa, namun kepada orang-orang kafir tidak ada sikap keras (sebagai bentuk ‘izzah).<br />
<br />
Perhatikahn, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang telah mencapai kesempurnaan dan kemuliaan akhlak masih saja diperintahkan oleh Allah Ta’ala bersikap lemah lembut, sebagaimana dalam firman-Nya:<br />
<br />
وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظً الْقَلْبِ لَا نْفَضُوْا مِنْ حَوْلِكَ<br />
<br />
“Seandainya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu“<br />
<br />
Ayat ini diturunkan kepada nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam sebagai pelajaran bagi beliau dan selainnya. Jika saja Rasul berbuat kasar tentu orang akan lari darinya, maka bagaimana dengan yang bukan rasul. Padahal Rasul mendapat banyak dukungan untuk kemudian diterima dakwahnya, beliau mendapat wahyu, ma’sum, memiliki akhlak yang mulia, dan sebagiainya. Dan disamping itu semua, tetap saja masih diperintahkan bersikap lemah lembut, hingga Allah Ta’ala tegaskan:<br />
<br />
وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظً الْقَلْبِ لَا نْفَضُوْا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَ اسْتَغْفِرْ الَهُمْ وَ شَاوِرُهُمْ فِي الْآَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى الله<br />
<br />
“Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu, karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu (urusan peperangan dan hal duniawiah yang lain). Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekat, maka bertawakallah kepada Allah ( Qs: Al Imran : 159).<br />
<br />
Sekarang mari kita tengok contoh ketiga, yakni dari diri Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, saat bermuamalah dengan Abdullah bin Ubay bin Salul. Abdullah bin Ubay terkenal sebagai tokoh kaum munafiqin di masa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Semua orang tahu, bahwa Abdullah bin Ubay ini adalah ra’sul munafiqin, imamnya orang-orang munafiq, sebagaimana ditunjukkan oleh sikapnya terhadap Islam. Saat perang Muraysi’ pecah, dia mengatakan, “Perumpamaan kita dengan Muhammad dan para shahabatnya adalah seperti kata pepatah, “beri makan terus anjingmu, nanti kalau sudah besar ia akan memangsamu.” Artinya, ketika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan para shabatnya kita beri kesempatan, mereka akan menindas kita. Ini kata Abdullah bin Ubay dan orang-orang munafiq yang bersamanya. Ia juga mengatakan “jangan kalian infakkan apa yang ada ditangan kalian kepada orang-orang yang bersama Muhammad supaya mereka menjauh dari Muhammmad.” Demikianlah ucapan Abdullah bin Ubay, dan ini hanya sebagian dari sikap mereka (yang menyakitkan) terhadap Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan para shahabatnya, agar jangan diberikan apapun dan agar mereka tidak betah dan memutuskan keluar dari Madinah.<br />
<br />
Coba kita perhatikan tatkala Abdullah bin Ubay meninggal, apa yang dilakukan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam? Beliau mendatangi kuburnya. Memberikan pakaian beliau kepada putranya, dan kemudian memberi kain untuk dijadikan kafan untuk Abdullah bin Ubay. Padahal orang ini ra’sul munafiqin, imamnya orang-orang munafiq, jelas-jelas orang munafiq, bahkan ditegaskan oleh nash, namun Rasulullah tetap datang ke kuburnya. Kemudian kita lihat ia bukanlah hanya sekedar orang munafiq, bahkan merupakan ra’sul munafiqin, tetapi masih diberikan kain kafan, didatangi kuburnya dan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memintakan ampun kepada Allah Ta’ala. Coba bayangkan, beliau mendatangi kuburnya dan memintakan ampun kepada Allah untuk imamnya orang-orang munafiq, hingga turun firman Allah yang melarang Rasul demikian.(memintakan ampunan). Disini dapat kita saksikan ketinggian jiwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk memintakan ampun kepada orang yang selama ini menyakiti beliau. Kalau sendainya itu terjadi pada kita, mungkin kita akan mengatakan “mampus, biar sekalian mati!!”, akan tetapi, beliau memohonkan ampunan, baru setelah itu turun larangan memintakan ampun untuk orang-orang munafiq dan orang kafir,<br />
<br />
إِنْ تَسْتَغْفِرُ لَهُمْ سَبْعِيْنَ مَرَّةً فَلَنْ يَغْفِرَ اللهُ لَهُمْ<br />
<br />
“Kendatipun kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, namun Allah sekali-kali tidak akan merberi ampun kepada mereka (Qs: al-Taubah : 80).<br />
<br />
Berkenaan dengan ayat ini, beliau bersabda: “Seandainya saya tahu, jika beristighfar lebih dari tujuh puluh kali akan diampuni, saya akan melakukan lebih dari tujuh puluh kali” atau sebagaimana sabda beliau shallallahu alaihi wasallam. Ini kepada imamnya orang-orang munafiq, seandainya beliau memintakan ampun lebih dari tujuh puluh kali akan diampuni, niscaya beliau akan melakukannya. Lihat akhlak Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam terhadap imamnya orang-orang munafiq. Kepada orang yang sudah lama sekali mengganggu dan menyusahkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam serta orang-orang yang bersama beliau. Orang inilah yang telah membuat tuduhan palsu kepada ‘Aisyah radhiallahu anha, dia juga yang mencemarkan kehormatan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.<br />
<br />
Sekali lagi, bercerminlah pada sosok mulia seperti ini, beliau masih mau mendatangi kuburnya, lalu memberikan kain kafan seraya memintakan ampun kepada Allah Ta’ala. Siapa diantara kita yang bisa berjiwa besar seperti ini?<br />
<br />
Jangan difahami bahwa kita ingin mengaburkan aqidah wala’ wal bara’ seperti yang telah kita sebutkan di atas. Harus dipahami aqidah wala’ wal bara’ mana yang dinamakan aqidah wala’ wal bara’ itu, bagaimana sikap Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan para Salafus Shalih berkaitan dengan orang-orang yang berbeda atau menyimpang. Harus dibedakan antara wala’ dan bara’ dengan hawa nafsu. Al wala’ wal bara’ jalas ada dalam hati kita. Sikap terhadap orang lain, kemudian hawa nafsu kita juga sesuatu yang lain, adalah dua hal yang harus dibedakan.<br />
<br />
Seorang da’i tidak pantas memiliki sifat-sifat seperti ini (intishar ala an-nafsi dan keras terhadap sesama muslim). Kalau da’i seperti ini, kerusakan akan lebih besar daripada manfaat. Dimana ia mendoakan kejelekan bagi si fulan pada sepertiga malam terakhir, kemudian melaknat fulan, mencaci maki fulan dan menyatakan bahwa Allah Ta’ala tidak mungkin memberikan ampun kepadanya. Orang semacam ini lebih pantas memperbaiki dirinya sendiri dahulu, baru kemudian memperbaiki orang lain. Karena bisa jadi, mafsadatnya jauh lebih besar daripada maslahatnya bagi orang lain (baca: ummat). Sebab dia sendiri belum berhasil memperbaiki diri dan jiwanya, hingga ketika dia memperbaiki orang lain tentu akan lebih berat. Karena kenyataannya, yang terjadi hanya bermasalah dengan si fulan, kemudian bermusuhan dan bertikai dengan orang lain dan seterusnya.<br />
<br />
Saat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sakit menjelang wafatnya, di dalam penjara dan bukan di rumah, beliau dicegat melakukan seluruh aktivitas hingga tidak diberikan pena untuk menulis. Walau demikian, beliau tetap menulis, memberi fatwa kepada kaum muslimin, hanya dengan mengunakan arang hingga akhirnya beliau dilarang menulis sama sekali. Segala aktivitasnya diawasi oleh Ahlu Bid’ah lalu disampaikan kepada penguasa.<br />
<br />
Hingga suatu ketika sebagian ahlu bid’ah ini mendatangi Syaikhul Islam di dalam penjara, lalu memohon maaf kepada Syaikhul Islam, lantaran menjadi sebab Syaikul Islam dijebloskan dalam penjara. Maka lihatlah, ikhwah fillah, bagaimana jiwa besar beliau. Tenang beliau mengatakan: “Aku telah maafkan Anda, Aku juga sudah memaafkan Raja Nashir yang memenjarakan saya”. Beliau memaafkan orang yang memasukkan beliau ke penjara, serta semua orang yang menjadi sebab beliau masuk penjara. Semoga bermanfaat. Bersambung<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://1.bp.blogspot.com/_kh_8PbxKh8Q/TVDHR2hrwlI/AAAAAAAAANw/RMSle1HF55Q/s1600/150197_100563626681624_100001839600701_2525_4012110_n.jpg" imageanchor="1" style="margin-left:1em; margin-right:1em"><img border="0" height="348" width="275" src="http://1.bp.blogspot.com/_kh_8PbxKh8Q/TVDHR2hrwlI/AAAAAAAAANw/RMSle1HF55Q/s400/150197_100563626681624_100001839600701_2525_4012110_n.jpg" /></a></div>sweetboyhttp://www.blogger.com/profile/01727959537351178770noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5997723159742571779.post-77126776944326112132011-02-07T17:23:00.000-08:002011-02-07T17:23:46.845-08:00Arti Cinta, Rindu dan Cemburu dalam IslamArti Cinta, Rindu dan Cemburu dalam Islam<br />
29Jun2009 Filed under: Artikel Pernikahan, Meminang (Khitbah) Author: Raisa Hakim<br />
<br />
Banyak orang berbicara tentang masalah ini tapi tidak sesuai dengan yang sebenarnya. Atau tidak menjelaskan batasan-batasan dan maknanya secara syar’i. Dan kapan seseorang itu keluar dari batasan-batasan tadi. Dan seakan-akan yang menghalangi untuk membahas masalah ini adalah salahnya pemahaman bahwa pembahasan masalah ini berkaitan dengan akhlaq yang rendah dan berkaitan dengan perzinahan, perkataan yang keji. Dan hal ini adalah salah. Tiga perkara ini adalah sesuatu yang berkaitan dengan manusia yang memotivasi untuk menjaga dan mendorong kehormatan dan kemuliaannya. Aku memandang pembicaraan ini yang terpenting adalah batasannya, penyimpangannya, kebaikannya, dan kejelekannya. Tiga kalimat ini ada dalam setiap hati manusia, dan mereka memberi makna dari tiga hal ini sesuai dengan apa yang mereka maknai.<br />
<br />
Cinta (Al-Hubb)<br />
<br />
Cinta yaitu Al-Widaad yakni kecenderungan hati pada yang dicintai, dan itu termasuk amalan hati, bukan amalan anggota badan/dhahir. Pernikahan itu tidak akan bahagia dan berfaedah kecuali jika ada cinta dan kasih sayang diantara suami-isteri. Dan kuncinya kecintaan adalah pandangan. Oleh karena itu, Rasulullah Sawmenganjurkan pada orang yang meminang untuk melihat pada yang dipinang agar sampai pada kata sepakat dan cinta, seperti telah kami jelaskan dalam bab Kedua.<br />
<br />
Sungguh telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Nasa’i dari Mughirah bin Su’bah r.a berkata : “Aku telah meminang seorang wanita”, lalu Rasulullah Sawbertanya kepadaku : “Apakah kamu telah melihatnya ?” Aku berkata : “Belum”, maka beliau bersabda : “Maka lihatlah dia, karena sesungguhnya hal itu pada akhirnya akan lebih menambah kecocokan dan kasih sayang antara kalian berdua”<br />
<br />
Sesungguhnya kami tahu bahwa kebanyakan dari orang-orang, lebih-lebih pemuda dan pemudi, mereka takut membicarakan masalah “cinta”, bahkan umumnya mereka mengira pembahasan cinta adalah perkara-perkara yang haram, karena itu mereka merasa menghadapi cinta itu dengan keyakinan dosa dan mereka mengira diri mereka bermaksiat, bahkan salah seorang diantara mereka memandang, bila hatinya condong pada seseorang berarti dia telah berbuat dosa.<br />
<br />
Kenyataannya, bahwa di sini banyak sekali kerancuan-kerancuan dalam pemahaman mereka tentang “cinta” dan apa-apa yang tumbuh dari cinta itu, dari hubungan antara laki-laki dan perempuan. Dimana mereka beranggapan bahwa cinta itu suatu maksiat, karena sesungguhnya dia memahami cinta itu dari apa-apa yang dia lihat dari lelaki-lelaki rusak dan perempuan-perempuan rusak yang diantara mereka menegakkan hubungan yang tidak disyariatkan. Mereka saling duduk, bermalam, saling bercanda, saling menari, dan minum-minum, bahkan sampai mereka berzina di bawah semboyan cinta. Mereka mengira bahwa ‘cinta’ tidak ada lain kecuali yang demikian itu. Padahal sebenarnya tidak begitu, tetapi justru sebaliknya.<br />
<br />
Sesungguhnya kecenderungan seorang lelaki pada wanita dan kecenderungan wanita pada lelaki itu merupakan syahwat dari syahwat-syahwat yang telah Allah hiaskan pada manusia dalam masalah cinta. Artinya Allah menjadikan di dalam syahwat apa-apa yang menyebabkan hati laki-laki itu cenderung pada wanita, sebagaimana firman Allah Swt :<br />
<br />
["Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu : wanita-wanita, anak-anak,..."] Ali-’Imran : 14<br />
<br />
Allah lah yang menghiasi bagi manusia untuk cinta pada syahwat ini, maka manusia mencintainya dengan cinta yang besar, dan sungguh telah tersebut dalam hadits bahwa Nabi Saw bersabda :<br />
<br />
["Diberi rasa cinta padaku dari dunia kalian : wanita dan wangi-wangian dan dijadikan penyejuk mataku dalam sholat"] HR Ahmad, Nasa’i, Hakim dan Baihaqi.<br />
<br />
Andaikan tidak ada rasa cinta lelaki pada wanita atau sebaliknya, maka tidak ada pernikahan, tidak ada keturunan dan tidak ada keluarga. Namun, Allah Swt tidaklah menjadikan lelaki cinta pada wanita atau sebaliknya supaya menumbuhkan diantara keduanya hubungan yang diharamkan, tetapi untuk menegakkan hukum-hukum yang disyari’atkan dalam bersuami isteri, sebagaimana tercantum dalam hadits Ibnu Majah, dari Abdullah bin Abbas r.a berkata : telah bersabda Rasulullah Saw:<br />
<br />
["Tidak terlihat dua orang yang saling mencintai, seperti pernikahan"]<br />
<br />
Dan agar orang-orang Islam menjauhi jalan-jalan yang rusak atau keji, maka Allah telah menyuruh yang pertama kali agar menundukan pandangan, karena ‘pandangan’ itu kuncinya hati, dan Allah telah haramkan semua sebab-sebab yang mengantarkan pada fitnah, dan kekejian, seperti berduaan dengan orang yang bukan mahramnya, bersenggolan, bersalaman, berciuman antara lelaki dan wanita, karena perkara ini dapat menyebabkan condongnya hati. Maka bila hati telah condong, dia akan sulit sekali menahan jiwa setelah itu, kecuali yang dirahmati Allah Swt.<br />
<br />
Bahwa Allah tidak akan menyiksa manusia dalam kecenderungan hatinya. Akan tetapi manusia akan disiksa dengan sebab jika kecenderungan itu diikuti dengan amalan-amalan yang diharamkan. Contohnya : apabila lelaki dan wanita saling pandang memandang atau berduaan atau duduk cerita panjang lebar, lalu cenderunglah hati keduanya dan satu sama lainnya saling mencinta, maka kecondongan ini tidak akan menyebabkan keduanya disiksanya, karena hal itu berkaitan dengan hati, sedang manusia tidak bisa untuk menguasai hatinya. Akan tetapi, keduanya diazab karena apa yang dia lakukan. Dan karena keduanya melakukan sebab-sebab yang menyampaikan pada ‘cinta’, seperti perkara yang telah kami sebutkan. Dan keduanya akan dimintai tajawab, dan akan disiksa juga dari setiap keharaman yang dia perbuat setelah itu.<br />
<br />
Adapun cinta yang murni yang dijaga kehormatannya, maka tidak ada dosa padanya, bahkan telah disebutkan olsebagian ulama seperti Imam Suyuthi, bahwa orang yang mencintai seseorang lalu menjaga kehormatan dirinya dan dia menyembunyikan cintanya maka dia diberi pahala, sebagaimana akan dijelaskan dalam ucapan kami dalam bab ‘Rindu’. Dan dalam keadaan yang mutlak, sesungguhnya yang paling selamat yaitu menjauhi semua sebab-sebab yang menjerumuskan hati dalam persekutuan cinta, dan mengantarkan pada bahaya-bahaya yang banyak, namun …..sangat sedikit mereka yang selamat.<br />
<br />
Rindu (Al-’Isyq)<br />
<br />
Rindu itu ialah cinta yang berlebihan, dan ada rindu yang disertai dengan menjaga diri dan ada juga yang diikuti dengan kerendahan. Maka rindu tersebut bukanlah hal yang tercela dan keji secara mutlak. Tetapi bisa jadi orang yang rindu itu, rindunya disertai dengan menjaga diri dan kesucian, dan kadang-kadang ada rindu itu disertai kerendahan dan kehinaan.<br />
<br />
Sebagaimana telah disebutkan, dalam ucapan kami tentang cinta maka rindu juga seperti itu, termasuk amalan hati, yang orang tidak mampu menguasainya. Tapi manusia akan dihisab atas sebab-sebab yang diharamkan dan atas hasil-hasilnya yang haram. Adapun rindu yang disertai dengan menjaga diri padanya dan menyembunyikannya dari orang-orang, maka padanya pahala, bahkan Ath-Thohawi menukil dalam kitab Haasyi’ah Marakil Falah dari Imam Suyuthi yang mengatakan bahwa termasuk dari golongan syuhada di akhirat ialah orang-orang yang mati dalam kerinduan dengan tetap menjaga kehormatan diri dan disembunyikan dari orang-orang meskipun kerinduan itu timbul dari perkara yang haram sebagaimana pembahasan dalam masalah cinta.<br />
<br />
Makna ucapan Suyuthi adalah orang-orang yang memendam kerinduan baik laki-laki maupun perempuan, dengan tetap menjaga kehormatan dan menyembunyikan kerinduannya sebab dia tidak mampu untuk mendapatkan apa yang dirindukannya dan bersabar atasnya sampai mati karena kerinduan tersebut maka dia mendapatkan pahala syahid di akhirat. Hal ini tidak aneh jika fahami kesabaran orang ini dalam kerinduan bukan dalam kefajiran yang mengikuti syahwat dan dia bukan orang yang rendah yang melecehkan kehormatan manusia bahkan dia adalah seorang yang sabar, menjaga diri meskipun dalam hatinya ada kekuatan dan ada keterkaitan dengan yang dirindui, dia tahan kekerasan jiwanya, dia ikat anggota badannya sebab ini di bawah kekuasaannya. Adapun hatinya dia tidak bisa menguasai maka dia bersabar atasnya dengan sikap afaf (menjaga diri) dan menyembunyikan kerinduannya sehingga dengan itu dia mendapat pahala.<br />
<br />
Cemburu (Al-Ghairah)<br />
<br />
Cemburu ialah kebencian seseorang untuk disamai dengan orang lain dalam hak-haknya, dan itu merupakan salah satu akibat dari buah cinta. Maka tidak ada cemburu kecuali bagi orang yang mencintai. Dan cemburu itu termasuk sifat yang baik dan bagian yang mulia, baik pada laki-laki atau wanita.<br />
<br />
Ketika seorang wanita cemburu maka dia akan sangat marah ketika suaminya berniat kawin dan ini fitrah padanya. Sebab perempuan tidak akan menerima madunya karena kecemburuannya pada suami, dia senang bila diutamakan, sebab dia mencintai suaminya. Jika dia tidak mencintai suaminya, dia tidak akan peduli (lihat pada bab I). Kita tekankan lagi disini bahwa seorang wanita akan menolak madunya, tetapi tidak boleh menolak hukum syar’i tentang bolehnya poligami. Penolakan wanita terhadap madunya karena gejolak kecemburuan, adapun penolakan dan pengingkaran terhadap hukum syar’i tidak akan terjadi kecuali karena kelalaian dan kesesatan. Adapun wanita yang shalihah, dia akan menerima hukum-hukum syariat dengan tanpa ragu-ragu, dan dia yakin bahwa padanya ada semua kebaikan dan hikmah. Dia tetap memiliki kecemburuan terhadap suaminya serta ketidaksenangan terhadap madunya.<br />
<br />
Kami katakan kepada wanita-wanita muslimah khususnya, bahwa ada bidadari yang jelita matanya yang Allah Swt jadikan mereka untuk orang mukmin di sorga. Maka wanita muslimat tidak boleh mengingkari adanya ‘bidadari’ ini untuk orang mukmin atau mengingkari hal-hal tersebut, karena dorongan cemburu. Maka kami katakan padanya :<br />
<br />
* Dia tidak tahu apakah dia akan berada bersama suaminya di surga kelak atau tidak.<br />
* Bahwa cemburu tidak ada di surga, seperti yang ada di dunia.<br />
* Bahwasanya Allah Swt telah mengkhususkan juga bagi wanita dengan kenikmatan-kenikmatan yang mereka ridlai, meski kita tidak mengetahui secara rinci.<br />
<br />
Surga merupakan tempat yang kenikmatannya belum pernah terlihat oleh mata, terdengar oleh telinga dan terbetik dalam hati manusia, seperti firman Allah Swt<br />
<br />
["Seorangpun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan"] As-Sajdah : 17<br />
<br />
Oleh karena itu, tak seorang pun mengetahui apa yang tersembunyi bagi mereka dari bidadari-bidadari penyejuk mata sebagai balasan pada apa-apa yang mereka lakukan. Dan di sorga diperoleh kenikmatan-kenikmatan bagi mukmin dan mukminat dari apa-apa yang mereka inginkan, dan juga didapatkan hidangan-hidangan, dan akan menjadi saling ridho di antara keduanya sepenuhnya. Maka wajib bagi keduanya (suami-isteri) di dunia ini untuk beramal sholeh agar memperoleh kebahagiaan di sorga dengan penuh kenikmatan dan rahmat Allah Swt yang sangat mulia lagi pemberi rahmat.<br />
<br />
Adapun kecemburuan seorang laki-laki pada keluarganya dan kehormatannya, maka hal tersebut ‘dituntut dan wajib’ baginya karena termasuk kewajiban seorang laki-laki untuk cemburu pada kehormatannya dan kemuliaannya. Dan dengan adanya kecemburuan ini, akan menolak adanya kemungkaran di keluarganya. Adapun contoh kecemburuan dia pada isteri dan anak-anaknya, yaitu dengan cara tidak rela kalau mereka telanjang dan membuka tabir di depan laki-laki yang bukan mahramnya, bercanda bersama mereka, hingga seolah-olah laki-laki itu saudaranya atau anak-anaknya.<br />
<br />
Anehnya bahwa kecemburuan seperti ini, di jaman kita sekarang dianggap ekstrim-fanatik, dan lain-lain. Akan tetapi akan hilang keheranan itu ketika kita sebutkan bahwa manusia di jaman kita sekarang ini telah hidup dengan adat barat yang jelek. Dan maklum bahwa masyarakat barat umumnya tidak mengenal makna aib, kehormatan dan tidak kenal kemuliaan, karena serba boleh (permisivisme), mengumbar hawa nafsu kebebasan saja. Maka orang-orang yang mengagumi pada akhlaq-akhlaq barat ini tidak mau memperhatikan pada akhlaq Islam yang dibangun atas dasar penjagaan kehormatan, kemuliaan dan keutamaan.<br />
<br />
Sesungguhnya Rasulullah Saw telah mensifati seorang laki-laki yang tidak cemburu pada keluarganya dengan sifat-sifat yang jelek, yaitu ‘Dayyuuts’. Sungguh ada dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ath-Thabraani dari Amar bin Yasir r.a, serta dari Al-Hakim, Ahmad dan Baihaqi dari Abdullah bin Amr r.a, dari Nabi Saw bahwa ada tiga golongan yang tidak akan masuk surga yaitu peminum khomr, pendurhaka orang tua dan dayyuts. Kemudian Nabi menjelaskan tentang dayyuts, yaitu orang yang membiarkan keluarganya dalam kekejian atau kerusakan, dan keharaman.<br />
<br />
Wallahu a’lamsweetboyhttp://www.blogger.com/profile/01727959537351178770noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5997723159742571779.post-1668860909069514812011-02-05T23:47:00.000-08:002011-02-05T23:47:03.680-08:00MAKNA TEGAKNYA MASYARAKAT DI ATAS AQIDAH ISLAMI<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://3.bp.blogspot.com/_kh_8PbxKh8Q/TU5Rjz0f6CI/AAAAAAAAANg/kKZxoWf6xH8/s1600/167850_183084505065632_100000922513571_401799_360389_n.jpg" imageanchor="1" style="margin-left:1em; margin-right:1em"><img border="0" height="300" width="400" src="http://3.bp.blogspot.com/_kh_8PbxKh8Q/TU5Rjz0f6CI/AAAAAAAAANg/kKZxoWf6xH8/s400/167850_183084505065632_100000922513571_401799_360389_n.jpg" /></a></div><br />
<br />
<br />
Inilah aqidah yang tegak di atasnya masyarakat Islam. yaitu aqidah "Laa ilaaha illallah Muhammadan Rasuulullah." Makna dari ungkapan tersebut adalah bahwa masyarakat Islam benar-benar memuliakan dan menghargai aqidah itu dan berusaha untuk memperkuat aqidah tersebut di dalam akal maupun hati. Masyarakat itu juga mendidik generasi Islam untuk memiliki aqidah tersebut dan berusaha menghalau pemikiran-pemikiran yang tidak benar dan syubhat yang menyesatkan. Ia juga berupaya menampakkan (memperjelas) keutamaan-keutamaan aqidah dan pengaruhnya dalam kehidupan individu maupun sosial dengan (melalui) alat komunikasi yang berpengaruh dalam masyarakat, seperti masjid-masjid, sekolah-sekolah, surat-surat kabar, radio, televisi, sandiwara, bioskop dan seni dalam segala bidang, seperti puisi. prosa, kisah-kisah dan teater.<br />
<br />
Bukanlah yang dimaksud membangun masyarakat Islam di atas dasar aqidah Islamiyah adalah dengan memaksa orang-orang non Muslim untuk meninggalkan aqidah mereka. Tidak!, karena hal ini tidak pernah terlintas dalam benak seorang Muslim terdahulu dan tidak akan terlintas di benak mereka untuk selamanya. Bukankah lslam telah mengumumkan dengan kata-kata yang jelas "Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesunggahnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan sesat." (Al Baqarah: 256)<br />
<br />
Sejarah telah membuktikan bahwa sesungguhnya masyarakat Islam pada masa-masa keemasannya adalah masyarakat yang paling toleran terhadap para penentangnya dalam aqidah. Fakta ini diperkuat oleh banyak pernyataan kesaksian orang-orang di luar islam sendiri.<br />
<br />
Maksud dari tegaknya masyarakat, di atas aqidah Islam adalah bahwa masyarakat Islam itu bukanlah masyarakat yang terlepas dari segala ikatan, tetapi masyarakat yang komitmen dengan aqidah Islam. bukan masyarakat penyembah berhala, dan bukan masyarakat Yahudi atau Nasrani, bukan pula masyarakat liberal atau masyarakat Sosialis Marxisme, tetapi ia adalah masyarakat yang bertumpu pada aqidah tauhid atau aqidah Islam, di mana aqidah Islam itu selalu tinggi dan tidak ada yang menandingi. Islam tidak menerima jika kalian berada di masyarakat sementara kalian tidak berperan apa pun, dan tidak rela mengganti aqidah yang lain dengan aqidah Islamnya, sehingga bisa meluruskan pandangan manusia terhadap Allah, manusia, alam semesta dan kehidupan.<br />
<br />
Bukanlah dikatakan masyarakat Islam itu masyarakat yang menyembunyikan asma "Allah" dalam arahan-arahannya, kemudian menggantinya dengan nama"Alam." Sebagai contoh terkadang kita katakan bahwa sungai-sungai adalah pemberian alam, hutan juga pemberian alam, alam itulah yang menciptakan dan yang mengembangkan segala sesuatu, bukan Allah yang menciptakan segala sesuatu, Rabb segala sesuatu dan pengatur segala sesuatu.<br />
<br />
Sesungguhnya pandangan masyarakat Barat terhadap masalah ketuhanan dan kaitannya dengan alam semesta adalah bahwa Allah telah menciptakan alam, kemudian membiarkannya, maka tidak ada yang mengatur, tidak ada yang menguasai. Persepsi seperti ini mirip dengan persepsi yang diambil dari para filosof Yunani terhadap masalah ketuhanan, terutama Aristoteles yang tidak mengenal tuhan kecuali bagian dari dirinya, adapun pandangannya tentang alam, alam itu tidak ada yang mengatur dan tidak dikenal baik atau buruk dari tuhan. Dan yang lehih aneh dari pada itu adalah filsafat Aflathun yang tidak mengenal Tuhan sedikit pun, hingga dari dirinya.<br />
<br />
Adapun persepsi masyarakat Islam tentang ketuhanan, maka itu tergambar dalam ayat-ayat berikut ini: "Semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebenaran Allah). Dan Dialah Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. Kepunyaan-Nya kerajaan langit dan bumi. Dia menghidupkan dan mematikan. Dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Dialah Yang Awal dan Yang Akhir Yang Zhahir dan Yang Bathin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. Dialah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; Kemudian Dia bersemayam di atas Arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar dari padanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. Kepunyaan-Nyalah kerajaan langit dan bumi. Dan kepada Allah-lah dikembalikan segala sesuatu. Dialah yang memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam. Dan Dia Maha Mengetahui segala isi hati." (Al Hadid: 14)<br />
<br />
Bukanlah masyarakat Islam itu masyarakat yang mana pemahaman iman kepada Allah dan hari kemudian menjadi kendor, kemudian diganti dengan keyakinan terhadap aliran Wujudiyah, Qaumiyah atau Wathaniyah (kebangsaan atau Nasionalis), atau yang selain itu dari berhala-herhala yang disembah oleh manusia di sana sini, dari selain Allah atau bersama Allah, meskipun mereka tidak menamakan itu semua sebagai tuhan-tuhan mereka.<br />
<br />
Bukan pula masyarakat Islam, masyarakat yang menyembunyikan nama"Muhammad" yang semestinya dianggap sebagai muwajjih yang ma*shum dan uswah yang ditaati, lalu membanggakan nama"Marx" dan"Lenin" atau yang lainnya dari para pemikir timur dan barat.<br />
<br />
Bukan pula masyarakat Islam itu masyarakat yang mengabaikan kitab Allah Al Qur*an yang semestinya menjadi sumber petunjuk. sumber perundang-undangan dan hukum, kemudian memperhatikan kitah-kilab yang lainnya dan mengkultuskannya, dan menjadikan kitab-kitab itu sebagai rujukan pemikiran, perundang-undangan dan sistem perilaku atau diambil dari kitab-kitab itu nilai dan standar kehidupan.<br />
<br />
Bukanlah masyarakat Islam itu masyarakat yang Allah, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya dihina (lecehkan) sementara manusianya diam terhadap kekufuran yang nyata ini, mereka tidak mampu memberikan pengajaran kepada orang yang kafir dan murtad atau menggertak orang zindiq yang menyeleweng, sehingga orang kafir itu berani menyebarkan di berbagai media secara terang-terangan ungkapan sebagai berikut, "Sesungguhnya manusza Arab modern adalah mereka yang menyakini bahwa Allah dan agama-agama adalah sesuatuyang usang dan layak disimpan dalam museum sejarah."<br />
<br />
Bukanlah masyarakat Islam itu masyarakat yang mempersilahkan aqidah lain seperti aqidah Komunis, Sosialis dan Nasionalisme ekstrim menggeser aqidah Islamiyah. Sesungguhnya merupakan suatu kesalahan jika ada seseorang mengira bahwa faham Sosialis dan yang lainnya itu bukan aqidah yang bertentangan dengan Islam, tetapi ia sekedar aliran Ekonomi atau Sosial yang mengambil cara tertentu untuk mengatur kehidupan manusia, dan tidak berkaitan langsung dengan agama sehingga dikatakan sebagai aqidah, padahal kenyataannya bahwa Sosialisme menurut pencetusnya merupakan falsafah kehidupan yang komprehensif dan aqidah yang universal yang memberi pandangan terhadap alam, sejarah, kehidupan, manusia dan Tuhan yang jelas-jelas bertentangan dengan Pandangan Islam. Oleh karena itu sebagian orang mengistilahkannya sebagai "Agama tanpa wahyu."2)<br />
<br />
Bukan pula masyarakat Islam itu masyarakat yang menjadikan masalah aqidah sebagai masalah sampingan dalam kehidupan ini, sehingga tidak dijadikan sebagai asas dari sistem pendidikan dan pengajaran, sistem pemikiran, sistem penerangan dan pengarahan tidak pula dalam proses perubahan secara umum kecuali hanya bagian terkecil dan terbatas. Maka aqidah bukanlah pengarah dan penggerak yang pertama, dan bukan pula pengaruh yang pertama dalam kehidupan individu, keluarga maupun kemasyarakatan, akan tetapi aqidah dijadikan nomor dua dan ditempatkan di belakang, itupun kalau memang masih ada tempat.<br />
<br />
Aqidah dalam kehidupan masyarakat Islam pertama yang telah dibina oleh Rasulullah SAW dan diwarisi oleh para sahabat dan tabi*in adalah merupakan motivasi, pengarah dan hal pertama yang mewarnai dalam kehidupan mereka, dan akhirnya dia menjadi ikatan pemersatu.<br />
<br />
Aqidah merupakan sumber persepsi dan pemikiran. Aqidah juga merupakan asas keterikatan dan persatuan, asas hukum dan syari*at, sebagai motor penggerak dalam berharakah, ia juga merupakan sumber keutamaan dan akhlaq. Aqidah itulah yang telah mencetak para pahlawan (pejuang) di medan jihad dan untuk mencari syahid serta menempa setiap jiwa untuk berkurban dan itsar.<br />
<br />
Demikianlah aqidah dan pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat Islam yang pertama dan demikianlah hendaknya pengaruh aqidah dalam setiap masyarakat yang menginginkan menjadi masyarakat Islam, saat ini dan di masa yang akan datang.<br />
<br />
Sesungguhnya aqidah Islamiyah dengan segala rukun dan karakteristiknya adalah merupakan dasar yang kokoh untuk membangun masyarakat yang kuat, karena itu bangunan yang tidak tegak di atas aqidah Islamiyah maka sama dengan membangun di atas pasir yang mudah runtuh.<br />
<br />
Lebih buruk dari itu apabila bangunan yang mengaku Islam, ternyata berdiri di atas fondasi selain aqidah Islam, meskipun telah ditulis di papan nama dengan nama Islam, maka sesungguhnya itu merupakan pemalsuan di dalam materi dasar bangunan yang tidak menutup kemungkinan bangunan itu akan berakibat ambruk seluruhnya dan menimpa orangorang yang ada di dalamnya. Allah SWT berfirman: "Maka apakah orang-orang yang mendirikan bangunannya di atas dasar taqwa kepada Allah dan keridlaan (Nya) itu yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama dengan dia ke dalam neraka Jahannam? Dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang dzalim." (At-Taubah: 109)<br />
<br />
Sungguh kita telah melihat masyarakat Komunis pada masa-masa kejayaannya dan ketika berkuasa, mereka telah menjadikan aqidah Marxisme dan falsafahnya yang materialisme dalam undang-undang mereka secara terang-terangan. Mereka telah menyatakan bahwa tidak ada tuhan dan kehidupan adalah materi dalam aturan undang-undang mereka, dalam pendidikan dan pengajaran mereka dalam kebudayaan dan pers mereka, dan dalam seluruh sistem, lembaga dan sikap kebijakan politik mereka.<br />
<br />
Inilah perhatian setiap masyarakat yang berideologi, maka sudah semestinya jika masyarakat Islam menjadi cermin yang akan memproyeksikan aqidah dan keimanannya serta pandangannya terhadap alam, manusia dan kehidupan dan pandangannya terhadap Sang pencipta yang memberikan kehidupan.<br />
<br />
2) Lihat Kitab saya "Min Ajli Shahwatin Islamiyah"<br />
<br />
Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur*an & Sunnah (Malaamihu Al Mujtama* Al Muslim Alladzi Nasyuduh)sweetboyhttp://www.blogger.com/profile/01727959537351178770noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5997723159742571779.post-69345667130592531312011-02-05T22:15:00.000-08:002011-02-05T22:15:19.291-08:00Ulama Su', Petaka Dan Fitnah<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://4.bp.blogspot.com/_kh_8PbxKh8Q/TU48bOzzaeI/AAAAAAAAANY/5MqUBZgzSRU/s1600/180628_183276691713080_100000922513571_402721_3586693_n.jpg" imageanchor="1" style="margin-left:1em; margin-right:1em"><img border="0" height="300" width="400" src="http://4.bp.blogspot.com/_kh_8PbxKh8Q/TU48bOzzaeI/AAAAAAAAANY/5MqUBZgzSRU/s400/180628_183276691713080_100000922513571_402721_3586693_n.jpg" /></a></div><br />
<br />
<br />
"Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri. Padahal kamu membaca Al-Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir." (QS. Al-Baqarah : 44)<br />
<br />
Rasulullah SAW bersabda :<br />
"Akan muncul di akhir zaman orang-orang yang mencari dunia dengan agama. Di hadapan manusia mereka memakai baju dari bulu domba untuk memberi kesan kerendahan hati mereka, lisan mereka lebih manis dari gula namun hati mereka adalah hati serigala (sangat menyukai harta dan kedudukan). Allah SWT berfirman : 'Apakah dengan-Ku (kasih dan kesempatan yang kuberikan) kalian tertipu ataukah kalian berani kepada-Ku. Demi diriku, Aku bersumpah, Aku akan mengirim bencana dari antara mereka sendiri yang menjadikan orang-orang santun menjadi kebingungan (apalagi selain mereka) sehingga mereka tidak mampu melepaskan diri darinya." (HR. Tirmidzi).<br />
<br />
Namanya saja ulama su' (buruk), tentu pekerjaannya merusak, mangacau, dan menyesatkan. Disebut ulama karena baju dan lisannya seperti ulama, disebut su' karena perbuatan, ajakan, dan hatinya jahat. Karena itu, ulama su' termasuk jenis manusia yang berbulu domba namun berhati serigala.<br />
<br />
Ulama su' sekarang ini adalah generasi penerus dari ulama su' zaman dahulu. Ulama su' mengajarkan tipu daya untuk mencari celah-celah hukum Allah, sehingga mereka bisa memakan harta secara batil seperti kisah orang-orang Bani Israil yang diharamkan mencari ikan pada hari Sabtu, namun mereka halalkan dengan tipu darya yang culup terkenal itu, atau menghalalkan bangkai dengan cara menccirkannya menjadi minyak lalu dijual dan dimakan harganya.<br />
<br />
Ulama su' adalah peringkat ulama yang paling rendah, paling buruk dan paling merugi. Ia adalah seorang alim yang tidak mengamalkan ilmunya dan tidak mengajarkannya kepada manusia. Di samping itu, ia mengajak kepada kejahatan dan kesesatan. Ia menyuguhkan keburukan dalam bentuk kebaikan. Ia menggambarkan kebatilan dengan gambar sebuah kebenaran. Ada katlanya, karena menjilat para penguasa dan orang-orang dzalim lainnya untuk mendapatkan kedudukan, pangkat, pengaruh, pernghargaan atau apa saja dari perhiasan dunia yang ada di tangan mereka. Atau ada juga ang melakukan itu karena sengaja menentang Allah dan Rasul-Nya demi menciptakan kerusakan di muka buni ini. Mereka tidak lain adalah para khalifah syetan dan para wakil Dajjal.<br />
<br />
Diantara ulama su' ada juga kelompok yang mengajak kepada kebaikan, namun tidak pernah memberikan keteladanan. Karena itu, ibnul Qayyim berkata : "Ulama su' duduk di depan pintu surga dan mengajak manusia untuk masuk ke dalamnya dengan ucapan dan seruan-seruan mereka. Dan mengajak manusia untuk masuk ke dalam neraka dengan perbuatan dan tindakannya. Ucapan mereka berkata kepada manusia : 'Kemarilah! Kemarilah!' Sedangkan perbuatan mereka berkata : Janganlah engkau dengarkan seruan mereka. Seandainya seruan mereka itu benar, tentu mereka adalah orang yang pertama kali memenuhi seruan itu." (Al-Fawaid, Ibnul Qayyim, hal. 61).<br />
<br />
Diriwayatkan bahwa Allah SWT memberi wahyu kepada Nabi Dawud AS : "Wahai Dawud jangan engkau jadikan antara Aku dan antara dirimu seorang alim yang sudah tergoda oleh dunia, sehingga ia bisa menghalangimu dari jalan mahabbahku. Karena sesungguhnya mereka adalah para begal yang membegal jalannya hamba-hambaKu. Sesungguhnya hukuman terkecil yang Aku kenakan untuk mereka adalah Aku cabut kelezatan bermunajat dari hati mereka." (Jami' Bayanil Ilmi, Ibnu Abdil Bar, I/193).<br />
<br />
Asy-Sya'bi berkata : "Akan ada sekelompok penduduk surga yang melongok, melihat sekelompok penduduk neraka. Lalu penduduk surga menyapa mereka dengan penuh keheranan, 'Apa yang membuat kalian masuk neraka, padahal kami masuk surga karena jasa didikan dan ajaranmu?' Mereka menjawab : Sesungguhnya kami memerintahkan kalian melakukan kebaikan namun kami sendiri melakukannya."<br />
<br />
Allah SWT telah mencela orang-orang semacam ini sejak zaman Nabi Musa AS dan mengabadikan hinaan itu di dalam kitab suci sepanjang masa, seperti dalam QS. Al-Baqarah : 44, yang artinya :"Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri. Padahal kamu membaca Al-Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?" (Mukhtashar jami' Bayanul Ilmi, Ahmad bin Umar Al-Bairuti, hal. 163).<br />
<br />
Contoh Nyata<br />
Contohnya banyak sekali, seperti ulama yang dalam muktamar telah memutuskan keharaman musik, lalu setelah pulang ke pesantrennya ternyata di rumahnya terang-terangan memutas kaset-kaset nyanyian atau bahkan santrinya direstui membentuk group musik atau qasidah. Ada lagi ulama yang dengan manisnya mengatakan bahwa tugasnya adalah berdakwah demi kesejahteraan Islam, namun di waktu lain ia malah membolehkan bahkan mengajak untuk memilih orang-orang kafir sebagai pemimpin, dan lain sebagainya.<br />
<br />
Satu lagi termasuk kelompok ulama su' yaitu ulama yang mengajak kepada kebaikan, tetapi dengan cara-cara kefasikan, seperti berdakwah dengan musik dan gendingan. Mulutnya mengajak ke surga sementara tangan dan kakinya mengajak orang lain untuk bergoyang mengikuti syetan. Atau berdakwah dengan menggunakan metode lawak, sehingga ungkapan yang kotor dan contoh-contoh yang seronok menjadi bumbu wajib dalam setiap ceramahnya karena target keberhasilannya adalah puasnya hadirin, pemirsa dan pendengar, dengan gelak tawa dan senyuman lebar sebanyak mungkin. Tema dan isi dakwah pun dipilih dan dikemas sesuai dengan selera para panitia dan pengunjung. Mulutnya mengajak kepada iman, namun lawakan dan kebanyolannya melupakan akhirat. Intinya adalah ia mencari "ridah manusia." Jenis ulama penghibur (pelawak dan pemusik) ini tidak mengikuti aturan dakwah dalam syariat Islam, tetapi mengikuti nafsu syetan demi mengejar ridha manusia. Mereka lupa akan ancaman Rasulullah SAW : "Barangsiapa yang mencari ridha Allah dengan (resiko mendapat) murka manusia, maka Allah mencukupinya dari manusia. Dan barangsiapa mencari ridha manusia dengan (menyebabkan) kemurkaan Allah, maka Allah menyerahkan dirinya kepada manusia." (HR. Tirmidzi, no. 2419).<br />
<br />
Alhasil ulama su' adalah perusak agama, pemadam sunnah, pelindung bid'ah, pelopor maksiat. Sesungguhnya tepat ungkapan ibnul Mubarak : "Tidaklah merusak agama ini melainkan para raja, ulama su', dan para rahibnya."<br />
<br />
Hal ini karena manusia ini bergantung kepada ulama (ahli ilmu dan amal), ubbad (ahli ibadah) dan muluk (umara, aghniya'). Jika mereka baik, manusia akan baik dan juka mereka rusak, pasti dunia menjadi rusak. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/462).<br />
<br />
Umar berkata kepada Ziyad bin Hudair : "Apakah kamu mengerti apa yang merusak Islam?" Ziyad berkata : "Tidak." Umar berkata : "Tergelincirnya seorang alim, debatnya orang munafik -dengan ayat Al-Qur'an- dan (penetapan) hukumnya para imam yang menyesatkan." (Riwayat Ad-Darimi).<br />
<br />
Ulama su' sejatinya adalah da'i-da'i neraka. Dalam hadits Hudzaifah ra, ketika dia bertanya kepada Rasulullah SAW : "Sesungguhnya kita dulu ada dalam kejahiliyahan lalu Allah menganugerahkan kepada kami kebaikan ini, maka apakah setelah kebaikan ini ada keburukan?" Beliau menjawab dalam ucapannya yang panjang sampai berkata : "ya, para da'i di ambang pintu Jahannam. Siapa yang mendatangi ajakannya pasti akan mereka lemparkan ke dalamnya." (HR. Al-Bukhari, 7084, dan lain-lain).<br />
<br />
Ulama su' menjadi musuh Allah, mereka sebegitu buruknya karena memutar balikkan urusan, maka benar-benar terbalik. Mestinya salah seorang mereka bisa menjadi pengajak dan penyeru kepada jalan Allah, ternyata mereka sesat dan menyesatkan, mengajak kepada jalan syetan. (Dari ucapan Ali ra, Ad-Dakwatul Tammah, Abdullah Al-Hadrami. hal. 42).<br />
<br />
Ulama su' adalah ulama fasik yang akan dimasukkan oleh Allah ke dalam neraka sebelum para penyembah berhala, karena salahnya orang yang mengerti tidak sama dengan orang yang tidak mengerti. (Mukhtashar Jami' Bayanil Ilmi, 164).<br />
<br />
Ya Allah, jadikanlah manfaat untuk kami apa yang telah engkau ajarkan kepada kami dan ajarkanlah terus kepada kami apa yang bermanfaat untuk kami. (Abu Hamzah As-Sanuwi).sweetboyhttp://www.blogger.com/profile/01727959537351178770noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5997723159742571779.post-18293591405827964532011-02-05T21:38:00.000-08:002011-02-05T21:38:53.565-08:00TANGGUNG JAWAB DA'WAH<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://1.bp.blogspot.com/_kh_8PbxKh8Q/TU4z4GKM5UI/AAAAAAAAANQ/RkprlfLVi3M/s1600/165387_181881858519230_100000922513571_395537_847753_n.jpg" imageanchor="1" style="margin-left:1em; margin-right:1em"><img border="0" height="300" width="400" src="http://1.bp.blogspot.com/_kh_8PbxKh8Q/TU4z4GKM5UI/AAAAAAAAANQ/RkprlfLVi3M/s400/165387_181881858519230_100000922513571_395537_847753_n.jpg" /></a></div><br />
<br />
<br />
Secara harfiyah, da'wah berasal dari kata da'a - yad'u, da'watan yang artinya panggilan, seruan atau ajakan. Maksudnya adalah mengajak dan menyeru manusia agar mengakui Allah Swt sebagai Tuhan yang benar lalu menjalani kehidupan sesuai dengan ketentuan-ketentuan-Nya yang tertuang dalam Al-Qur'an dan sunnah. Dengan demikian, target da'wah adalah mewujudkan sumber daya manusia yang bertaqwa kepada Allah Swt dalam arti yang seluas-luasnya.<br />
<br />
Dalam kehidupan masyarakat, khususnya kehidupan umat Islam, da'wah memiliki kedudukan yang sangat penting. Dengan da'wah, bisa disampaikan dan dijelaskan ajaran Islam kepada masyarakat sehingga mereka menjadi tahu mana yang haq dan mana yang bathil, bahkan da'wah yang baik bukan hanya membuat masyarakat memahami yang haq dan bathil itu, tapi juga memiliki keberpihakan kepada segala bentuk yang haq dengan segala konsekuensinya dan membenci yang bathil sehingga selalu berusaha menghancurkan kebathilan. Manakala hal ini sudah terwujud, maka kehidupan yang hasanah (baik) di dunia dan akhirat akan dapat dicapai.<br />
<br />
KEWAJIBAN DA'WAH<br />
<br />
Karena da'wah memiliki kedudukan yang sangat penting, maka secara hukum da'wah menjadi kewajiban yang harus diemban oleh setiap muslim, Ada banyak dalil yang bisa kita jadikan sebagai rujukan untuk mendukung pernyataan wajibnya melaksanakan tugas da'wah, baik dari Al-Qur'an maupun hadits Nabi. Diantaranya adalah dalil berikut ini:<br />
<br />
Serulah manusia ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik (QS 16:125).<br />
<br />
Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung (QS 3:104).<br />
<br />
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah (QS 3:110).<br />
<br />
Sampaikanlah dariku walaupun hanya satu ayat (HR. Ahmad, Bukhari dan Tirmidzi).<br />
<br />
KEUTAMAAN DA'WAH<br />
<br />
Manakala da'wah kita tunaikan dengan sebaik-baiknya, banyak keutamaan yang akan kita peroleh, antara lain pertama, memperoleh derajat yang tinggi di sisi Allah dengan dikelompokkan ke dalam umat yang terbaik (khairu ummah) sebagaimana yang disebutkan pada QS 3:110 di atas.<br />
<br />
Kedua, memperoleh pahala yang amat besar, hal ini karena dalam satu hadits Rasulullah Saw menyatakan:<br />
<br />
Barangsiapa yang menunjukkan pada suatu kebaikan, maka baginya seperti pahala orang yang mengerjakannya (QS Ahmad, Muslim, Abu Daud dan Tirmudzi).<br />
<br />
Ketiga, da'wah yang baik juga berarti telah dapat membuktikan keimanan pribadi seorang da'i yang benar, karena da'wah yang baik adalah da'wah yang disampaikan setelah diamalkannya, bukan kontradiksi antara pesan da'wah dengan prilaku sang da'i, Allah berfirman yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan (QS 61:2-3).<br />
<br />
Keempat, memperoleh keberuntungan, baik dalam kehidupan di dunia maupun di akhirat sebagaimana sudah disebutkan pada QS 3:104.<br />
<br />
Kelima, terhindar dari laknat Allah, hal ini dinyatakan oleh Allah dalam firman-Nya yang artinya: Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa Putera Maryam. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu (QS 5:78-79).<br />
<br />
Keenam, memperoleh rahmat Allah, hal ini difirmankan Allah yang artinya: Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mncegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (QS 9:71).<br />
<br />
TAHAPAN DA'WAH.<br />
<br />
Dalam menunaikan tugas da'wah, ada tahapan-tahapan yang harus diperhatikan dan ditempuh. Syeikh Mustafa Masyhur dalam bukunya Tariq Ad Da'wah menyebutkan tiga tahapan (marhalah) da'wah yang harus dilalui. Pertama, ta'rif (penerangan/propaganda), tahap ini adalah memperkenalkan, menggambarkan ide dan menyampaikannya kepada khalayak rapai pada setiap lapisan masyarakat. Kedua, takwin (pembinaan/pembentukan), yaitu tahap pembentukan, pemilihan pendukung da'wah, menyiapkan mujahid da'wah serta mendidiknya. Ketiga, tanfidz (pelaksanaan), yaitu tahap beramal, berusaha dan bergerak guna mencapai tujuan.<br />
<br />
Dengan demikian, da'wah merupakan perjalanan yang panjang dan berliku. Karena itu, para aktifis da'wah harus menyiapkan diri semaksimal mungkin agar bisa menunaikan tugas ini dengan baik dan siap menghadapi segala tantangannya.<br />
<br />
PENYULUH KEBANGKITAN.<br />
<br />
Dalam kondisi masyarakat muslim yang sedang "tidur", lesu, lemah dan mengalami keterbelakangan, da'wah amat diperlukan sebagai penyuluh guna membangkitkan umat dan meraih kembali kejayaannya yang telah hilang. Oleh karena itu, manakala da'wah bisa kita tunaikan sebaik-baiknya dengan dukungan sumber daya manusia yang andal, dana yang cukup, sarana yang memadai, metode yang tepat dan kemasan yang menarik, maka masyarakat muslim yang baru dapat kita wujudkan, insya Allah sebagai umat yang terbaik. Dengan kata lain, da'wah merupakan upaya merekonstruksi masyarakat yang masih mengandung unsur kejahiliyahan menjadi masyarakat yang islami, ini berarti da'wah merupakan upaya melakukan islamisasi dalam seluruh sektor kehidupan manusia.<br />
<br />
Untuk itu keterlibatan setiap muslim di dalam da'wah menjadi suatu keharusan, sesuai dengan potensi yang dimilikinya masing-masing. Terbentuknya pribadi yang islami, keluarga yang islami dan masyarakat yang islami merupakan target yang ingin dicapai dalam da'wah. Target ini memerlukan dukungan setiap muslim, apalagi da'wah itu bukanlah hanya berbentuk ceramah dan khutbah. Tegasnya, apapun potensi dan kemampuan yang kita miliki, semua itu dapat kita gunakan untuk kepentingan da'wah.<br />
<br />
Oleh :<br />
Drs. H. Ahmad Yanisweetboyhttp://www.blogger.com/profile/01727959537351178770noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5997723159742571779.post-63137632882896006332011-02-05T21:02:00.000-08:002011-02-05T21:02:19.758-08:00TAKUT KEPADA ALLAHTAKUT KEPADA ALLAH<br />
<br />
Salah satu sikap yang harus kita miliki adalah rasa takut kepada Allah Swt. Takut kepada Allah adalah takut kepada murka, siksa dan azab-Nya. Ada banyak ayat yang membicarakan tentang takut kepada Allah dan perintah Allah kepada kita untuk memilih sifat tersebut, satu diataranya ayat itu adalah firman Allah yang artinya: Orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah, mereka takut kepada-Nya dan mereka tidak merasa takut kepada seseorangpun selain kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai pembuat perhitungan (QS. 33:39). Ini berarti takut kepada selain Allah tidaklah bisa dibenarkan. Dengan memiliki rasa takut kepada Allah, kita akan memperoleh keberuntungan yang besar, diantara dalilnya adalah firman Allah yang artinya: Dan Barangsiapa yang takut kepada Allah dan Rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertaqwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapatkan kemenangan (QS. 24:52).<br />
<br />
Adanya rasa takut kepada Allah Swt, membuat kita tidak berani melanggar segala ketentuan-Nya. Yang diperintah kita kerjakan dan yang dilarang kita tinggalkan. Sementara kalau seseorang telah melakukan kesalahan dan ada jenis hukuman dalam keselahan itu, maka orang yang takut kepada Allah tidak perlu ditangkap dan diperiksa, tapi dia akan membeberkan sendiri kesalahannya itu lalu minta dihukum didunia ini sebab dia merasa lebih baik dihukum di dunia daripada di akhirat nanti yang lebih dahsyat. Takut kepada Allah memang membuat seseorang akan memperbanyak amal sholehnya dalam hidup di dunia ini, Allah berfirman yang artinya: Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang-orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberikan makan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. Sesungguhya kami takut akan (azab) Tuhan kami pada suatu hari yang (dihari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan (QS. 76:8-10).<br />
<br />
Kiat Menumbuhnkan Rasa Takut<br />
<br />
Karena rasa takut kepada Allah Swt merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan kita di dunia ini, maka setiap kita harus menumbuhkannya ke dalam diri kita masing-masing. Untuk itu di dalam Islam, ada petunjuk atau kiat yang bisa kita lakukan untuk menumbuhkannya.<br />
<br />
Mengkaji Ayat dan Hadits Tentang Murka Allah.<br />
<br />
Ada banyak ayat dan hadits yang menjelaskan tentang murka Allah Swt, baik yang ditimpahkan-Nya di dunia maupun di akhirat kelak kepada siapa saja yang tidak taat kepada-Nya. Allah berfirman tentang kemurkaan-Nya di dunia yang artinya: Maka Fir'aun mempengaruhi kaumnya (dengan perkataan itu) lalu mereka patuh kepadanya. Karena mereka adalah kaum yang fasik. Maka tatkala mereka membuat Kami murka, Kami menghukum mereka lalu Kami tenggelamkan mereka semuanya (di laut). (QS. 43:54-55).<br />
<br />
Adapun murka Allah dalam kehidupan akhirat difirmankan yang artinya: Dan orang-orang yang membantah (agama) Allah sesudah agama itu diterima maka bantahan mereka itu sia-sia, disisi Tuhan mereka. Mereka mendapat kemurkaan (Allah) dan bagi mereka azab yang sangat keras. (QS. 42:16).<br />
<br />
Disamping Al-Al-Qur'an, hadits-hadits juga menerangkan adanya azab, murka atau siksa Allah kepada orang-orang yang tidak takut kepada-Nya, misalnya hadits nabi yang berbunyi: Apabila perzinaan dan riba telah melanda suatu negeri, maka mereka sudah enghalalkan atas mereka sendiri siksaan Allah (HR. Thabrani dan Hakim).<br />
<br />
2.Mengetahui akibat orang yang tidak takut kepada Allah.<br />
<br />
Untuk menumbuhkan rasa takut kepada Allah Swt, kita juga perlu melakukannya dengan cara mempelajari kehidupan orang-orang yang mengalami akibat dari tidak ada rasa takutnya kepada Allah Swt dalam kehidupan ini sehingga mereka melanggar ketentuan-ketentuan-Nya. Diantara contoh yang bisa kita sebutkan adalah umat Nabi Nuh yang karena mereka tidak aat, akibatnya mereka dibinasakan dengan banjir yang besar, Allah berfirman yang artinya: Disebabkan keslahan-kesalahan mereka, mereka ditenggelamkan lalu dimasukkan ke dalam neraka, maka mereka tidak mendapat penolong-penolong bagi mereka selain dari Allah (QS. 71:25).<br />
<br />
Begitu juga dengan Qorun yang ditenggelamkan ke dalam bumi berikut harta yang dimilikinya yang menyebabkan manusia, Allah berfirman yang artinya: Maka Kami benamkan Qorun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya satu golonganpun yang menolongnya terhadap azab Allah dan tiadalah ia termasuk orang-orang (yang dapat) membela dirinya (QS. 77:81).<br />
<br />
Lebih tegas dapat kita simpulkan bahwa siapapun yang tidak takut kepada Allah sehingga dengan berani melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, cepat atau lambat akan mengalami akibat sebagaimana terlah terjadi pada generasi terdahulu seperti yang diceritakan oleh Al-Qur'an, ayat yang menegaskan soal ini difirmankan Allah yang artinya: Maka asing-masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, maka diantaramereka ada yang kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan diantara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan diatara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan diantara mereka ada yang Kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri (QS. 29:40).<br />
<br />
3.Memahami siksa Akhirat yang tak terbayangkan<br />
<br />
Rasa takut juga bisa tumbuh dalam jiwa manakala kita menyadari betapa siksa dan azab Allah di akhirat tidak dapat kita bayangkan dahsyatnya sebagaimana kita juga tidak bisa membayangkan nikmatnya Syurga, dalam salah satu hadits Qudsi Allah berfirman yang disabdakan oleh Rasulullah Saw yang artinya: Aku menyiapkan untuk hamba-hamba-Ku yang sholeh apa-apa yang belum pernah dilihat oleh mata, didengar oleh telinga dan belum pernah terlintas dalam benak manusia (HR. Bukhari Muslim). Ini berarti, azab dan siksa Allah dalam kehidupan akhirat merupakan sesuatu yang sangat dahsyat dan tidak bisa dibayangkan sedikitpun, begitu juga sebenarnya kenikmatan yang diberikan Allah kepada penghuni Syurga.<br />
<br />
Salah satu gambaran yang dikemukan Rasullah SAW dalam hadits tentang betapa dasyatnya siksa neraka adalah perbandingan panasnya api dunia dengan api di akhorat, beliau bersabda: Apimu yang kamu semua menyalakannya di dunia ini adalah satu baguan dari tujuhb puluh bagian dari panasnya neraka jahannam. Para sahabat berkata: “demi Allah, api dunia ini saja sudah amat panas ya Rasulullah”. Beliau lalu bersabda: “Memang, api neraka itu masih lebih panas lagi dengan enam puluh sembilan kali bagian panasnya, setiap bagian sama suhu panasnya dengan api di dunia ini (HR. Bukhari, Muslim dan Tirmidzi).<br />
<br />
Disisi lain, masalah siksa neraka yang tak terbayangkan dahsyatnya adalah dari segi waktu yang berabad-abad lamanya, bahkan kekal mereka di dalamnya, Allah berfiman: Sesungguhnya neraka jahannam itu (padanya) ada tempat pengintai, lagi tempat kembali bagi orang-orang yang melampaui batas, mereka tinggal di dalamnya berabad-abad lamanya, mereka tidak merasakan kesejukan dan (tidak pula) mendapat minuman, selain air yang mendidih dan nanah, sebagai pembalasan yang setimpal. Sesungguhnya mereka tidak takut kepada hisab, dan mereka mendustakan ayat-ayat Kami dengan sesungguh-sungguhnya. Dan segala sesuatu telah Kami catat dalam suatu kitab. Karena itu rasakanlah. Dan segala sesuatu telah kami catat dalam suatu kitab. Karena itu rasakanlah. Dan Kami sekali-kali tidak akan menambah kepada kamu selain azab. (QS. 78:21-30).<br />
<br />
Denagn demikian, takut kepada Allah Swt memiliki kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan kita di dunia ini, karena itu setiap kita harus menanamkannya ke dalam jiwa yang harus teraplikasi dalam kedisiplinan hidup yang Islami agar akibat buruknya tidak terjadi pada diri kita masing-masing sebagaimana yang sudah terjadi pada generasi terdahulu seperti yang dikisahkan oleh Allah Swt di dalam Al-Qur'an.<br />
<br />
Oleh :<br />
Drs. H. Ahmad Yanisweetboyhttp://www.blogger.com/profile/01727959537351178770noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5997723159742571779.post-14360382718418822602011-02-05T20:42:00.000-08:002011-02-05T20:42:43.284-08:00MENGENAL ALLAH 'AZZA WA JALLAMENGENAL ALLAH 'AZZA WA JALLA<br />
<br />
Apabila anda ditanya: Siapakah Tuhanmu?<br />
Maka katakanlah: Tuhanku adalah Allah yang telah memelihara diriku dan memelihara semesta alam ini dengan segala ni'mat yang dikaruniakan-Nya. Dan Dialah sesembahanku, tiada sesembahan yang haq selain Dia.<br />
<br />
Allah SWT berfirman :"Segala puji hanya milik Allah SWT Tuhan Pemelihara semesta alam." (Surah Al Fatihah (1) : 1).<br />
Semua yang ada selain Allah SWT disebut Alam, dan aku adalah salah satu dari semesta alam ini.<br />
<br />
Selanjutnya jika anda ditanya: Melalui apa anda mengenal Tuhan?<br />
Maka hendaklah anda jawab: Melalui tanda-tanda kekuasaan-Nya dan melalui ciptaan-Nya. Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah: adanya malam, siang, matahari, dan bulan. Sedang di antara ciptaan-Nya ialah: tujuh langit dan bumi juga beserta segala makhluk yang ada di langit dan di bumi serta yang ada di antara keduanya.<br />
<br />
Firman Allah Ta'ala yang artinya :"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan. Janganlah kamu sujud kepada matahari dan janganlah (pula kamu sujud) kepada bulan, tetapi sujudlah kepada Allah yang telah menciptakan mereka, jika kamu benar-benar menyembah-Nya semata." (Surah Fushshilat (41) : 37).<br />
<br />
Dan firman-Nya yang artinya : "Sesungguhnya Tuhanmu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang, senantiasa mengikutinya dengan cepat. Dan (Dia ciptakan pula) matahari dan bulan serta bintang-bintang (semuanya) tunduk kepada perintah-Nya. Ketahuilah, hanya hak Allah mencipta dan memerintah itu. Mahasuci Allah Tuhan semesta alam." (Surah Al A'raaf (7) : 54).<br />
<br />
Tuhan inilah yang haq untuk disembah. Dalilnya firman Allah Ta'ala : "Wahai manusia! Sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa. Yaitu Tuhan yang telah menjadikan untukmu bumi sebagai hamparan dan langit sebagai atap, serta menurunkan air (hujan) dari langit lalu dengan air itu Dia mengeluarkan segala buah-buahan sebagai rizki untukmu. Karena itu janganlah kamu membuat sekutu-sekutu bagi Allah padahal kamu mengetahui." (Surah Al-Baqarah (2) : 21-22).<br />
<br />
Ibnu Katsir, Rahimahullah Ta'ala, mengatakan : "Hanya Pencipta segala sesuatu yang ada inilah yang berhak disembah dengan segala macam bentuk ibadah."<br />
<br />
Dan macam-macam ibadah yang diperintahkan Allah SWT itu antara lain: Islam, iman, ihsan, do'a, khauf (takut), raja` (mengharap), tawakkal, raghbah (penuh minat), rahbah (cemas), khusyu' (tunduk), khasyyah (takut), inabah (kembali kepada-Nya), isti'anah (memohon pertolongan), isti'adzah (meminta perlindungan), istighatsah (meminta pertolongan untuk dimenangkan atau diselamatkan), dzabh (penyembelihan), nadzar dan macam ibadah lainnya yang diperintahkan oleh Allah SWT.<br />
<br />
Allah SWT berfirman : "Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah, karena itu janganlah kamu menyembah seorang pun di samping menyembah Allah." (Surah Al-Jinn (72) : 18).<br />
<br />
Karena itu, barangsiapa yang menyelewengkan ibadah tersebut untuk selain Allah, maka dia adalah musyrik dan kafir. firman Allah Ta'ala yang berarti sebagai berikut : "Dan barangsiapa menyembah sesembahan yang lain di samping menyembah Allah, padahal tidak ada suatu dalil pun baginya tentang itu, maka benar-benar balasannya ada pada sesembahannya. Sungguh, tiada beruntung orang-orang kafir itu." (Surah Al-Mu`minun (23) : 117).<br />
<br />
Dalil macam-macam ibadah:<br />
<br />
1.<br />
<br />
Dalil do'a<br />
Firman Allah Ta'ala : "Dan Tuhanmu berfirman: "Berdo'alah kamu kepada-Ku niscaya akan Aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang enggan untuk beribadah kepada-Ku pasti akan masuk neraka dalam kekadaan hina." (Surah Ghaafir (40) : 60).<br />
Dan diriwayatkan dalam sebuah hadits : "Do'a itu adalah inti ibadah." (H.R. Tirmidzi).<br />
2.<br />
<br />
Dalil Khauf (takut)<br />
Firman Allah Ta'ala : "Maka janganlah kamu takut kepada mereka, tapi takutlah kepada-Ku jika kamu benar-benar orang yang beriman." (Surah Ali Imran (3) : 175).<br />
3.<br />
<br />
Dalil Raja` (mengharap)<br />
Firman Allah Ta'ala : "….maka barangsiapa yang mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal sholeh dan janganlah mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya." (Surah Al-Kahfi 18:110).<br />
4.<br />
<br />
Dalil Tawakkal (berserah diri) :<br />
Firman Allah Ta'ala : "…..dan bertawakkallah kamu hanya kepada Allah jika kamu benar-benar orang yang beriman." (Surah Al-Maidah (5) : 23).<br />
Juga firman-Nya yang artinya : "...dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah maka Dia-lah yang akan mencukupinya..." (Surah Ath-Thalaq (65) : 3).<br />
5.<br />
<br />
Dalil Raghbah (penuh minat)<br />
Firman Allah Ta'ala yang artinya : "…Sesungguhnya mereka itu senantiasa berlomba-lomba dalam (mengerjakan) kebaikan-kebaikan serta mereka berdo'a kepada kami dengan penuh minat (terhadap rahmat Kami) dan cemas (akan siksa Kami), sedang mereka itu selalu tunduk hanya kepada Kami." (Surah Al-Anbiyaa` (21) : 90).<br />
6.<br />
<br />
Dalil Khasyyah (takut)<br />
Firman Allah Ta'ala : "…Maka janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku..." (Surah Al-Baqoroh (2) : 150).<br />
7.<br />
<br />
Dalil Inabah (kembali kepada Allah)<br />
<br />
Firman Allah Ta'ala : "Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu serta berserah-dirilah kepada-Nya (dengan menta'ati perintah-Nya) sebelum datang adzab kepadamu kemudian kamu tidak dapat tertolong (lagi)." (Surah Az Zumar (39) : 54).<br />
8.<br />
<br />
Dalil Isti'anah ( memohon pertolongan )<br />
Firman Allah Ta'ala : "Hanya kepada Engkau-lah kami beribadah dan hanya kepada Engkau-lah kami memohon pertolongan." (Surah Al-Fatihah (1) : 4).<br />
Dan diriwayatkan dalam sebuah hadits : "Apabila kamu memohon pertolongan maka memohonlah pertolongan kepada Allah..." (H.R. Tirmidzi dan Ahmad).<br />
9.<br />
<br />
Dalil Isti'adzah (meminta perlindungan)<br />
Firman Allah Ta'ala : "Katakanlah: "Aku berlindung kepada Tuhan Yang menguasai subuh." (Surah Al-Falaq (113) : 1).<br />
Dan firman-Nya : "Katakanlah: "Aku berlindung kepada Tuhan manusia, Penguasa manusia." (Surah An-Naas 114:1).<br />
10.<br />
<br />
Dalil Istighatsah (meminta pertolongan untuk dimenangkan atau diselamatkan)<br />
Firman Allah Ta'ala : "(ingatlah) ketika kamu meminta pertolongan kepada Tuhanmu untuk dimenangkan (atas kaum musyrikin), lalu diperkenankan-Nya bagimu (permintaanmu itu)…" (Surah Al-Anfal 8:9).<br />
11.<br />
<br />
Dalil Dzabh (penyembelihan)<br />
Firman Allah Ta'ala : "Katakanlah: "Sesungguhnya sholatku, penyembelihanku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan semesta alam. Tiada satu pun sekutu bagi-Nya. Demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama kali berserah diri (kepada-Nya)..." (Surah Al-An'am (6) : 162-163).<br />
Dan dalilnya dari Sunnah : "Allah melaknat orang yang menyembelih (binatang) karena selain Allah SWT." (H.R. Muslim dan Ahmad).<br />
12.<br />
<br />
Dalil Nadzar<br />
Firman Allah Ta'ala : "Mereka menunaikan nadzar dan takut akan suatu hari yang siksanya merata di mana-mana." (Surah Al-Insaan (76) : 7).sweetboyhttp://www.blogger.com/profile/01727959537351178770noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5997723159742571779.post-81245675225313151772011-02-05T20:27:00.001-08:002011-02-05T20:30:28.408-08:00EMPAT TANDA MUSLIM JAHILIEMPAT TANDA MUSLIM JAHILI<br />
<br />
Salah satu konsekuensi seseorang menjadi muslim adalah meninggalkan segala bentuk nilai-nilai yang tidak Islami atau yang jahili. Karena itu setiap mu'min dituntut untuk masuk ke dalam Islam secara kaffah atau menyeluruh. Allah berfirman yang artinya: "Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu kedalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu" (QS 2:208).<br />
<br />
Ayat tersebut turun dengan sebab; ada sekelompok sahabat yang semula beragama Yahudi meminta kepada Nabi Saw agar dibolehkan merayakan atau memuliakan hari Sabtu dan menjalankan kitab Taurat. Maka turunlah ayat ini yang tidak membolehkan seseorang yang telah mengaku beriman tapi masih berprilaku sebagaimana prilakunya pada masa jahiliyah.<br />
<br />
Meskipun demikian, masih banyak dari orang-orang yang mengaku beriman tapi tidak meninggalkan kebiasaan-kebiasaan lama yang jahiliyah sehingga kepribadiannya masih bercampur dengan kepribadian jahiliyah, karenanya orang seperti itu pantas kita sebut dengan muslim yang jahili. Dari sekian banyak tandanya, Rasulullah Saw menyebutkan dalam satu hadits: "Empat perkara pada umatku dari perkara jahiliyah yang mereka tidak meninggalkannya, yaitu: membanggakan derajat keturunan, mencela keturunan, meminta hujan dengan binatang dan maratapi mayat" (HR. Muslim).<br />
<br />
Dari hadits di atas, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa dari sekian banyak tanda, ada empat tanda muslim jahiliyah yang disebutkan oleh Rasulullah Saw. Hal ini memang harus kita pahami dengan baik agar model kehidupan jahiliyah itu tidak kita jalani. Sahabat Umar bin Khattab pernah menyatakan: 'Kalau engkau hendak menghindari jahiliyah, kenalilah jahiliyah itu'.<br />
<br />
1. Membanggakan Keturunan.<br />
Kemuliaan dan ketaqwaan seseorang bukanlah diukur dengan keturunan dalam arti secara otomatis. Karena itu, kalau kita ingin membanggakan atau memuliakan seseorang, bukanlah karena keturunan, tapi karena iman dan prestasi amal shalehnya. Namun yang kita saksikan justeru sebaliknya. Tak sedikit orang yang terpilih menjadi pemimpin secara otomatis dengan sebab keturunan. Kalau bapak raja, maka anak secara otomatis akan menjadi raja meskipun sang anak belum tentu mampu menjadi raja, bahkan sebenarnya ada orang lain yang lebih pantas untuk menjadi raja. Begitulah dalam negara yang menggunakan sistim kerajaan.<br />
<br />
Disamping itu, membanggakan keturunan juga dalam bentuk tidak menghukum orang-orang keturunan ningrat atau yang “berdarah biru” bila mereka melakukan kesalahan, bahkan kesalahan itu cenderung ditutup-tutupi, sementara bila orang biasa melakukan kesalahan, maka hukuman yang ditimpakan kepadanya jauh lebih berat daripada kesalahan yang dilakukannya. Ketika para sahabat menanyakan soal ini, Rasulullah Saw menegaskan: Seandainya anakku, Fatimah mencuri, akan aku potong tangannya.<br />
<br />
2. Mencela Keturunan.<br />
Karena kemuliaan seseorang harus kita ukur dengan ketaqwaannya kepada Allah Swt, maka seorang muslim tidak dibenarkan mencela orang lain dengan sebab keturunan, misalnya kalau bapak atau ibunya tidak baik, maka kita menganggap anak-anaknya juga tidak baik, lalu kita mencelanya, dan begitulah seterusnya. Memang adakalanya bila orang tua tidak baik, anaknya juga ikut menjadi tidak baik, namun kita tidak bisa menganggap semuanya seperti itu.<br />
<br />
Pada masa jahiliyah, mencela keturunan memang biasa terjadi, bahkan seringkali permusuhan seseorang dengan orang lain akan turun-temurun kepada anak cucunya. Islam sangat tidak membenarkan perlakuan mencela orang lain, apalagi hanya karena keturunan, karena bisa jadi yang dicela sebenarnya lebih baik daripada yang mencela. Allah berfirman yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) itu lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokkan) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita-wanita lain karena boleh jadi wanita-wanita (yang diolok-olokkan) lebih baik dari wanita-wanita (yang mengolok-olokkan) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman, dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim (QS 49:11). 3. Meminta Hujan Dengan Binatang.<br />
Turunnya hujan yang cukup merupakan dambaan manusia dalam kehidupan di dunia ini, karena dengan demikian, disamping akan terpenuhinya kebutuhan air yang memang sangat penting bagi manusia, juga dapat terpenuhinya air bagi pertanian dan peternakan serta lingkungan hidup akan terasa lebih nyaman.<br />
<br />
Manakala terjadi kemara panjang, maka akan berakibat pada semakin panasnya suhu udara dan menipisnya persediaan air bagi manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan. Karena itu, Islam mengajarkan kepada kita untuk meminta hujan kepada Allah Swt dengan melaksanakan shalat istisqa.<br />
<br />
Namun dalam kehidupan masyarakat kita, terdapat budaya yang justeru bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri dalam kaitan meminta hujan, yakni meminta hujan melalui binatang, misalnya dengan menyiram kucing dengan air dan sebagainya. Perbuatan semacam ini bukan hanya mengganggu binatang, tapi juga dapat merusak keyakinan yang bersih, sesuatu yang harus selalu dipelihara oleh setiap muslim agar keyakinannya tidak bercampur dengan kemusyrikan. Karena itu, apalabila ada seorang muslim meminta hujan dengan perantaraan binatang, maka keyakinan dan prilakunya itu berarti masih bersifat jahiliyah. 4. Meratapi Mayat.<br />
Mati merupakan suatu hal yang biasa. Setiap kita pasti akan mencapai kematian, cepat atau lambat. Ketika ada anggota keluarga kita, orang-orang yang kita cintai atau tokoh masyarakat yang menjadi penutan kita dalam kebaikan meninggal dunia, kesedihan atas kematian mereka merupakan sesuatu yang mungkin saja terjadi. Bahkan Umar bin Khattab ketika dikhabarkan bahwa Rasulullah Saw wafat beliau merasa tidak percaya, karenanya dengan pedang di tangan, beliau menyatakan bahwa kalau ada yang menyatakan bahwa Rasulullah Saw sudah wafat akan aku tebas batang lehernya. Menghadapi hal itu, maka sabahat Abu Bakar Ash Shidik menenangkan Umar bin Khattab dan menegaskan bahwa Rasulullah memang telah wafat.<br />
<br />
Sedih atas kematian seseorang memang boleh saja, tapi kesedihan yang berlebihan sampai meratap dengan memukul-mukul badan, kepala, muka, menarik-narik rambut dan mengucapkan kata-kata yang menggambarkan tidak adanya rasa yakin atau percaya kepada Allah Swt merupakan sesuatu yang tidak bisa dibenarkan, karena itu, dala, kitab hadits Riyadush Shalihin, Rasulullah Saw menganggap orang seperti itu sebagai orang yang bukan umatnya, beliau bersabda yang artinya: "Bukan dari golonganku orang yang memukul-mukul pipi, merobek saku dan menjerit dengan suara kaum jahiliyah" (HR. Bukhari dan Muslim).<br />
<br />
Meratapi mayat terjadi karena seseorang tidak menerima kematian orang yang diratapinya itu, akibatnya karena memang kematiannya sudah tidak bisa ditolak lagi, maka diapun diperlakukan seperti layaknya orang yang masih hidup, misalnya dengan membangun kuburannya meskipun harus dengan biaya yang besar, berdo’a dengan meminta bantuan kepada orang yang sudah mati, berandai-andai kalau dia masih hidup hingga tidak berani meninggalkan wasiat-wasiatnya yang tidak benar sekalipun, bahkan ada kuburan yang diberi kelambu dan disediakan air minum di atasnya. Ini semua merupakan sesuatu yang tidak bisa dibenarkan di dalam Islam. Karenanya bila ada kaum muslimin melakukan hal itu, dia berarti masih melakukan praktek-paktek kejahiliyahan yang sangat tidak dibenarkan.<br />
<br />
Dengan demikian, harus kita sadari bahwa sebagai seorang muslim, semestinya kita menjauhi dan meninggalkan segala praktek kehidupan yang tidak sejalan dengan nilai-nilai Islam. Bila hal itu tetap saja kita kerjakan, bisa jadi keimanan dan keislaman kita hanya sebatas pengakuan yang belum tentu diakui oleh Allah Swt dan Rasul-Nya<br />
<br />
Oleh :<br />
Drs. H. Ahmad Yani<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://2.bp.blogspot.com/_kh_8PbxKh8Q/TU4j1Yn42_I/AAAAAAAAAM8/vHbqubv01J4/s1600/165648_183036588403757_100000922513571_401548_3815870_n.jpg" imageanchor="1" style="clear:left; float:left;margin-right:1em; margin-bottom:1em"><img border="0" height="300" width="400" src="http://2.bp.blogspot.com/_kh_8PbxKh8Q/TU4j1Yn42_I/AAAAAAAAAM8/vHbqubv01J4/s400/165648_183036588403757_100000922513571_401548_3815870_n.jpg" /></a></div>sweetboyhttp://www.blogger.com/profile/01727959537351178770noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5997723159742571779.post-45770576810301729872011-02-05T20:07:00.000-08:002011-02-05T20:07:31.059-08:00Ku persembahkan untuk Smk Al-Hikmah 1 BendaAqidah Islamiyah<br />
<br />
"Dan barangsiapa yang menta'ati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni'mat Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shaleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya" (QS. An-Nisa':69)<br />
<br />
Pendahuluan<br />
Nilai suatu ilmu itu ditentukan oleh kandungan ilmu tersebut. Semakin besar dan bermanfaat nilainya semakin penting untuk dipelajarinya. Ilmu yang paling penting adalah ilmu yang mengenalkan kita kepada Allah SWT, Sang Pencipta. Sehingga orang yang tidak kenal Allah SWT disebut kafir meskipun dia Profesor Doktor, pada hakekatnya dia bodoh. Adakah yang lebih bodoh daripada orang yang tidak mengenal yang menciptakannya?<br />
<br />
Allah menciptakan manusia dengan seindah-indahnya dan selengkap-lengkapnya dibanding dengan makhluk / ciptaan lainnya. Kemudian Allah bimbing mereka dengan mengutus para Rasul-Nya (Menurut hadits yang disampaikan Abu Dzar bahwa jumlah para Nabi sebanyak 124.000 semuanya menyerukan kepada Tauhid (dikeluarkan oleh Al-Bukhari di At-Tarikhul Kabir 5/447 dan Ahmad di Al-Musnad 5/178-179). Sementara dari jalan sahabat Abu Umamah disebutkan bahwa jumlah para Rasul 313 (dikeluarkan oleh Ibnu Hibban di Al-Maurid 2085 dan Thabrani di Al-Mu'jamul Kabir 8/139)) agar mereka berjalan sesuai dengan kehendak Sang Pencipta melalui wahyu yang dibawa oleh Sang Rasul. Namun ada yang menerima disebut mu'min ada pula yang menolaknya disebut kafir serta ada yang ragu-ragu disebut Munafik yang merupakan bagian dari kekafiran. Begitu pentingnya Aqidah ini sehingga Nabi Muhammad, penutup para Nabi dan Rasul membimbing ummatnya selama 13 tahun ketika berada di Mekkah pada bagian ini, karena aqidah adalah landasan semua tindakan. Dia dalam tubuh manusia seperti kepalanya. Maka apabila suatu ummat sudah rusak, bagian yang harus direhabilitisi adalah kepalanya lebih dahulu. Disinilah pentingnya aqidah ini. Apalagi ini menyangkut kebahagiaan dan keberhasilan dunia dan akherat. Dialah kunci menuju surga.<br />
<br />
Aqidah secara bahasa berarti sesuatu yang mengikat. Pada keyakinan manusia adalah suatu keyakinan yang mengikat hatinya dari segala keraguan. Aqidah menurut terminologi syara' (agama) yaitu keimanan kepada Allah, Malaikat-malaikat, Kitab-kitab, Para Rasul, Hari Akherat, dan keimanan kepada takdir Allah baik dan buruknya. Ini disebut Rukun Iman.<br />
<br />
Dalam syariat Islam terdiri dua pangkal utama. Pertama : Aqidah yaitu keyakinan pada rukun iman itu, letaknya di hati dan tidak ada kaitannya dengan cara-cara perbuatan (ibadah). Bagian ini disebut pokok atau asas. Kedua : Perbuatan yaitu cara-cara amal atau ibadah seperti sholat, puasa, zakat, dan seluruh bentuk ibadah disebut sebagai cabang. Nilai perbuatan ini baik buruknya atau diterima atau tidaknya bergantung yang pertama. Makanya syarat diterimanya ibadah itu ada dua, pertama : Ikhlas karena Allah SWT yaitu berdasarkan aqidah islamiyah yang benar. Kedua : Mengerjakan ibadahnya sesuai dengan petunjuk Rasulullah SAW. Ini disebut amal sholeh. Ibadah yang memenuhi satu syarat saja, umpamanya ikhlas saja tidak mengikuti petunjuk Rasulullah SAW tertolak atau mengikuti Rasulullah SAW saja tapi tidak ikhlas, karena faktor manusia, umpamanya, maka amal tersebut tertolak. Sampai benar-benar memenuhi dua kriteria itu. Inilah makna yang terkandung dalam Al-Qur'an surah Al-Kahfi 110 yang artinya : "Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Tuhannya."<br />
<br />
Perkembangan Aqidah<br />
Pada masa Rasulullah SAW, aqidah bukan merupakan disiplin ilmu tersendiri karena masalahnya sangat jelas dan tidak terjadi perbedaan-perbedaan faham, kalaupun terjadi langsung diterangkan oleh beliau. Makanya kita dapatkan keterangan para sahabat yang artinya berbunyi : "Kita diberikan keimanan sebelum Al-Qur'an"<br />
<br />
Nah, pada masa pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib timbul pemahaman -pemahaman baru seperti kelompok Khawarij yang mengkafirkan Ali dan Muawiyah karena melakukan tahkim lewat utusan masing-masing yaitu Abu Musa Al-Asy'ari dan Amru bin Ash. Timbul pula kelompok Syiah yang menuhankan Ali bin Abi Thalib dan timbul pula kelompok dari Irak yang menolak takdir dipelopori oleh Ma'bad Al-Juhani (Riwayat ini dibawakan oleh Imam Muslim, lihat Syarh Shohih Muslim oleh Imam Nawawi, jilid 1 hal. 126) dan dibantah oleh Ibnu Umar karena terjadinya penyimpangan-penyimpangan. Para ulama menulis bantahan-bantahan dalam karya mereka. Terkadang aqidah juga digunakan dengan istilah Tauhid, ushuluddin (pokok-pokok agama), As-Sunnah (jalan yang dicontohkan Nabi Muhammad), Al-Fiqhul Akbar (fiqih terbesar), Ahlus Sunnah wal Jamaah (mereka yang menetapi sunnah Nabi dan berjamaah) atau terkadang menggunakan istilah ahlul hadits atau salaf yaitu mereka yang berpegang atas jalan Rasulullah SAW dari generasi abad pertama sampai generasi abad ketiga yang mendapat pujian dari Nabi SAW. Ringkasnya : Aqidah Islamiyah yang shahih bisa disebut Tauhid, fiqih akbar, dan ushuluddin. Sedangkan manhaj (metode) dan contohnya adalah ahlul hadits, ahlul sunnah dan salaf.<br />
<br />
Bahaya Penyimpangan Pada Aqidah<br />
Penyimpangan pada aqidah yang dialami oleh seseorang berakibat fatal dalam seluruh kehidupannya, bukan saja di dunia tetapi berlanjut sebagai kesengsaraan yang tidak berkesudahan di akherat kelak. Dia akan berjalan tanpa arah yang jelas dan penuh dengan keraguan dan menjadi pribadi yang sakit personaliti. Biasanya penyimpangan itu disebabkan oleh sejumlah faktor diantaranya :<br />
<br />
1.<br />
<br />
Tidak menguasainya pemahaman aqidah yang benar karena kurangnya pengertian dan perhatian. Akibatnya berpaling dan tidak jarang menyalahi bahkan menentang aqidah yang benar.<br />
2.<br />
<br />
Fanatik kepada peninggalan adat dan keturunan. Karena itu dia menolak aqidah yang benar. Seperti firman Allah SWT tentang ummat terdahulu yang keberatan menerima aqidah yang dibawa oleh para Nabi dalam Surat Al-Baqarah 170 yang artinya : "Dan apabila dikatakan kepada mereka, "Ikutlah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami." (Apabila mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk."<br />
3.<br />
<br />
Taklid buta kepada perkataan tokoh-tokoh yang dihormati tanpa melalui seleksi yang tepat sesuai dengan argumen Al-Qur'an dan Sunnah. Sehingga apabila tokoh panutannya sesat, maka ia ikut tersesat.<br />
4.<br />
<br />
Berlebihan (ekstrim) dalam mencintai dan mengangkat para wali dan orang sholeh yang sudah meninggal dunia, sehingga menempatkan mereka setara dengan Tuhan, atau dapat berbuat seperti perbuatan Tuhan. Hal itu karena menganggap mereka sebagai penengah/arbiter antara dia dengan Allah. Kuburan-kuburan mereka dijadikan tempat meminta, bernadzar dan berbagai ibadah yang seharusnya hanya ditujukan kepada Allah. Demikian itu pernah dilakukan oleh kaumnya Nabi Nuh AS ketika mereka mengagungkan kuburan para sholihin. Lihat Surah Nuh 23 yang artinya : "Dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwa', Yaghuts, Ya'uq dan Nasr."<br />
5.<br />
<br />
Lengah dan acuh tak acuh dalam mengkaji ajara Islam disebabkan silau terhadap peradaban Barat yang materialistik itu. Tak jarang mengagungkan para pemikir dan ilmuwan Barat serta hasil teknologi yang telah dicapainya sekaligus menerima tingkah laku dan kebudayaan mereka.<br />
6.<br />
<br />
Pendidikan di dalam rumah tangga, banyak yang tidak berdasar ajaran Islam, sehingga anak tumbuh tidak mengenal aqidah Islam. Pada hal Nabi Muhammad SAW telah memperingatkan yang artinya : "Setiap anak terlahirkan berdasarkan fithrahnya, maka kedua orang tuanya yang meyahudikannya, menashranikannya, atau memajusikannya" (HR: Bukhari). <br />
<br />
Apabila anak terlepas dari bimbingan orang tua, maka anak akan dipengaruhi oleh acara / program televisi yang menyimpang, lingkungannya, dan lain sebagainya.<br />
<br />
7.<br />
<br />
Peranan pendidikan resmi tidak memberikan porsi yang cukup dalam pembinaan keagamaan seseorang. Bayangkan, apa yang bisa diperoleh dari 2 jam seminggu dalam pelajaran agama, itupun dengan informasi yang kering. Ditambah lagi mass media baik cetak maupun elektronik banyak tidak mendidik kearah aqidah bahkan mendistorsinya secara besar-besaran. <br />
<br />
Tidak ada jalan lain untuk menghindar bahkan menyingkirkan pengaruh negatif dari hal-hal yang disebut diatas adalah mendalami, memahami dan mengaplikasikan Aqidah Islamiyah yang shahih agar hidup kita yang sekali dapat berjalan sesuai kehendak Sang Khalik demi kebahagiaan dunia dan akherat kita, Allah SWT berfirman dalam Surah An-Nisa' 69 yang artinya : "Dan barangsiapa yang menta'ati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni'mat Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shaleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya."<br />
<br />
Dan juga dalam Surah An-Nahl 97 yang artinya : "Barangsiapa yang mengerjakan amal shaleh baik laki-laki maupun perempuan, dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan."<br />
<br />
Faedah Mempelajari Aqidah Islamiyah<br />
Karena Aqidah Islamiyah bersumber dari Allah yang mutlak, maka kesempurnaannya tidak diragukan lagi. Berbeda dengan filsafat yang merupakan karya manusia, tentu banyak kelemahannya. Makanya seorang mu'min harus yakin kebenaran Aqidah Islamiyah sebagai poros dari segala pola laku dan tindakannya yang akan menjamin kebahagiannya dunia akherat. Dan merupakan keserasian antara ruh dan jasad, antara siang dan malam, antara bumi dan langit dan antara ibadah dan adat serta antara dunia dan akherat. Faedah yang akan diperoleh orang yang menguasai Aqidah Islamiyah adalah :<br />
<br />
1.<br />
<br />
Membebaskan dirinya dari ubudiyah / penghambaan kepada selain Allah, baik bentuknya kekuasaan, harta, pimpinan maupun lainnya.<br />
2.<br />
<br />
Membentuk pribadi yang seimbang yaitu selalu kepada Allah baik dalam keadaan suka maupun duka.<br />
3.<br />
<br />
Dia merasa aman dari berbagai macam rasa takut dan cemas. Takut kepada kurang rizki, terhadap jiwa, harta, keluarga, jin dan seluruh manusia termasuk takut mati. Sehingga dia penuh tawakkal kepad Allah (outer focus of control).<br />
4.<br />
<br />
Aqidah memberikan kekuatan kepada jiwa , sekokoh gunung. Dia hanya berharap kepada Allah dan ridho terhadap segala ketentuan Allah.<br />
5.<br />
<br />
Aqidah Islamiyah adalah asas persaudaraan / ukhuwah dan persamaan. Tidak beda antara miskin dan kaya, antara pinter dan bodoh, antar pejabat dan rakyat jelata, antara kulit putih dan hitam dan antara Arab dan bukan, kecuali takwanya disisi Allah SWT.sweetboyhttp://www.blogger.com/profile/01727959537351178770noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5997723159742571779.post-44605752525851506222011-02-04T19:22:00.000-08:002011-02-04T19:22:12.935-08:00wanita sholeh<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://4.bp.blogspot.com/_kh_8PbxKh8Q/TUzCT90iHuI/AAAAAAAAAMs/d3EtUgk5zpc/s1600/pizap.com12967311055512.jpg" imageanchor="1" style="margin-left:1em; margin-right:1em"><img border="0" height="300" width="400" src="http://4.bp.blogspot.com/_kh_8PbxKh8Q/TUzCT90iHuI/AAAAAAAAAMs/d3EtUgk5zpc/s400/pizap.com12967311055512.jpg" /></a></div><br />
<br />
Ciri-Ciri Wanita Solehah<br />
<br />
Tahukah anda bagaimana ciri-ciri wanita solehah?<br />
<br />
Iaitu ciri-ciri wanita yang diredhai ALLAH. Wanita yang menyejukkan hati mata yang memandang. Bisa menginsafkan dan menundukkan nafsu mereka yang berhati goyah.<br />
<br />
(Cerita ini diubahsuai semula berdasarkan saranan dan hukum Al-Quran & Hadis)<br />
<br />
Marilah kita bersama-sama perhatikan sekelumit kisah ringkas berikut...<br />
<br />
Seorang gadis kecil bertanya kepada ayahnya, "Ayah ceritakanlah padaku perihal muslimah yang sejati?"<br />
<br />
Si ayah pun menolehkan mukanya seraya melontarkan senyuman manisnya ke arah anak kecilnya itu.<br />
<br />
"Anakku...Seorang muslimah yang sejati bukanlah dilihat dari kecantikan dan keayuan paras wajahnya semata-mata. Wajahnya hanyalah satu peranan yang teramat kecil sahaja. Tetapi, muslimah yang sejati dilihat dari kecantikan dan ketulusan hatinya yang tersembunyi. Itulah yang terbaik."<br />
<br />
Allah tidak melihat kepada tubuh kalian dan tidak pula kepada bentuk kalian. Allah hanya melihat kepada hati dan perbuatan kalian. (Hadis riwayat Muslim)<br />
<br />
Si ayah terus menyambung.<br />
<br />
"Muslimah sejati juga tidak dilihat dari bentuk tubuh badannya yang mempersonakan, tetapi dilihat dari sejauh mana ia menutupi bentuk tubuhnya yang mempersona itu. Muslimah sejati bukanlah dilihat dari sebanyak manakah kebaikan yang diberikannya, tetapi dari keikhlasan ketika ia memberikan segala kebaikan itu. Muslimah sejati bukanlah dilihat dari seberapa indah lantunan suaranya, tetapi dilihat dari apa yang sering mulutnya bicarakan. Muslimah sejati bukan dilihat dari keahliannya berbahasa, tetapi dilihat dari bagaimana caranya ia berbicara dan berhujjah kebenaran."<br />
<br />
Berdasarkan ayat 31, surah An-Nuur, Abdullah ibn Abbas, Ibn Omar, Atha, Ikramah dan lain-lainnya berpendapat: Seseorang wanita Islam hanya boleh mendedahkan wajah, dua tapak tangan dan cincinnya di hadapan lelaki yang bukan mahramnya. (As-Syeikh Said Hawa di dalam kitabnya Al-Asas fit Tafsir)<br />
<br />
"Janganlah perempuan-perempuan itu terlalu lunak dalam berbicara sehingga berkeinginan (menghairahkan) orang yang ada perasaan dalam hatinya, tetapi ucapkanlah perkataan-perkataan yang baik." (Surah Al-Ahzab : 32)<br />
<br />
Si ayah diam sejenak sambil melihat kepada wajah manis puteri kecilnya itu.<br />
<br />
"Lantas apa lagi ayah?" Sahut puteri kecil terus ingin tahu.<br />
<br />
"Ketahuilah wahai puteriku... Muslimah sejati bukan dilihat dari keberaniannya dalam berpakaian grand tetapi dilihat dari sejauh mana ia berani mempertahankan kehormatannya melalui apa yang dipakainya. Muslimah sejati bukan dilihat dari kekhuwatirannya digoda orang di tepi jalanan tetapi dilihat dari kekhuwatiran dirinyalah yang mengundang orang lain jadi tergoda. Muslimah sejati bukanlah dilihat dari seberapa banyak dan besarnya ujian yang ia jalani tetapi dilihat dari sejauh mana ia menghadapi ujian itu dengan penuh rasa redha dan kehambaan kepada TUHAN-nya. Dan ia sentiasa bersyukur dengan segala kurniaan yang diberikan."<br />
<br />
"Dan katakanlah kepada perempuan-perempuan mukmin, hendaklah mereka menundukkan pandangan mereka dan menjaga kemaluan mereka (tidak berzina atau mendekati zina)." (Surah An-Nuur : 31)<br />
<br />
"Dan ingatlah anakku...Muslimah sejati bukanlah dilihat dari sifat mesranya dalam bergaul, tetapi dilihat dari sejauh mana ia mampu menjaga kehormatan dirinya dalam bergaul."<br />
<br />
"Sesungguhnya kepala yang ditusuk dengan besi itu lebih baik daripada menyentuh kaum yang bukan sejenis yang tidak halal baginya" (Hadis Riwayat At-Tabrani dan Baihaqi)<br />
<br />
Setelah itu si anak kembali bertanya, "Siapakah yang memiliki kriteria seperti itu ayah? Bolehkah saya menjadi sepertinya? Mampukah dan layakkah saya ayah?"<br />
<br />
Si ayah memberikannya sebuah buku dan berkata, "Pelajarilah mereka! Supaya kamu berjaya nanti. INSYA ALLAH kamu juga boleh menjadi muslimah yang sejati dan wanita yang solehah kelak. Malah, semua wanita boleh."<br />
<br />
Si anak pun segera mengambil buku tersebut lalu terlihatlah sebaris perkataan berbunyi ISTERI RASULALLAH<br />
<br />
Apabila seorang perempuan itu sembahyang lima waktu, puasa di bulan Ramadhan, menjaga<br />
kehormatannya dan mentaati suaminya, maka masuklah ia ke dalam syurga daripada pintu-pintu yang ia kehendakinya." (Riwayat Al-Bazzar)<br />
<br />
HAH! Tengok tu, isteri Rasulullah beb... bukannya Siti Nurhaliza, bukannya Britney Spears, bukannya Ning Baizura, dan apatah lagi Jennifer 'Kueh Lopez'...Ciri-ciri Istri Sholehah<br />
1. Berdiam diri sambil mendengar bila suaminya sedang bercakap.<br />
<br />
2. Sentiasa mentaati perintah suami selagi perintah itu bukan maksiat.<br />
<br />
3. Tidak mengerjakan puasa sunat melainkan dengan izin suami.<br />
<br />
4. Reda dengan setiap pemberian suami walaupun barang itu tidak mahal.<br />
<br />
5. Tidak menolak ajakan suami bila ia ingin bermesra dengannya.<br />
<br />
6. Tidak meninggalkan rumah melainkan dengan izin suami.<br />
<br />
7. Tidak berlaku curang bila ketiadaan suami.<br />
<br />
8. Amanah pada anak-anak dan juga harta suami bila ditinggalkan.<br />
<br />
9. Sentiasa bersyukur sama ada menerima nikmat atau pun dugaan dari Allah.<br />
<br />
10. Tidak meminta sesuatu yang suami tidak mampu menunaikannya.<br />
<br />
11. Menghormati keluarga suami dan juga kaum kerabatnya.<br />
<br />
12. Sentiasa berhias diri bila di hadapan suami sebaliknya tidak berhias bila ketiadaan suami.<br />
<br />
13. Memakai bau-bauan untuk suami semasa di rumah.<br />
<br />
14. Sentiasa bersikap malu terhadap suaminya.<br />
<br />
15. Menutup penglihatannya ketika di hadapan suami begitu juga ketika ketiadaannya.<br />
<br />
16. Menghantarkan suaminya ke muka pintu bila ia hendak keluar dan menyambutnya bila ia pulang dengan senyuman.<br />
<br />
17. Mendahulukan keperluan suami dari keperluannya sendiri.<br />
<br />
18. Sentiasa menjaga nama dan maruah suami.<br />
<br />
19. Sentiasa menjaga kesihatan, kebersihan dan kesempurnaan diri serta rumahtangganya.<br />
<br />
20. Melaksanakan tugas sebagai seorang isteri dan ibu serta segala perintah Allah dan suami dengan tabah dan sabar<br />
<br />
Nasihat Rasulullah kepada wanita...........<br />
1. Dunia ini ialah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan iaitu wanita(isteri) yang solehah.<br />
(Riwayat Muslim)<br />
<br />
2. Mana-mana perempuan yang memakai bau-bauan kemudian iakeluar melintasi kaum lelaki ajnabi,agar mereka mencium bau harumnya,maka iaadalah perempuan zina,dan tiap-tiap mata yang memandang itu adalah zina.(Riwayat Ahmad,Thabrani dan Hakim)<br />
<br />
3. Dikahwini wanita itu kerana empat perkara:keranahartanya,kerana keturunannya,kerana kecantikannyadan kerana agamanya.Maka carilah yang kuat beragama,nescaya kamu beruntung.<br />
<br />
4. Wanita apabila ia sembahyang lima waktu,puasa seblanRamadhan,memelihara kehormatan serta taat pada suami,maka masuklah mana-manapinu syurga yang ia kehendaki.<br />
(RiwayatAhmad Ibnu Hibban,Thabrani,Anas bin Malik)<br />
<br />
5. Permpuan yang melabuhkan pakaian dalam keadaan berhiasbukan untuk suaminya dan muhrimnya adalah seumpama gelap gelita di harikiamat,tiada nur baginya.(Riwayat Termizi)<br />
<br />
6. Apabila lari seorang wanita dari rumah suaminya,tidakditerima sembahyangnya sehingga ia kembali dan menghulurkan tangan kepadasuaminya (meminta maaf). (Riwayat dari Hassan)<br />
<br />
7. Wanita yang taat pada suami,semua burung-burung diudara,ikan di air,malaikat di langit,matahari dan bulan semuanya beristighfarbaginya selama ia masih taat pada suaminya dan diredhainya (serta menjagasembahyang dan puasanya.(Riwayat Muaz bin Jabal)<br />
<br />
8. Mana-mana wanita yang berdiri di atas kakinya membakar rotiuntuk suaminya hingga muka dan tangannya kepanasan oleh api,maka diharamkanmuka dan tangannya dari bakaran ap neraka.Tiap-tiap wanita yang menolongsuaminya di dalam urusan agama,maka Allah memasukkannya dalam syuga lebihdahulu dari suaminya(sepuluh ribu tahun) kerana dia memuliakan suaminya didunia maka mendapat pakaian dan bau-bauan syurga untuk turun ke mahligaisuaminya dan menghadapnya.Ya Fatimah,jika seorang wanita meminyakkan rambutsuaminya dan janggutnya dan memotong misainya dan mengerat kukunya,memberi<br />
minum Allah akan dia sungaisyurga,diiringi Allah baginya sakaratul maut dan akan didapati kubur menjadisebuah taman dari taman-taman syurga serta mencatatkan Allah baginya kelepasandari nerakan dan selamatlah ia melintasi titian Siratul-mustaqim.<br />
(Riwayat Muaz bin Jabal)<br />
<br />
9. Mana-mana wanita yang berkata kepada suaminya "tidakpernah aku dapat dari engkau satu kebajikan pun".Maka Allah akan hapuskanamalannya selama 70 tahun,walaupun ia berpuasa siang hari dan beribadah padamalam hari.<br />
<br />
10. Apabila wanita mengandung janin dalamrahimnya,maka beristighfarlah para malaikat untuknya,Allah mencatatkan baginyasetiap hari seribu kebajikan dan menghapus baginya seribu kejahatan.Apabilawanita mulai sakit untuk bersalin,Allah mencatatkan baginya pahala orang yangberjihad pada jalan Allah.Apabila wanita melahirkan anak keluarlah dosa-dosadarinya seperti keadaan ibunya melahirkannya.sweetboyhttp://www.blogger.com/profile/01727959537351178770noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5997723159742571779.post-7021611040922368392011-01-30T00:41:00.000-08:002011-01-30T00:41:45.522-08:00Ketika anak dewasaKETIKA ANAKKU DEWASA…<br />
21-01-2011 / 13:06:22<br />
Seharusnya berdoa agar putra putrinya tumbuh menjadi pribadi yang shaleh dan shalehah karena cuma hal itulah yang akan menyelamatkan mereka dari godaan dunia dan siksaan api neraka...<br />
<br />
<br />
Ingin jadi apa anak Anda kelak ketika dewasa? Jawaban pertanyaan tersebut tentu saja beragam. Sebagian orangtua mengharapkan anaknya tumbuh menjadi seorang dokter. Alasannya, agar ia kelak dapat menjamin kesehatan mereka ketika memasuki usia senja. Alasan lain, tentu saja karena dengan menjadi dokter, sang anak akan mudah mendapatkan uang sehingga masa depannya lebih terjamin.<br />
<br />
Ada orangtua yang mengharapkan anaknya menjadi tentara. Alasannya adalah agar ia dapat mengabdikan jiwa dan raganya kepada nusa dan bangsa. Bukankah menjadi kebanggaan tersendiri ketika melihat anak berada di garis depan dalam mempertahankan keutuhan negaranya? Ketika gugur dalam menjalankan tugasnya, orangtua akan bangga karena anaknya akan dikenang sebagai pahlawan bangsa.<br />
<br />
Ada pula orangtua yang menginginkan anaknya menjadi guru atau dosen. Alasannya tentu saja karena menjadi tenaga pengajar adalah profesi yang sangat mulia. Bagaimana tidak, tugas pengajar adalah mencerdaskan anak bangsa. Maju dan tidaknya sebuah bangsa turut pula ditentukan oleh kualitas pendidik anak-anak bangsa tersebut. Selain itu, dengan menjadi tenaga pengajar, anak akan memiliki bekal jariyah untuk kehidupannya kelak di akhirat.<br />
<br />
Dan yang akhir-akhir ini menggejala adalah adanya sebagian orangtua yang menginginkan agar anaknya kelak menjadi artis. Menjamurnya ajang pencarian bakat saat ini memungkinkan hal tersebut meski sang anak berada jauh dari kota besar. Ya, untuk menjadi artis tidak harus orang kota yang lahir dan besar di kota tersebut. Mewahnya kehidupan artis seperti yang diberitakan di televisi pun membuat banyak orangtua tergiur dan mendorong anaknya untuk menjadi artis.<br />
<br />
Tentu saja, masih banyak profesi lain yang diinginkan orangtua untuk anaknya ketika mereka dewasa. Tidak ada yang salah dengan semua profesi tersebut dan tidak ada yang salah pula dengan semua harapan orangtua tersebut.<br />
<br />
Namun demikian, ada satu hal yang terlupakan oleh para orangtua ketika membicarakan cita-cita anaknya kelak. Ya, kebanyakan dari mereka berbicara materi, entah itu penghasilan ataupun ketenaran. Banyak orangtua lupa bahwa anak membutuhkan lebih dari itu untuk kebaikan hidupnya di dunia ini, terlebih bila kita berbicara akhirat.<br />
<br />
Berkaca pada realitas saat ini yang penuh dengan problematika sosial, hendaknya orangtua mengharapkan lebih dari sekadar materi dan ketenaran bagi kehidupan anaknya kelak. Orangtua juga harus bercita-cita agar anaknya kelak menjadi orang yang baik akhlaknya dan kuat kadar keimanannya.<br />
<br />
Bukan bermaksud sinis, namun saat ini semakin sulit saja kita menemukan orang baik di negeri tercinta ini. Kita tentu tidak lupa dengan terbongkarnya kasus korupsi atau skandal artis yang terkuak akhir-akhir ini, bukan?<br />
<br />
Ketika melihat berita penangkapan koruptor di televisi, hal yang paling membuat miris hati penulis adalah perasaan keluarga sang koruptor. Penulis tidak bisa membayangkan perasaan orangtua sang pengemplang pajak (yang usianya tidak terlalu jauh dengan usia penulis). Tentu saja, orangtuanya tidak pernah membayangkan bahwa suatu saat anaknya menjadi bulan-bulanan media karena tingkah polahnya yang gemar menyuap dan disuap.<br />
<br />
Ada pula artis yang terlihat sebagai anak manis dan dielu-elukan sebagian besar kawula muda karena karya-karyanya di dunia hiburan yang memang banyak diterima di hati penggemarnya kemudian tersandung kasus video porno. Meski pada awalnya kita berusaha untuk tidak mempercayai kebenaran hal tersebut, tapi toh beragam bukti membenarkannya.<br />
<br />
"Malu itu sudah pasti, tapi yang lebih menyakitkan hati orangtua adalah melihat kegagalannya mendidik sang anak. Perjuangannya selama ini membesarkan anak dengan cucuran keringat, air mata, bahkan darah sepertinya tidak berarti demi melihat anaknya dihujat seperti itu. Menyadari tidak ada lagi yang dapat diperbuat untuk memperbaiki kesalahan yang telah diperbuat sang anak, orangtua pun hanya bisa menyesal dan menyalahkan diri sendiri."<br />
<br />
<br />
Tidak mau hal tersebut terjadi pada diri Anda, sebaiknya mulai saat ini berdoalah agar kelak anak tumbuh menjadi dokter yang berjiwa penyayang, tentara yang berakhlak mulia, guru atau dosen yang amanah, serta artis yang tidak larut dalam gelombang hedonisme.<br />
<br />
Lebih dari itu semua, orangtua hendaknya senantiasa berdoa agar putra putrinya tumbuh menjadi pribadi yang shaleh dan shalehah karena cuma hal itulah yang akan menyelamatkan mereka dari godaan dunia dan siksaan api neraka. [Muslik]<br />
<br />
Sumber : Fokus Majalah PI (MAPI) 01/2011<br />
Author : MAPI Percikan Iman <div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://1.bp.blogspot.com/_kh_8PbxKh8Q/TUUkQL0VSAI/AAAAAAAAAL4/72Y2nbjHqpk/s1600/168989_181881668519249_100000922513571_395533_7980348_n.jpg" imageanchor="1" style="margin-left:1em; margin-right:1em"><img border="0" height="300" width="400" src="http://1.bp.blogspot.com/_kh_8PbxKh8Q/TUUkQL0VSAI/AAAAAAAAAL4/72Y2nbjHqpk/s400/168989_181881668519249_100000922513571_395533_7980348_n.jpg" /></a></div>sweetboyhttp://www.blogger.com/profile/01727959537351178770noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5997723159742571779.post-13727480189518019932011-01-30T00:37:00.000-08:002011-01-30T00:37:10.752-08:00Membina Naluri Seks<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://2.bp.blogspot.com/_kh_8PbxKh8Q/TUUjLd55TvI/AAAAAAAAALw/WoqhOpHiXXc/s1600/165123_182352105138872_100000922513571_398119_8341901_n.jpg" imageanchor="1" style="margin-left:1em; margin-right:1em"><img border="0" height="300" width="400" src="http://2.bp.blogspot.com/_kh_8PbxKh8Q/TUUjLd55TvI/AAAAAAAAALw/WoqhOpHiXXc/s400/165123_182352105138872_100000922513571_398119_8341901_n.jpg" /></a></div><br />
<br />
19-07-2010 / 06:47:00<br />
Semoga Allah menjadikan kita diantara orang-orang yang sukses dalam menghadapi ujian ini. Amin Ya Rabbal Alamin<br />
<br />
<br />
“Seks” kata ini mungkin bagi sebagian orang masih terdengar tabu untuk dibicarakan, namun sebagian kalangan kata seks ini merupakan suatu kata yang lumrah diperbincangkan.<br />
<br />
Dengan perkembangan teknologi saat ini, informasi mengenai apapun sangat mudah sekali didapat mulai dari yang positif hingga yang negative sekalipun. Hingga orang tua terkadang kewalahan dalam memantau perkembangan anak-anaknya. Namun jangan salah pengetahuan mengenai seks juga perlu disampaikan kepada anak, agar anak tidak salah dalam melangkah.<br />
<br />
Keinginan seksual adalah suatu naluri yang dititipkan Allah dalam diri manusia baik lelaki maupun perempuan dengan tujuan agar keduanya bertemu dalam suatu suasana yang diwarnai oleh rasa kasih sayang, ketentraman jiwa, serta untuk melahirkan keturunan. Naluri alamiah ini tidak disikapi oleh agama dengan sebuah permusuhan, akan tetapi agama mengarahkannya untuk suatu hikmah tertentu dan berupaya mewujudkannya secara nyata apabila saatnya sudah tiba.<br />
<br />
Sensitivitas seksual biasanya masih lemah dikalangan anak-anak, tetapi ini akan terus berkembang diusia puber dengan tanda-tanda kejantanan dan kefemininan seseorang. Namun, dari “Masa puber” inilah naluri seks mulai muncul.<br />
<br />
Masa Puber adalah suatu fase yang dilalui antara kematangan jasmani, kematangan jiwa dan ekonomi. Pada masa-masa ini seorang remaja tidak mengerti apa yang harus ia lakukan dan bagaimana mensinkronkan antara dorongan jiwa dan larangan. Dalam kondisi seperti ini, seseorang sangat membutuhkan adanya orang yang membimbing dan mengarahkannya untuk menjaga kesucian dirinya.<br />
<br />
Namun terkadang sangat disayangkan, yang didapatkan adalah kebungkaman karena dianggap tidak penting. Padahal dengan tidak ada yang mau bebicara atau memberikan pengarahan gembong perusak moral mendapatkan kesempatan emas untuk menggoda dan melakukan perbuatan keji.<br />
<br />
Seks juga bukan hanya milik mereka yang baru mengalami pubertas, namun juga mereka yang sudah berkeluarga. Dorongan Seks menjadi salah satu pemicu terjadinya perselingkuhan atau perceraian. Jika kita perhatikan, banyak sekali rumah tangga yang diuji dengan himpitan ekonomi namun mereka bisa bertahan, namun ketika diuji oleh kesetiaan, atau terjadinya perselingkuhan, sedikit sekali yang bisa bertahan. Betapa besar efek dari naluri seks yang tidak terbina dengan baik.<br />
<br />
Islam memberikan solusi dalam menghadapi masalah pubertas dan memberikan beberapa nasihat agar mereka dapat melewati fase ini dengan baik dan sukses. Allah SWT berfirman:<br />
وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّى يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَالَّذِينَ يَبْتَغُونَ الْكِتَابَ مِمَّا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ فَكَاتِبُوهُمْ إِنْ عَلِمْتُمْ فِيهِمْ خَيْرًا وَآتُوهُمْ مِنْ مَالِ اللَّهِ الَّذِي آتَاكُمْ وَلا تُكْرِهُوا فَتَيَاتِكُمْ عَلَى الْبِغَاءِ إِنْ أَرَدْنَ تَحَصُّنًا لِتَبْتَغُوا عَرَضَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَمَنْ يُكْرِهُّنَّ فَإِنَّ اللَّهَ مِنْ بَعْدِ إِكْرَاهِهِنَّ غَفُورٌ رَحِيمٌ<br />
<br />
<br />
"dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. dan budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat Perjanjian dengan mereka[1036], jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu[1037]. dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari Keuntungan duniawi. dan Barangsiapa yang memaksa mereka, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu[1038]." (Q.S An Nuur[24]: 33)<br />
<br />
[1036] Salah satu cara dalam agama Islam untuk menghilangkan perbudakan, Yaitu seorang hamba boleh meminta pada tuannya untuk dimerdekakan, dengan Perjanjian bahwa budak itu akan membayar jumlah uang yang ditentukan. Pemilik budak itu hendaklah menerima Perjanjian itu kalau budak itu menurut penglihatannya sanggup melunasi Perjanjian itu dengan harta yang halal.<br />
[1037] Untuk mempercepat lunasnya Perjanjian itu hendaklah budak- budak itu ditolong dengan harta yang diambilkan dari zakat atau harta lainnya.<br />
[1038] Maksudnya: Tuhan akan mengampuni budak-budak wanita yang dipaksa melakukan pelacuran oleh tuannya itu, selama mereka tidak mengulangi perbuatannya itu lagi.<br />
<br />
Islam memberikan jalan keluar, bagaimana membina naluri seks diantaranya adalah:<br />
<br />
1. Hindari pandangan dari hal-hal yang bisa merangsang untuk melakukan perbuatan haram.<br />
2. Konsentrasikan pikiran untuk mendalami ilmu pengetahuan.<br />
3. Menjaga shalat dengan baik.<br />
4. Selalu ingat pengawasan Allah terhadap diri.<br />
5. Bergaul dengan orang-orang yang baik.<br />
6. Mengisi waktu senggang dengan hal-hal yang bermanfaat.<br />
7. Jangan memberikan diri kesempatan untuk berkhalwat (berdua-duaan)<br />
<br />
Sahabat, yang dirahmati Allah SWT jangan sampai hidup kita dirusak oleh kenikmatan sesaat. Bayangkan anda adalah seseorang yang sedang dalam tahap pendidikan di laboratorium, di ruang kuliah, di perpustakaan, dan sibuk menghafal pelajaran dengan sungguh-sungguh, atau anda adalah seseorang yang sedang meniti karier, sibuk merencanakan presentasi di depan rekan-rekan kerja hingga itu menyita semua waktu anda.<br />
<br />
Di sela-sela kesibukan anda, kegiatan olahraga atau berkumpul dengan keluarga harus anda tinggalkan, lalu mengkonsentrasikan pikiran anda hanya pada seks?Membuat rencana dan melaksanakan perbuatan yang haram dan terkutuk serta selalu disertai dengan keluh kesah, penderitaan dan murka dari Allah.<br />
<br />
Dan menutup pintu ilmu sehingga menjadi anggota masyarakat yang rusak merugi di dunia dan akhirat?<br />
<br />
Orang-orang yang selalu mengerjakan perbuatan munkar akan berusaha mengasingkan diri dan menjauh dari orang banyak, karena takut rahasianya terbongkar.<br />
<br />
Tidak ada pilihan lain selain menutup pendengaran dan pandangan dari segala sesuatu yang dapat mengarahkan pada perbuatan yang keji. Sibukan diri dengan ilmu pengetahuan dan olahraga, mohon pertolongan kepada Allah dengan sikap sabar, mengerjakan shalat dan bergaul dengan orang-orang yang shaleh. Semoga Allah menjadikan kita diantara orang-orang yang sukses dalam menghadapi ujian ini. Amin Ya Rabbal Alamin.<br />
<br />
Semoga bermanfaat ---iRm@---<br />
<br />
Author : PercikanIman.ORGsweetboyhttp://www.blogger.com/profile/01727959537351178770noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5997723159742571779.post-25565478199075749462011-01-22T23:17:00.000-08:002011-01-22T23:17:06.050-08:00Pasang Badge FB di Blog<br />
<br />
Sudah mendaftar di Facebook? Sudah sering menulis atau memberikan update status di Facebook? Sudah punya blog? Dan Memakai platform blogspot? Nah pada kesempatan kali ini saya akan menulis artikel tentang cara pemasangan badge/lencana/status Facebook di blogspot. Badge kalau di dalam Facebook yang menggunakan bahasa Indonesia diartikan sebagai lencana Facebook. Jika masih belum tahu apa itu badge/lencana Facebook, silahkan melihat di sidebar blog saya ini. Disitu ada Facebook Badge bukan? Semacam itulah yang dinamakanbadge/lencana Facebook.<br />
<br />
Dengan memasang badge Facebook di blogspot, maka setiap kali kita mengupdate status di Facebook setiap kali itu juga status Facebook tersebut akan ditampilkan di badge tersebut. Cukup menarik bagi yang sudah ketagihan dengan Facebook dan sudah memiliki blog. Tujuannya apasih? Mungkin tujuan yang paling narsis adalah mempopulerkan diri kita sendiri...hehe... :)<br />
<br />
Badge/lencana Facebook tersebut sebenarnya merupakan sebuah kode script javascript, jadi intinya kita hanya mengambil kode yang telah disediakan oleh Facebook dan langsung memasangnya ke blog kita. OK, daripada muter-muter tidak tentu arah lebih baik langsung saja saya berikan tutorial cara pemasangan status/badge/lencana Facebook di blogspot.<br />
<br />
<br />
<br />
Pengambilan kode javascript badge/lencana/status di Facebook (saya asumsikan Facebooknya menggunakan bahasa Inggris):<br />
<br />
* Login ke akun Facebook<br />
* Pilih menu tab Profil<br />
* Klik link "Create a Profile Badge" (sebelah kiri paling bawah, dibawah daftar teman/friends)<br />
* Nah silahkan copy paste kode javascript yang disediakan, dibawah tulisan "Copy and paste the following HTML into your webpage:"<br />
<br />
Oia, kita juga bisa melakukan pengeditan terhadap badge kita. Maksudnya adalah kita diberikan opsi apa saja yang ingin ditampilkan di badge Facebook kita. Caranya silahkan klik "Edit this badge". Ada banyak sekali bagian atau opsi yang bisa kita tampilkan ke dalam lencana/badge Facebook kita, silahkan klik "Add Item" untuk melakukan penambahan item yang ingin ditampilkan. Selain itu layout badge juga bisa kita pilih antara horisontal dan vertikal, sebagai contoh badge Facebook saya yang terletak di blog ini adalah layout vertikal.<br />
<br />
Jika sudah selesai melakukan pengeditan badge Facebook, jangan lupa klik "Save". Dan silahkan diambil kode javascript badge Facebook yang telah Anda buat.<br />
<br />
Pemasangan Badge/Lencana/Status Facebook di Blogspot:<br />
<br />
* Sampai langkah ini berarti Anda sudah mempunyai atau mengambil kode javascript badge Facebook.<br />
* Silahkan login ke akun blogger Anda.<br />
* Masuk menu tab Layout --> Page Element<br />
* Silahkan tambahkan element/widget baru dengan tipe Javascript/HTML<br />
* Letakkan kode javascript badge Facebook Anda<br />
* Dan terakhir jangan lupa klik "Save"<br />
<br />
Selamat!! Anda telah berhasil...!!! Demikian artikel sederhana tentang cara pemasangan badge/lencana/status Facebook di blogspot, semoga bermanfaat...Cheer... :)<br />
<br />
Sumber : http://kampung-blogger.blogspot.com/2009/09/cara-memasang-badge-status-facebook-di.html<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://2.bp.blogspot.com/_kh_8PbxKh8Q/TTvVz6-9u_I/AAAAAAAAALY/3KwTfcOH-9c/s1600/166689_180581378649278_100000922513571_389784_4998129_n.jpg" imageanchor="1" style="margin-left:1em; margin-right:1em"><img border="0" height="400" width="369" src="http://2.bp.blogspot.com/_kh_8PbxKh8Q/TTvVz6-9u_I/AAAAAAAAALY/3KwTfcOH-9c/s400/166689_180581378649278_100000922513571_389784_4998129_n.jpg" /></a></div>sweetboyhttp://www.blogger.com/profile/01727959537351178770noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5997723159742571779.post-83237203143738208612011-01-21T18:51:00.000-08:002011-01-23T03:19:39.772-08:00DTTG1. Photobucket <br />
8. Fake Magazine Cover 9. MagMyPic<br />
2. Flickr 10. My Heritage Face Recognition<br />
3. ImageShack <br />
11. Personalized money<br />
4. iimmgg 12. Photo 505<br />
5. Pict 13. FotoTrix - Image Generator<br />
6. imgPlace 14. Pizap<br />
7. Free Image Hosting 15. 15. PhotoFunia<br />
8. imgur<br />
9. Pictiger<br />
10. TinyPic 16. Picnik<br />
1. BeFunky<br />
<br />
2. BigHugeLabs Flickr<br />
3. Funny Photo<br />
<br />
4. Loonapix<br />
5. FunPhotoBox<br />
<br />
6. Dumpr<br />
7. FaceInHolesweetboyhttp://www.blogger.com/profile/01727959537351178770noreply@blogger.com0